Ara, Dita, dan Naya saat ini memasuki kantin untuk mengisi perut mereka yang meminta makanan. Mereka duduk di bangku yang terletak di pojok karena bangku itu belum diisi oleh siswa lain.
“Lo berdua mau pesan apa?” Tanya Dita bersiap mencatat makanan yang akan dipesan oleh kedua sahabatnya.
“Bakso, es teh.” Singkat, padat dan jelas. Naya yang mengucapkan.
“Singkat amat kutub utara.” Delik Dita mendengar ucapan Naya. Ara yang mendengar itu tertawa.
“Ra, mau pesan apa?” Tanya Dita setelah membalas tatapan Naya kesal.
“Nasi goreng, trus minumnya samain aja sama Naya.”
“Oke gue pesan dulu ya.” Setelah itu Dita berlalu meninggalkan Ara dan Naya.
“Nay, lo ngerasa ada yang aneh ga sih sama Maudy?”
“Aneh gimana? Dia gak aneh tuh.” Jawab Naya.
Ara menatap jengkel Naya, “Dih maksudnya bukan gitu. Gue kayak pernah liat dia sebelumnya.” Jelas Ara.
Naya menaikkan alisnya, “Mungkin pernah liat di jalan aja, makanya lo kayak ngenalin dia.” Ujar Naya.
“Iya mungkin sih, tapi mukanya gak asing banget dimata gue. Dia juga mirip sama seseorang.” Ara mulai berpikir kenapa Maudy mirip dengan seseorang? Tapi Ara lupa siapa orang itu.
“MAKANAN DATANG!!!” Suara melengking itu berhasil membuyarkan lamunan Ara dan berhasil menyita atensi semua orang yang ada di kantin.
“Bukan temen gue sumpah!!” Ara kini menutup wajahnya menggunakan tangan saat semua pasang mata mengarah ke mereka.
Sedangkan si pelaku hanya menyengir tak berdosa. “Hehehe maaf.” Dita langsung duduk ditempatnya.
Naya yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Ada saja kelakuan yang dibuat kedua sahabatnya.
Mereka mulai menikmati makanan yang sudah dipesan. Hingga Dita membuka obrolan,
“Maudy belum balik?” Tanyanya saat melihat bangku yang ada disamping Ara masih kosong.
Ara menoleh sebentar, “Iya belum balik juga, udah lumayan lama perginya.” Ujarnya.
“Kita susulin sekarang.” Suara tegas Naya mengintrupsi mereka agar segera mencari keberadaan Maudy.
Mereka berlari menuju toilet perempuan. Sampai di depan pintu toilet mereka mendengar suara grasak-grusuk yang ada di dalam. Tanpa pikir panjang Ara langsung mendobrak pintu tersebut dengan menggunakan kakinya. Pintu terbuka lebar menampilkan empat pasang manusia yang ada didalamnya. Ara, Naya dan Dita membulatkan matanya saat melihat kondisi Maudy.
Ara berjalan mendekati Ziva lalu, “Sialan lo Ziva.” Tanpa aba-aba Ara langsung menjambak rambut Ziva.
“Sialan! Lepasin gue!!!” teriak Ziva saat Ara menarik rambutnya.
“Lepas lo bilang? Rasain nih.” Tanpa diduga Ara samakin menarik rambut Ziva,membuat sang empu kesakitan.
Kerasnya jambakan Ara membuat kepala Ziva mendongak kebelakang, “Lo apain Maudy hah?” Tanya Ara murka.
“LEPASIN RA, SAKIT!!!” Teriak Ziva saat merasa rambutnya akan tercabut dari kepalanya. Tarikan Ara benar-benar kuat hingga membuat kepalanya berdenyut sakit.
“LEPASIN LO BILANG? SETELAH APA YANG LO LAKUIN SAMA MAUDY? LO MINTA GUE LEPASIN HAH?” Ara marah, sangat marah saat pertama kali melihat kondisi Maudy.Baju seragam yang tergeletak dilantai, Maudy hanya memakai baju pendek sekarang, rambut yang acak-acakan dan dipenuhi pasir, dan juga seluruh tubuh yang sudah menggigil karena ketakutan. Ara tidak tahu kenapa dirinya langsung bertindak seperti ini.
“Ikut gue ke ruang BK.” Ara menarik tubuh Ziva dengan paksa keluar dari toilet. Tapi sebelum itu dia berbalik mentap Maudy.
“Maaf, gue telat nolongin lo.” Ujarnya lirih sambil memeluk tubuh menggigil itu.
Tangis Maudy langsung pecah saat itu juga. “Hiks...makasih udah nolongin aku.” Ucapnya pilu.
“Gue minta tolong sama lo berdua bawa Maudy buat ganti pakaian.” Kedua sahabatnya mengangguk dan langsung membantu Maudy.
Sedangkan Ziva yang melihat itu berdecih, dia tidak takut jika Ara melaporkan kejadian tadi.
