13.

Membersihkan diri di ruang pribadinya, dibawah guyuran air shower yang jatuh. Azka memejamkan matanya, menikmati setiap tetesan air yang menyentuh dirinya.

...Hafsah, kenapa kau membuatku seperti ini? Apa yang istimewa dari dirimu, sehingga membuatku selalu terbayang akan dirimu. Akh! Ayolah Azka, kenapa kau menjadi seperti ini!...

.

.

.

Di lain tempat, Unni merasa perlu untuk menengkan diri sebelum pulang. Ia bingung harus pulang kemana, dimana saat ini ia menempati apartemen yang Azka miliki. Namun di sisi lainnya, ia butuh ketenangan.

"Tidak baik seorang wanita muda seperti anda melamun."

Suara itu membuat Unni terbangun dari lamunannya, dengan cepat ia menghapus sisa air mata yang masih berada pada wajahnya. Mencari keberadaan orang yang memiliki suara tersebut, lalu ia mendapati seorang pria dengan perawatan tubuh yang proporsional dan wajah yang sangat tampan.

"Boleh duduk?" Pria itu meminta izin untuk bisa duduk pada tempat yang sama dengan Unni.

"Emm, maaf. Silahkan."

Unni tidak bisa melarang pria itu untuk duduk, karena disana merupakan tempat umum yang dimana semua orang mempunyai hak untuk duduk. Memberikan batasan menggunakan tas yang ia bawa, agar tidak terlalu berdekatan.

"Suasananya sangat nyaman, wajar saja jika wanita lebih menyukai tempat ini untuk menengkan diri."

Ucapan pria itu kembali menjadi kebenaran akan keadaan dirinya pada saat ini, menghela nafasnya lalu menatap bunga-bunga yang sedang bermekaran pada taman tersebut.

"Jangan menjadikan sesuatu hal itu menjadi beban, itu hanya akan menambah berat untuk menjalani kehidupan. Sesulit apapun yang kita rasakan, cobalah untuk tenang."

"Hah, ucapan anda memanggil benar. Tapi tidak untuk keadaan yang sedang saya alami, rasanya terlalu sakit untuk dijalani." Unni menyeka kembali air mata yang menetes tanpa izinnya.

Sebuah tangan kekar, menyerahkan sapu tangan tepat dihadapan wajahnya. Berat untuk menerimanya, namun pria itu menyakinkan jika hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Sehingga Unni menerima benda tersebut.

"Terkadang, kita perlu melampiaskan semua beban yang kita miliki. Namun, bagi seseorang hal tersebut sangat tidak berlaku. Memendamnya sendiri, agar tidak membuat orang lain ikut merasakannya. Kembali lagi pada individunya sendiri, dimana ia memilihnya agar merasa nyaman." Pria tersebut kembali memberikan sedikit pemikiran kepada Unni.

"Terima kasih tuan, perkataan anda memang benar adanya. Tapi, setiap manusia mempunyai jalan pemikirannya sendiri yang tidak bisa orang lain untuk ikut mencampurinya." Jawba Unni.

"Hahaha, wah. Anda benar, maka dari itu. Jangan melamun dan bersedih lagi, berikan senyuman sebagai penawar dari sebuah beban."

Menganggukan kepalanya, Unni tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan ucapan pria tersebut. Karena, setiap individu akan mempunyai tingkatan tersendiri dari permasalahan yang mereka miliki.

"Tuan, terima kasih atas sapu tangannya. Nanti, setelah saya membersihkannya. Saya akan mengembalikannya pada anda."

"Mengembalikan? Apa kamu tahu saya tinggal dimana?" Ucap pria tersebut yang membuat Unni terdiam.

"Astaghfirullah, iya ya. Mmm, maaf. Apa saya boleh meminta alamat anda? Agar nanti mempermudah saya mengembalikannya."

Pria itu tersenyum, sungguh menawan. Hal tersebut segera Unni tepis dari dalam pikirannya, benar-benar ia hampir terkena dengan tipu daya setan.

"Ini, nanti hubungi saja." Menyerahkan sebuah kartu nama kepada Unni.

Melihat tulisan yang terdapat pada kartu kecil tersebut, membuat Unni merasa tidak asing akan nama yang tertera disana. Saat ia akan menyimpan kartu tersebut, ponsel miliknya bergetar. Sebuah panggilan telfon berasal dari negaranya, segera ia menerimanya.

"Assalamu'alaikum, iya Ummi."

