17. Membawa Para Pasien

Suara langkah kaki terdengar ramai masuk dari pintu ruang bawah tanah. Barra dan teman-temannya berhasil menarik tiga pasien dari sel dengan gejala berbeda-beda. Para pasien pingsan setelah di bius.

Ketika mereka bingung harus keluar lewat mana, sebuah celah sinar menyilaukan mata Barra. Barra memeriksanya dan seketika pintu terbuka. Mereka berempat lalu masuk sambil membopoh tiga pasien yang belum sadarkan diri.

Jalan rahasia yang Barra temukan berhasil menyelamatkan dirinya. Barra pun keluar tepat berada di pinggir jalan. Mereka semua tersenyum puas lalu bergegas menyeret para pasien yang masih pingsan.

Tepat pukul dua belas malam, mereka tiba di hutan. Putri langsung membaringkan dirinya karena lelah. Di tambah Sindi yang duduk di dekatnya sambil mengatur nafas. Mereka berdua sangat lelah dan tidak bisa bangkit lagi.

Terpaksa Barra dan Banda yang mengikat tiga pasien di bawah pohon. Setelah melakukannya, Barra beranjak mengambil ramuannya dan mulai menyuntikannya pada tiga pasien.

Orang yang pertama terbangun, pasien yang haus dengan darah. Dia langsung memberontak tak kalah melihat seseorang di hadapannya. Barra pun menggeleng kepalanya, memberitahu pada temannya jika eksprimennya tidak berpengaruh kepada pasien pertama.

Mata pasien kedua dengan gejala kehausan terbangun. Dia langsung memegang terngorokannya yang merasa sakit belum di isi. Ketika matanya menemukan air, dia berusaha meloloskan diri.

"Gagal total." kata Barra yang frustasi. Banda dan yang lain hanya menatap dengan tubuh lemas. Sia-sia mereka menculik tiga pasien ini sampai hampir ketahuan penjaga malah tidak menguntungkan bagi mereka.

"Barra!" teriak Banda yang terkejut. Dia sampai bangkit sambil menunjuk Barra.

"Apa?" tanya Barra yang bingung. Dia menoleh ke belakang dan melihat pasien ketiga dengan gejala kelaperan sadarkan diri sambil menatap mereka dengan wajah bingung.

"Ini dimana? Aku dimana? Kenapa di ikat di bawah pohon?" tanyanya yang menatap tubuhnya tidak bisa bergerak karena dililit tali.

"Ibu baik-baik saja? Coba lihat angka berapa ini?" Sahut Sindi yang bangkit lalu menunjukkan sebuah buku yang tertulis beberapa anak angka.

"Nomor dua." ucap ibu itu dengan perlahan. Banda pun tersenyum. Dia berlari melepas tali yang melilit ibu itu dan membebaskannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi, nak? Kenapa kita berada di sini? Ini tempatnya menyeramkan sekali." ucap ibu itu sambil melipat kedua tangannya, merasa takut melihat sekeliling.

"Tenang, Bu. Ini hanya hutan, besok baru kita bantu ibu untuk pulang ke rumah." ucap Putri yang merasa senang.

"Terima kasih banyak, Nak." ucap ibu itu walau dia masih bingung dengan keadaan di sekitarnya.

Setelah semua orang tidur, Barra masih terjaga. Dia mendatangi dua orang terinfeksi sambil mengamati ciri-ciri mereka. Mungkin saja ada yang berubah dari diri mereka setelah meminum ramuan yang di buat Barra.

"Sepertinya obatku tidak akan mempan jika hanya di beri satu kali saja. Apa aku suntikkan lagi?" pikir Barra.

"Baiklah, satu kali saja dan kita lihat besok hasilnya seperti apa." ucap Barra yang mengambil larutannya sambil menyuntikkan sedikit ke tubuh dua orang pasien yang sudah tertidur.

Keesokan Harinya...

Mereka berempat kembali bersiap. Mereka hari ini akan kembali ke kota dan membawa ibu ini untuk pulang ke rumahnya bertemu keluarganya. Barra terlebih dulu memeriksa dua pasiennya yang mulai bisa berbicara. Mereka terus meminta makanan dan minuman karena laper dan haus.