“Gara-gara lo rambut gue jadi berantakan.” Tunjuknya ke arah Ara.
Ara membalikkan tubuhnya menghadap Ziva, “Ikut gue,” Ara langsung menarik pergelangan tangan kakak kelasnya itu.
“Lepasin! Gue gak mau.” Ziva langsung menyentak tangan Ara.
“Lo mau bawa gue ke BK? Ahahhaaha gue gak takut Ra. Lo gak tau siapa bokap gue?” Ujarnya tersenyum miring karena merasa dirinya akan menang.
Ara bungkam. Dia menunggu ucapan yang akan Ziva katakan, “Lo bisa aja laporin gue ke BK. Tapi siap-siap aja lo keluar dari sekolah ini.” Bisiknya tepat ditelinga Ara. Dia tertawa saat melihat Ara menundukkan kepalanya.
“Kenapa? Takut? Mending lo gak usah ikut campur urusan gue kalo lo gak mau keluar dari sekolah ini.” Ujanya seraya melangkahkan kakinya bersiap segera pergi.
“Karena Ayah lo kepala sekolah disini?” tebak Ara masih dengan menundukkan kepala.
“Iya. Kenapa?” Ziva tersenyum mengejek.
Ara mengangkat wajahnya terlihat takut dengan ucapan Ziva.
“Jangan kak, aku mohon jangan keluarin aku.” Ujar Ara memohon.
Ziva yang melihat itu semakin menatap remeh, dia tidak menyangka Ara akan memeohon seperti ini.
“Karena tadi lo udah narik rambut gue, gue gak bakal bikin lo tenang di sekolah ini.”
“Iya karena kakak gak bakal bikin aku tenang sekolah disini, biar aku yang ngeluarin kakak.” Ara mendongakkan kepalanya menatap Ziva yang saat ini terkejut dengan perkataannya. Ara tersenyum manis ke arah Ziva.
“LO!” menunjuk Ara dengan tatapan sinisnya.
“Huuuh takut banget.” Ara menampilkan wajah takutnya, pura-pura.
“Lo bakal liat Ra, besok lo udah dikeluarin dari sekolah ini.” Ujarnya dengan tatapan benci.
“Oh ya? Wah gue udah gak sabar buat besok.” Jawaban itu membuat Ziva naik pitam. Dia segera menarik tangan Ara menuju ruang kepala sekolah.
“Apaan sih, lepasin gue.” Ara memberontak, tapi saat melihat pintu di depannya, dia langsung tersenyum penuh arti.
“Masuk.” Ara hanya menurut, dia memasuki ruangan tersebut.
Orang yang ada dalam ruangan tersebut mendongak ketika melihat keributan yang didengarnya.
“Ada apa Ziva?” Tanya orang itu.
“Pah, Ziva mau papah keluarin dia dari sekolah ini.” Tunjuknya ke arah Ara yang saat ini menundukkan kepala.
“Ada masalah apa lagi?” Ayah Ziva yang sudah tahu kelakuan putrinya itu bertanya mengapa Ziva ingin mengeluarkan siswa dihadapannya. Dia sudah berkali-kali mengeluarkan siswa lain yang berurusan dengan putrinya. Sebenarnya dia juga tidak tega, tapi itu permintaan putri satu-satunya.
“Dia udah jambak rambut Ziva pah, dia juga bilang bakal ngeluarin Ziva dari sekolah ini.” Jelas Ziva kesal.
“Nak, apa itu benar?”
Ara mengangkat wajahnya yang tadinya menunduk, pandangannya menatap ke arah kepala sekolah sekaligue rekan kerja ayahnya.
“Selamat siang pak Hidayat.”
Pak Hidayat yang di sapa dengan putri dari keluarga Atmaja terkejut. Dia tidak menyangka jika putrinya berurusan dengan Ara, anak pemilik dari sekolah ini.
Ziva yang melihat keterkejutan sang Ayah pun bertanya, “Papah kenal?” tanyanya.
“Senang bertemu dengan Anda, lagi.” Ya, beberapa hari yang lalu Ara dan semua anggota keluarganya pergi ke salah satu acara yang diadakan oleh teman Ayahnya. Dia tidak sengaja melihat perbincangan sang Ayah dan Pak Hidayat. Ara yang penasaran pun akhirnya menghampiri sang Ayah dan menanyakan siapa orang yang berbincang bersamanya.
“A-ara?” Tebak Pak Hidayat.
Ara yang melihat keterkejutan itu, tersenyum simpul.
“Kok papah tau nama dia?” Tanya Ziva,
“Kamu bermasalah sama dia?” Bisiknya kepada sang putri.
“Papah kenapa bisik-bisik?” Tanya Ziva kesal, tingkah Ayahnya sangat aneh saat bertemu dengan Ara.