"Wa'alaikumussalam, Unni. Apa kabarnya nak? Bagaimana dengan pekerjaanmu disana?"

"Alhamdulillah baik Ummi, kabar Unni baik-baik saja. Ummi dan adik-adik?"

"Alhamdulillah semuanya baik-baik saja nak, bisakah Ummi meminta waktumu sejenak nak?"

Perasan Unni tiba-tiba merasa tidak enak, mendengar suara dan kalimat yang dikatakan Ummi padanya. Seakan-akan tersirat sesuatu beban berat, namun ia berpura-pura untuk tenang.

"Iya Ummi, ada apa?"

"Nak, tempat kita akan disita oleh pihak rentenir. Ummi bingung mau bagaimana, beberapa donatur sudah menarik diri dari panti kita nak." Suara itu perlahan terdengar cukup berat, bahkan ada isakan tangis.

"Ummi, Unni masih ada tabungan. Bisa dipakai untuk biaya disana, nanti sisanya akan Unni usahakan. Ummi jangan khawatir ya, jaga kesehatan Ummi."

"Tapi nak, kamu juga sedang membutuhkannya disana."

"Tidak apa-apa, Mi. Insyaa Allah Unni disini bisa mengatasinya, Ummi yang tenang ya."

"Iya nak, terima kasih. Ummi berhutang budi padamu nak, kamu juga jaga diri dan juga kesehatan disana. Assalamu'alaikum. "

"Iya Ummi, Insyaa Allah. Wa'alaikumussalam. "

Perbincangan telah usai, Unni memejamkan matanya sesaat. Ikut merasakan apa yang kini terjadi pada keluarganya disana, benar-benar terasa sangat berat.

"Ah, maaf tuan. Anda mendengar semuanya." Unni tidak enak akan keberatan pria tersebut.

"Tidak apa-apa, saya juga minta maaf sudah mendengar pembicaraan kalian. Kalau boleh tahu, adapa permasalahan apa?"

Unni tampak ragu untuk mengatakan apa yang sedang terjadi, pada pria asing yang baru saja ia kenal.

"Saya akan menjadi donatur tetap kalian, bisa kirimkan nomor rekeningnya?" Secara tiba-tiba pria tersebut mengatakan sesuatu hal yang menjadi solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi.

"Apa?" Karena kaget, Unni sedikit menaikan suaranya.

"Tentu, saya tidak main-main. Anggap saja ini semua adalah jawaban atas kesabaran kalian."

Air mata Unni tak bisa ia bendung lagi, seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Sungguh rahasia Allah atas segalanya, rezeki yang Ia turunkan benar-benar tidak disangka.

Memberikan ponselnya yang dimana terdapat nomor rekening milik panti dimana ia dibesarkan kepada pria tersebut, namun pria itu mendadak hening saat melihat tangan Unni.

"Tuan, tuan baik-baik saja?" Unni khawatir karena pria tersebut menjadi hening.

Menggerakkan tangganya dihadapan wajah, akhirnya berhasil menyadarkannya.

"Ah, maaf." Mengambil ponsel milik Unni dan menyalin nomor yang ia minta.

"Tuan, bagaimana saya mengucapkan terima kasih pada anda?"

"Tidak perlu, anggap saja ini semua pertolongan untuk kalian."

"Terima kasih, terima kasih banyak tuan. Anda benar-benar penolong kami, mmm. Saya panggil anda?" Unni menanyakan nama pria tersebut, walaupun sebenarnya bisa ia lihat pada kartu yang diberikan padanya.

"Peter, panggil saja seperti itu. Baiklah, sudah saya kirimkan pada nomor tadi. Kalian bisa mengeceknya dan menggunakannya, semoga bermanfaat." Peter pamit dari hadapan Unni.

"Tuan, terima kasih." Ucap Unni dengan keras karena Peter sudah berjalan menjauh darinya.

...Ya Allah, terima kasih atas semuanya. Mengirimkan pertolongan melalui dia, Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan....

Rasa haru itu berubah ketika mendapatkan ponsel miliknya bergetar kembali.

Terpopuler

Comments

guntur 1609

guntur 1609

mngkn ini eldgar kawanya azka....si unni mngkn adiknya eldgar

2024-04-20

1

Mur Wati

Mur Wati

unni adiknya Peter yg hilang kah??

2024-04-27

0

winda aulia

winda aulia

apakah unni ini adeknya peter yaaa...sepertinya iyyaa

2024-04-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!