Tengah malam, Barra belum tidur. Dirinya terus gelisah memikirkan keadaan di rumahnya. Dia pun berjalan-jalan memeriksa tiap ruangan di labotarium. Membaca buku sains yang menarik perhatiannya.
"Mereka punya banyak buku yang berguna di sini. Apa aku bawa satu untuk di koleksi di rumah?" ucap Barra yang memeriksa buku mana yang paling menarik baginya.
"Ini namanya mencuri, aku tidak boleh melakukannya. Tetapi kalau satu juga tidak apa-apa." ucap Barra yang menarik satu buku berwarna biru muda yang tertulis dengan kalimat: Obat Herbal penyembuh segala penyakit.
Barra lalu memasukkan buku itu ke dalam jaketnya dan berjalan-jalan melanjutkan langkahnya. Ketika sampai di ruang tengah, dia melihat Banda yang masih terikat. Dada Barra terasa sesak membayangkan jika Putri akan seperti itu nantinya.
"Banda masih baru tertular, tetapi sudah menjadi buas seperti ini. Sindi dan Putri masih baik-baik saja. Apa memang benar sel tubuh seseorang yang mempengaruhinya?" tanya Barra yang berjalan menghampiri Banda yang sudah tertidur.
"Mereka masih seperti manusia. Jam segini sudah tertidur. Sebenarnya apa yang terjadi?" ucap Barra bingung.
Barra membuka buku yang dia ambil dan membaca beberapa tanaman yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
"Kuku Banda menghitam dan kulitnya pucat. Aroma tanaman paling menyangat sangat cocok untuknya. Di tambah tanaman di hutan yang sering di jadikan obat herbal." ucap Barra yang membaca.
"Apa hanya itu saja?" tanya Barra yang merasa ragu. Barra lalu menyimpang kembali bukunya dan memeriksa kondisi tubuh Banda. Barra menggunakan alat pengukur suhu tubuh untuk tahu berapa suhu tubuh Barra saat ini.
"Minus 29°." Barra takjub melihat hasil tesnya. Dia malah berpikir jika alat pengukurnya rusak. "Apa Banda seekor duyung sampai suhu tubuhnya sedingin ingin. Benar-benar aneh." ucap Barra yang tertawa sendiri.
Tiba-tiba, Barra punya ide cemerlang. Dia lalu mengumpulkan kayu bakar dan membuat api agar bisa menghangatkan tubuh Banda yang kedingingan. Perlahan demi perlahan, keringat Banda bercucuran. Barra masih sempat mengamatinya. Tidak berselang lama, Banda pun tertidur pulas tanpa mengeluarkan suara lagi. Begitu pun dengan Barra yang langsung tertidur karena kantuk.
Keesokan Harinya...
Matahari sudah bersinar sampai sinarnya menyinari tiap sudut di labotarium. Barra masih tertidur dengan pulas karena sudah menjadi kebiasaan untuk bangun kesiangan. Tetapi, sesuatu mengganggu Barra. Dirinya sepertinya di tusuk-tusuk.
"Ah, jangan menggangguku. Aku masih mau tidur." ucap Barra tanpa membuka kedua matanya. Dia hanya mengembalikan badannya ke arah lain.
Kini, rasa tusukkan bukan lagi di perutnya. Tetapi di punggungnya. Barra yang kesal lalu membuka mata sambil bangun. Belum sempat marah-marah, Barra berlari bersandar di tembok ketika melihat Banda yang menusuk dirinya dengan lidi.
"Ka.. Ka.. Kau? ba.. Bagaimana bisa?" tanya Barra yang terbata-bata.
Di saat bersamaan, Sindi dan Putri turun dari ruangan Walvin dan melihat Banda yang sudah lepas, tidak terikat lagi.
"Ba.. Ba.. Banda!" teriak Sindi membuat Putri berlari bersembunyi di belakangnya.
"Apa? Kenapa kalian melihatku seperti itu? Apa aku hantu?" sahut Banda dengan wajah kesal.
"Kau sudah bisa bicara?" tunjuk Barra yang terkejut dan masih bingung.
"Kenapa? Apa aku tidak boleh bicara? Hanya anak kecil yang tidak bisa bicara." jawab Banda sambil duduk di kursi yang tidak jauh darinya.