“Kamu harus minta maaf sama dia.” Ucapan tak terduga itu membuat Ziva melototkan matanya.
“Pah, kok gitu sih? Dia yang salah udah narik rambut aku.”
“Maaf saya akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya.” Setelah mengatakan itu, Ara mulai menceritakan apa yang terjadi di toilet tadi. Dia berkata jujur tidak menambah atau mengurangi cerita. Pak Hidayat yang mendengar itu sangat terkejut.
“Apa benar yang dikatakan Ara?” Tanyanya.
“Y-ya nggak lah pah, mana mungkin aku ngelakuin kayak gitu.”
“Saya tidak berbohong pak. Saya yang melihat anak bapak menyiksa teman saya.”
“Minta maaf sekarang!.” Tegas pak Hidayat.
“Pah, papah lebih percaya sama dia dibanding aku?”
Pak Hidayat menghelas napas, dia tahu kelakuan putrinya seperti apa.
“Pah, aku mau papah keluarin dia dari sini.” Kekeh Ziva. Dia sangat kesal saat ayahnya tidak mempercaiyai ucapannya.
“Maaf pak, tapi apa bapak mendidik anak Anda untuk jadi seperti ini? Pembohong?” Sahut Ara dengan senyum miring diwajahnya.
“BERANI LO YA!!” Murka Ziva sambil menunjuk Ara dengan telunjuknya.
“Ziva!” ujar pak Hidayat memperingati anaknya. Dia tidak mau jika jabatannya sekarang yang menjabat sebagai kepala sekolah dicabut karena ulah anak tunggalnya.
“Minta maaf ke Ara sekarang!” Pak Hidayat mulai emosi.
“Pah, gak bisa gitu dong bukan aku yang salah.”
“Kalo bapak tidak percaya dengan saya, saya punya bukti.”
suara Ara mampu mengalihkan atensi Ziva, Ziva menaikkan sebelah alisnya, bertanya-tanya dalam hati bukti apa yang dimiliki oleh Ara.
“cctv ke arah toilet.” Setelah mengucapkan itu mata Ziva langsung membulat sempurna. Dia pasti akan ketahuan karena hanya Maudy, dirinya dan dua temannya yang berjalan ke toilet.
“Tidak perlu!” Ujar pak Hidayat.
“Ziva minta maaf sekarang!” Tegasnya menatapa tajam sang putri.
“Papah kenapa sih gak bela aku?” Tanyanya Ziva dengan kesal.
“Kamu udah ngelakuin kesalahan Ziva, kamu harus meminta maaf atas perbuatan kamu. Papah tidak mungkin mengeluarkan Ara dari sekolah ini.
Ziva menunggu ucapan selanjutnya yang akan dikatakan oleh ayahnya, sedangkan pak Hidayat menghela napas sebelum melanjutkan perkataannya.
“Dia anak dari pemilik yayasan ini.”
Hening, tidak ada yang membuka suara. Ziva sangat terkejut saat mengetahui siapa Ara sebenarnya. Ya memang selama Ara sekolah disini, tidak ada satupun murid yang mengetahui tentang identitas aslinya kecuali kedua sahabat, kakak dan teman kakak-kakaknya.
“A-apa? Jadi Ara...” ujarnya terbata-bata menatap Ara.
“Gak, gak mungkin kan pah.”
“Itu semua benar Ziva.” Ujar Ara dengan senyum miring. Dia sangat puas ketika melihat wajah pucat Ziva.
Ziva berdecih lalu pergi dari ruang kepala sekolah dengan wajah yang masih terlihat shock. Ara yang melihat itu tersenyum lalu pandangannya mengarah ke pak Hidayat.
“Saya bisa saja memecat Anda saat ini juga. Tapi saya tahu bapak membutuhkan pekerjaan ini untuk menafkahi keluarga bapak.” Ara berhenti sejenak sebelum melanjutkan,
“Saran saya bapak jangan terlalu memanjakan putri bapak, Ziva seperti itu karena terlalu dimanjakan. Dia akan semakin semena-mena terhadap orang lain. Jangan mementingkan diri sendiri yang bisa merugikan orang lain.” Jelas Ara, pak Hidayat saat ini menundukkan kepalanya merenungi ucapan Ara.
“Saya permisi.”
🍀🍀🍀
Duh, othor ngos-ngosan nih, baru sampai hehehehe.
Maafkeun keterlambatan ini, harap maklum.
Nikmati alurnya ya gaess. Like dan komentar jangan lupa ya 😍 udah, gitu aja 🤭😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
yusuf syaifullah
bpknya pemilik sekolah.lah jd si Ara asli bego bin tolol dong masa dibuli habis'an diem aja
2024-01-26
0
Susilawati Rela
Weh.....kepala sekolahnya ga pake hasil pendidikan gurunya, jangan jangan bukan keluaran sekolah keguruan lagi tuh p kepsek...🤔
2023-03-08
1