"Tolong beri kami makanan! Tolong beri kami minuman!" ucapnya dengan suara melemah sambil menatap wajah Barra.

Barra pun memanjatkan kelapa dan memberika kepada mereka berdua. Barra sedikit melonggarkan tali yang melilit di tangannya agar bisa menyuap diri mereka.

"Sudah selesai? Kita harus bergerak ke kota lebih pagi. Takutnya banyak polisi sudah berpatroli di jalan raya." titah Banda yang memberitahu Barra.

"Aku akan segera ke sana. Tinggal sebentar lagi." ucap Barra yang membersihkan tangannya yang kotor. Barra lalu menghampiri teman-temannya yang sudah siap untuk berangkat.

"Nak, kita akan jalan kaki sampai di rumahku? Apa tidak bisa kita menunggu mobil?" tanya ibu itu yang merasa khawatir.

"Tenang saja, Bu. Kita hanya perlu berjalan kaki sampai di pinggir jalan. Nanti kalau sudah sampai di pinggir jalan, tinggal menunggu mobil angkutan. Jadi mudah kan?" jelas Sindi sambil tersenyum ramah.

"Ini ibu kayaknya merepotkan deh." bisik Banda kepada Barra. Barra hanya mengangguk membalasnya.

Mereka mulai berjalan tepat jam tujuh pagi dan sampai di pinggir jalan tepat pukul delapan pagi. Karena suasana masih pagi, masih sedikit pengendara mobil atau motor yang lewat. Mau tak mau, mereka terpaksa menunggu lama di pinggir jalan hingga sebuah truk berhenti tepat di depan mereka.

"Mau ke kota, neng?" teriak abang pengemudi.

"Iya, pak." ucap Banda yang bersemangat. Mereka lalu naik dan sampai di kota tepat pukul dua belas siang.

Ibu itu terus menujuk arah menuju rumahnya dan ketika mereka sampai, rumah ibu itu sangat sepi. Dia berapa kali mengetuk pintu, tidak ada satu pun keluarganya yang membukakan pintu.

"Jangan-jangan keluarganya masih di kurung karena terinfeksi. Bagaimana ini?" tanya Putri yang menjadi sedih jika mengingatnya.

"Entahlah, ini rumah kayak kuburan. Sepi sekali. Masih untung di hutan, ada kita berempat yang menginap di sana. Tambah dua lagi jadi enam. Lebih banyak yah." sahut Banda sambil menghitung jari-jari tangannya.

"Ibu sebaiknya berteriak agar orang di dalam rumah bisa mendengar suara ibu. Mungkin mereka takut jadi tidak membuka pintu." ucap Barra memberi saran.

Satu kali ibu itu berteriak, pintu langsung di buka. Terlihat seorang wanita sambil menggendong bayi terkejut melihat ibu tadi. Mereka berpelukan, saling melepas rindu.

"Kita sebaiknya pergi, terlalu kelaman di sini." ucap Sindi yang menarik Banda. Putri dan Barra pun ikut-ikutan.

Mereka berjalan menyusuri tiap jalan hingga menemukan warung buka. Putri sangat antusias sekali karena belum pernah makan di warung setelah terinfeksi penyakit aneh ini. "Bang, ada warung. Kita makan di sana yah?" bujuk Putri sambil menepuk pundak Barra begitu keras sambil melompat-lompat.

"Iya, ayo kita makan di sana." ucap Barra yang mengalah.

Saat mereka sedang asyik makan, tiba-tiba penjual warung menutup warungnya dengan cepat padahal Barra dan teman-temannya belum selesai makan. "Ada apa ini? Apa dia memberi kita makan gratis? Baik sekali ibunya." sahut Banda yang tetap menikmati makanannya.

Putri dan Sindi tidak peduli, mereka tetap santai menikmati makanannya sambil tersenyum senyum. Beda dengan Barra yang menoleh kanan kiri, merasa ada yang aneh hingga matanya menemukan alasan penjual warung menutup menutup warungnya mendadak.

"Kita harus segera pergi." kata Barra yang sempat menyelipkan uang di bawah pintu warung.

"Kenapa? Apa?" tanya Banda yang bingung. Banda tetap makan dan terus menikmati makannya hingga suara aneh terdengar dari kejauhan.

"Akhhhh..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!