"Luar biasa, kau bisa sembuh secepat itu. Bagaimana caranya?" tanya Sindi yang turun menghampiri Banda.
"Apa maksudmu, sembuh?" tanya Banda yang bingung.
"Apa dia lupa ingatan, Bang?" bisik Putri yang bertanya pada Barra.
"Entahlah, dia masih terlihat seperti biasa. Tetapi, apa yang terjadi sampai dia bisa sembuh secepat itu? Bahkan belum sempat minum obat." jelas Barra yang tidak percaya. Barra sampai terus menatap Banda merasa heran.
"Kau tertular penyakit aneh dan berubah menjadi monster. Jadi para ilmuan terpaksa mengurung kita di sini dengan cara mengikat kita. Beruntung masih ada Putri dan Barra yang membantu kita." jelas Sindi yang mengepal kedua tangannya karena marah.
"Jadi itu yang terjadi. Aku bahkan tidak mengingat apapun yang terjadi. Aku sampai hampir tidak mengenali Barra jika bukan karena buku yang dia sembunyikan." ucap Banda dengan jelas.
"Aneh sekali. Kau terserang penyakit aneh dan tidak ingat apapun ketika sadar. Apa ada seseorang yang sengaja membuat obat seperti ini agar semua pasien yang terinfeksi lupa dengan diri mereka dan menjadikan mereka monster?" tanya Barra setelah beberapa lama terdiam karena syok.
"Bisa jadi. Apa ini ulah ******* yang ingin merebut tempat kita?" pintah Sindi.
"Tidak mungkin. ******* sangat kejam sampai membuat masalah sebesar ini." ucap Putri yang ketakutan. Tetapi tidak berani mendekati Barra karena abangnya tidak memakai pakaian pelindung.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum para ilmuan kembali menangkap kalian. Perasaanku tidak enak sejak kemarin." ucap Barra yang bergegas mengambil barang-barangnya, bersiap untuk pergi.
Sementara di tempat lain, seseorang duduk di kursi putarnya sambil menghubungi anak buahnya. "Jadi, bagaimana? Apa mereka sudah sampai di tempat yang aku perintahkan kemarin?" tanya orang itu sambil menaikkan kakinya di atas meja kerjanya.
"Sudah, pak. Mereka sedang mengamati keadaan dan mencari kesempatan untuk membakar labotarium lama itu." jelas seseorang dari seberang telepon.
"Kalau begitu, kerjakan dengan cepat. Aku harus melapor kepada atasan setelah tugas mereka selesai." perintahnya.
"Baik, pak. Akan aku beritahu mereka untuk segera bertindak." ucapnya sambil menutup panggilan telepon.
Tut.. Tut.. Tut..
Di depan labotarium, terlihat lima membawa bahan bakar. Mereka lalu menyiram tempat itu dan kemudian menyalakan api membakar habis labotarium ini. Api terus menyebar dengan cepat hingga mengundang kemacetan.
Sementara di dalam labotarium, masih terdapat beberapa orang yang belum keluar. Barra sedang melihat adiknya bersiap-siap. Tiba-tiba tercium bau asap dan ketika Barra keluar asap hitam mengepung di mana-mana.
"Ada apa, bang?" tanya Putri yang melihat Barra masuk dengan terburu-buru.
"Seseorang sengaja membakar labotarium ini. Kita harus segera pergi lewat pintu belakang sebelum api mulai tidak terkendali." jawab Barra yang memberitahu Putri.
Barra lalu menyobek kain yang dia bawa dan membaginya menjadi dua. Lalu menyiram kain itu sebelum di berikan kepada Putri. "Tutupi hidungmu dengan kain ini agar kau tidak sesak nafas. Jangan lupa tetap berada di belakangku apapun yang terjadi." perintah Barra.
"Bagaimana dengan yang lain, bang? Apa Sindi dan Banda bisa selamat juga?" tanya Putri yang lebih mengkhawatirkan orang lain daripada dirinya.
"Selamatkan dulu dirimu baru pikirkan orang lain. Keadaan sedang darurat, apinya bisa menyebar dengan cepat dan melahap kita." jelas Barra yang terdengar tidak suka.
Mereka berdua lalu keluar dengan cepat sambil berjalan dengan sangat hati-hati. Terlebih, atap labotarium sudah terbakar lebih dulu dan bisa saja jatuh menimpah Putri dan Barra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments