9. Masalah Baru

Barra kini pulang ke labotarium bersama teman-temannya dan adiknya. Mereka semua lalu menemui Walvin yang menunggu di ruangannya.

"Bagaimana penelitian kalian?" tanya Walvin saat Barra dan teman-temannya datang.

Sindi melirik Banda sekilas sambil memberi kode agar Putri tidak mendengarkan pembicaraan mereka. Barra yang paham, meminta adiknya untuk keluar mencari makan.

"Kau tidak laper, Putri? Bagaimana kalau kau membeli makanan di luar. Jangan lupa pakai pakaian pelindungmu agar tidak ada orang yang bisa bersentuhan denganmu. Pakai sarung tangan juga kalau perlu." Perintah Barra kepada adiknya sambil tersenyum berusaha terlihat baik-baik saja.

"Iya, bang. Kalau begitu, aku pergi dulu. Nanti aku bawakan makanan untuk yang lain juga. Jadi, apa ada yang ingin memesan sesuatu?" tanya Putri dengan wajah imut dan ramahnya.

"Tidak, terserah kau saja." sahut Sindi.

"Baiklah. Bagaimana denganmu, pak tua. Mau sesuatu untuk bisa kamu makan? Sepertinya gigimu tidak kuat lagi mengunyah makanan keras. Jadi, apa yang harus aku beli untukmu?" tanya Putri sambil menoleh ke arah Walvin dengan tersenyum senang.

"Gigi." jawab Walvin singkat dan jelas.

"Apa?"

"Jika gigiku tidak kuat makan, maka yang di butuhkan adalah gigi. Kita perlu mengganti gigi. Tetapi sejauh ini, gigiku masih kuat dan baru. Jadi kau hanya perlu membeli makanan yang kau sukai lalu berbagi dengan kami. Tidak baik terlalu bertanya, seorang ilmuan perlu membuktikannya bukan hanya sekedar banyak gaya di mulutnya." ucap Walvin membuat Putri sedikit jengkel. Putri bergegas keluar dengan cepat sambil membanting pintu ruangan Walvin.

Brak..

"Huff, anak itu benar-benar..." ucap Barra seketika.

"Tidak perlu khawatir. Aku tidak akan marah hanya karena pintu ruanganku di banting." jawab Walvin yang memotong pembicaraan Barra.

"Aku tidak mengkhawatirkan anda. Aku khawatir dengan pintu yang tidak bersalah itu. Adikku seolah melampiaskan kemarahannya pada pintu walau aku sudah memberitahu berkali-kali untuk tidak membanting pintu jika sedang marah. Dia mungkin lupa." ucap Barra dengan jelas.

"Baiklah, kita kembali ke topik pembicaraan. Jadi bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian, apa masih belum mendapatkan apa-apa?" tanya Walvin yang menatap mereka bertiga bergantian.

Sindi dan Banda menggeleng kepalanya membuat Walvin kecewa. Dia mengutus Sindi dan Banda karena yakin mereka berdua bisa menemukan informasi yang begitu penting dalam penelitiannya. Sepertinya, Walvin salah menilai. "Aku sangat kecewa dengan kalian berdua. Sudah berapa kali aku memberi kalian kesempatan tetapi tetap tidak bisa memberiku apapun." ucap Walvin yang duduk di kursi putarnya dengan tatapan sendu.

"Maaf, ketua." sahut Sindi dan Banda bersamaan.

"Kalian tidak perlu minta maaf. Aku yang salah karena memilih kalian berdua." jawab Walvin tanpa menatap Sindi dan Banda membuat dua orang itu menundukkan dirinya semakin rendah.

"Permisi, apa aku boleh bertanya akan satu hal?" sahut Barra yang memberanikan diri membuka mulutnya.

"Apa?" tanya Walvin yang kini beralih menatap Barra.

"Orang-orang yang terserang penyakit aneh ini awalnya adalah orang yang sering sakit-sakitan sampai di haruskan membeli obat tiap menerus. Tetapi, kata mereka obat yang mereka beli akhir ini berbeda rasanya dari obat yang sering mereka konsumsi. Apa kalian menambahkan sesuatu pada obat itu?" tanya Barra dengan suara perlahan dan sangat hati-hati. Mencoba ingin tahu lebih dalam masalah obat yang mengganggu pikirannya.

"Apa mereka mengatakannya seperti itu?" tanya Walvin dengan tatapan tajam ke arah Barra.

"Iya. Aku sempat berbicara pada orang di sel luar yang lebih dulu terserang penyakit aneh ini." ucap Barra yang berterus terang.

"Apa kau berpikir jika para ilmuan membuat racun pada obat sehingga mereka semua menjadi orang aneh dan bertingkah aneh? Kami selalu melakukan penemuan yang teruji dan terbukti. Kami tidak pernah main-main dengan obat atau penyakit seseorang. Karena nyawa mereka jadi taruhannya." jelas Walvin yang menekan perkataannya. Dia sepertinya sedang marah.

"Aku tidak menuduh, bisa saja ada masalah pada saat peracikan obat. Entah tidak sesuai dengan resep atau terjadi kecelakaan yang membuat obatnya berbahaya. Itu bisa saja terjadi." ucap Barra yang tetap fokus pada pendapatnya.

"Keluar kamu, sekarang!" teriak Walvin menggema di ruangannya membuat Banda dan Sindi ikut terkejut.

"Kau sepertinya meragukan para ilmuan di sini yang sudah bekerja keras ingin membantu. Kamu pikir, siapa dirimu berani mengeluarkan pendapat yang tidak masuk akal. Jika media sampai tahu, kami para ilmuan akan di sudutkan dengan berbagai hal. Jadi jaga mulutmu, kau mengerti?" tanya Walvin sambil menepuk meja di hadapannya.

"Mengerti, ketua!" teriak Sindi dan Banda membalas Walvin. Mereka berdua lalu menunduk dan menarik Barra keluar dari sana sebelum Walvin semakin marah.

"Apa yang aku katakan salah? Aku hanya menduga saja. Bisa saja bukan terjadi sesuatu pada saat peracikan obat membuat larutan yang tidak seharusnya di tuangkan malah masuk ke dalam obat." ucap Barra yang tidak mau mengakui dirinya bersalah.

"Itu benar. Tetapi kau harus lebih lembut lagi berkata-kata. Ketua saat ini lagi banyak pikiran, banyak masalah, jangan buat dia berpikir kau merendahkannya." ucap Banda berusaha menenangkan Barra.

"Seharusnya dia tidak perlu marah sampai berteriak seperti itu. Ini semua salahnya jika sampai pendapat Barra terbukti. Itu karena dia sudah tua tetapi tidak mau pensiun dan masih menjabat sebagai ketua." tambah Sindi yang setuju dengan Barra.

"Sindi, kau ini kenapa? Ketua sudah sangat baik pada kita, memberi kita kesempatan meneliti masalah ini. Apalagi yang kau tidak suka darinya?" tanya Banda yang menghadap ke arah Sindi.

"Aku merasa tidak suka saja dengannya. Walau dia ketua, tidak seharusnya membentak seperti tadi. Bisa saja bukan apa yang dikatakan Barra memang terjadi." ucap Sindi sambil memasukkan tangannya ke dalam saku baju.

"Mana mungkin ketua membiarkan kecelakaan iru terjadi. Ketua tidak akan tinggal diam ketika mengetahui masalah ini. Mungkin membuang obatnya adalah pilihan yang baik." ucap Banda yang berdebat dengan Sindi.

"Tunggu sebentar. Kenapa kalian yang malah berdebat? Aku yang emosi tadi. Hei, Banda. Tahan aku!" perintah Barra sambil menjulurkan tangannya.

"Kau mau terinfeksi juga, ha?" teriak Banda memarahi Barra sebelum pergi.

"Apa? Dia marah denganku? Aku yang marah lebih dulu tadi. Kenapa kalian berdua juga ikut-ikutan?" ucap Barra yang merasa stres berteman dengan Banda dan Sindi yang tidak jelas.

"Bang, ini makan untuk abang!" ucap Putri yang berlari menghampiri Barra sambil membawa dua kantung putih di tangannya.

"Ayo kita makan di belakang saja. Di sini tidak baik." ucap Barra sambil berjalan.

"Lalu, untuk pak tua, Sindi, dan Banda, bagaimana?" tanya Putri yang bergerak cepat menyusul Barra yang melangkah dengan terburu-buru.

"Bodoh amat dengan mereka. Mereka bisa cari makan sendiri." jawab Barra tanpa menoleh membuat Putri bingung dengan tingkah abangnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!