..."Bukan tak ingin membuka hati, hanya takut kembali terlukai oleh belati yang sama tajamnya."...
......................
Mungkin Leora mengira dengan dirinya yang seolah tidak peduli sama sekali pada ayahnya adalah langkah yang terbaik dan paling benar. Semula Leora merasa itulah yang paling ia banggakan; menjadi tidak peduli.
Namun, apapun yang terjadi sekarang, apapun yang membuat Leora senang, nyatanya hal itu tidak mengubah bagaimana sekarang hatinya begitu berantakan di satu sudut kala sudut lainnya sudah begitu rapi tertata siap ditempati. Sudut itu adalah ruang di mana ia menyimpan segalanya tentang betapa manisnya ia dan keluarganya dahulu. Saling melempar canda, bertukar tawa, hingga saling berbincang dengan beberapa kali batuk karena terlalu lantang tertawa. Leora merindukan yang seperti itu, sebuah kehangatan. Kehangatan yang juga sekarang sedang ia rasakan.
Leora mengakui bahwa ia sedang iri setengah mati. Ia iri pada kedekatan Aletha dan sang ayah. Dari berkali-kali ayahnya mengusak pucuk kepala Aletha saat akan duduk dan sebelum menyentuh makanan di meja makan. Nyatanya dalam heningnya Leora ingin diperlakukan semanis itu. Ia rindu ayahnya setelah beberapa hari bahkan berminggu-minggu terakhir ia benar-benar tak bertegur sapa dengan ayahnya. Pun bertemu, saling papas, tapi mulutnya tak pernah memulai pembicaraan, wajahnya masam dan memandang dengan tatapan yang keji.
Leora sebenarnya tidak suka berlaku aneh-aneh seperti itu, tetapi Leora selalu bereaksi berlebihan saat nama Dimas terdengar. Rasanya luka khianat itu tak akan pernah bisa sembuh begitu saja. Sesaknya masih ada dan rasa terbuang itu masih kerap singgah. Pun saat teringat hatinya yang sudah sempat mencintai Dimas, Leora hanya ingin memarahi hatinya kenapa tidak mengenali laku seorang pengecut seperti Dimas? Kenapa tidak dari awal sebelum memutuskan untuk jatuh cinta saja ia tahu? Kenapa ia tahunya bukan pada saat belum berlanjur menyandarkan bahagianya pada Dimas?
Nyatanya, mengingat setiap yang terdengar oleh rungunya akan selalu menyakitinya. Ayahnya tak percaya padanya, memilih Dimas sedangkan Dimas yang semula ia percaya malah mengecewakannya hingga relung terdalam. Kenapa dan kenapa, seolah kata tanya lainnya telah Leora blokir dari kamus kehidupannya. Yang tersisa dalam benaknya hanyalah pasal kenapa, kenapa dan kenapa?
"Aku tadi merindukan ayahku saat melihatmu diperlakukan begitu manis. Aku juga ingin, tapi aku tak bisa. Ayahku tak semanis ayahmu."
Leora bergumam sambil memejam. Membuat tangannya menjadi bantal untuk kepalanya sendiri. Mereka berdua dibalkon kamar Aletha.
Aletha yang juga pada posisi yang sama pun, memilih diam saja saat Leora mengatakan demikian. Sembari membuka kelopak matanya dua detik lalu menutupnya kembali.
"Diamlah! Bersyukurlah sedikit. Kau ini kalau sedang dalam mode mengeluh berisik sekali!" sahut Aletha yang itu bisa dibenarkan oleh Leora sendiri. Ia jika sedang mengeluh maka akan sangat berisik luar biasa. Seperti radio FM 24/7.
"Bukan seperti itu. Ah kau ini!" kesal Leora yang langsung diikuti Leora yang membalikkan badan membelakangi Aletha. Padahal niatnya tadi ingin meminta pendapat tentang hidupnya, ia ingin tahu dari sudut pandang Aletha yang jelas akan menyalahkannya juga. Aletha paling hanya akan memojokkannya karena telah bersikap seperti anak yang tak tahu diri. Ya, Leora tahu ia akan mendapat cercaan seperti itu, tapi ia tetap nekat akan menanyakannya.
Setelahnya pun hening, karena keduanya sama-sama memilih untuk menutup mulut, menghentikan konversasinya.
Menghitung bintang, sudah seratus tiga belas yang Leora hitung dari barat ke timur. Ia bersantai di atas sofa beludru hangat dengan selimutnya yang telah melekat tak kalah hangat pada tubuhnya.
Berteman secangkir teh diet herbal yang diseduh dengan air panas yang baru mendidih, serta Aletha yang juga tak kalah membungkus dirinya dengan selimut dua lapis. Memang, tak heran, udara pedesaan jauh lebih dingin daripada dikota, entah karena apa tapi itulah faktanya.
Aletha duduk di samping Leora, sambil memijat jemari kakinya yang masih dingin meskipun sudah ada dua lapis selimut. Aletha memegang cangkir dan tatakannya, mencoba menyeruput kali saja ia bisa beristirahat sejenak setelah menghitung bintang dan berhenti pada hitungan dua ratus. Ia lelah juga, benar kata Leora jika susah tidur maka obatnya adalah menghitung bintang. Nyatanya membuat mata bekerja itu akan mempengaruhi lelahnya. Rasa mengantuk akan datang dan akhirnya tidur nyenyak pun didapat dengan mudah.
Melihat dari bayangan Aletha yang seperti tak memikirkan bahwa teh itu masih penuh kepulan asap, pun menjadi mencaci dalam benak. Apa Aletha berniat membuat lidah dan bibirnya matang oleh air panas itu?
"Panas!" hardik Leora yang langsung diikuti menolehnya wajah Aletha.
"Kutiup! Memangnya aku titisan setan mana yang akan meminum minuman neraka ini? Hah?!" seru Aletha. Terdengar seperti sedang menantang gulat. Padahal Leora hanya berniat memperingati, tapi seperti biasa akan jadi ajang terbukanya gerbang peperangan. Sudah biasa, bahkan tak hanya sekali atau dua kali dalam sehari. Keduanya seringkali terlibat perselisihan hanya karena hal sepele, seperti; style rambut tanpa poni atau ponitail manis dengan poni tipis?
Leora mengangkat dua bahunya, tak peduli Aletha titisan apa, ia hanya mencoba memperingati itu teh panas yang tak seharusnya diminum sekarang. Setidaknya tunggulah dua menit lagi agar asap mengepul itu mulai menipis kadarnya.
"Biasanya tidak, makanya kubilang!" sahut Leora tak mau kalah.
Aletha memutar bola matanya dengan malas. Lelah juga berdebat meskipun itu adalah hal biasa yang terjadi jika mereka bersama.
"Ayahmu? Bagaimana? Dia mengatakan sesuatu padamu?" tanya Aletha sudah dengan nada yang begitu tenang.
Leora menggeleng, memang tidak pernah. Bahkan saat bertemu tatap pun ayahnya hanya memandang lalu saat Leora memutuskan pergi dari hadapan ayahnya tak mencegahnya pun memanggilnya. Benar-benar seperti dianak-tirikan.
"Tidak," sahut Leora.
Nyatanya itulah yang terjadi. Tak ada kehangatan keluarga, tak ada konversasi manis antar ayah dan anak. Semua itu hilang dalam sekejap karena satu orang yang bahkan tak lebih berharga dari apapun. Dimas yang harusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada hidup Leora, lelaki macam apa yang bisanya hanya menyakiti lalu pergi?!
"Ngomong-ngomong sudah sejauh mana kau mengenal Leo Kim? Sudah berpacaran?" tanya Aletha tiba-tiba. Padahal tadi masih berbicara pasal ayahnya dan sekarang sudah berganti pembahasan. Leora jadi sedikit kaget tapi ia tetap mengulas senyum. Tak tahu kenapa ia jadi mudah sekali tersenyum akhir-akhir ini.
"Berpacaran bagaimana? Aku hanya bertemu satu kali hari itu. Makan bersama. Anak magangku ternyata adiknya, gila tidak? Tapi manis sekali. Anak magangku selalu memberi kabar tentangnya meskipun aku tidak menanyakannya," ujar Leora sambil memutar badan kembali jadi saling berhadapan.
Aletha berdecak, memang Leora ini jadi picisan sekali setelah putus dari Dimas. Kembali ke masa remaja yang tahunya cinta hanyalah ketertarikan. Padahal baru satu kali bertemu tapi sudah mengatakan pasal tertarik dan menarik. Tak heran, biasanya manusia memang selalu menginginkan sesuatu yang lebih baik dari yang sebelumnya.
"Baru satu kali?" tanya Aletha, pura-pura terkejut tapi wajahnya sangat mendukung. Matanya melebar dan alisnya menaik, benar-benar seperti orang terkejut.
Leora mengangguk, menanggapi pertanyaan itu hanya dengan satu anggukan. Benar, satu kali tapi meninggalkan kesan banyak sekali. Manis, tampan, sopan, dan meskipun tidak semanis Dimas ucapannya, Leora tetap memiliki banyak penilaian tersendiri termasuk saat Leo Kim mengatakan "semoga kita bisa bertemu lagi." Menurut Leora itu sangat manis, lebih manis daripada saat Dimas pertama kali mengatakan, "Aku tertarik padamu, nona."
"Satu kali. Satu kali yang manis. Tapi aku tak ingin memiliki hubungan dengannya. Ah, gila saja! Aku ini sepertinya agak sinting, Let..." Leora menepuk kepalanya sendiri setelah mengatakannya.
Luar biasa sekali pemikiran Leora sampai berpikir akan memiliki hubungan lebih jauh. Lagi pula siapa juga yang menawarkan hubungan padanya? Sepertinya benar bahwa Leora sedikit kehilangan keseimbangan otaknya. Agak gila setelah banyak sekali sesuatu yang berat datang padanya. Otaknya bukan memori robot, ia manusia yang bisa saja merasa penuh sekali dan berakhir error dalam waktu yang sulit ditebak kapan pulihnya.
"Bocah gila! Apa dia mengatakan ingin lebih dekat denganmu?" tanya Aletha, yang benar saja.
Aletha juga terkejut saat mendengarnya, apa Leora akan memulai membuka hati lagi? Membiarkan pria lain menempati posisi Dimas sebelumnya? Apa Leora sedang tidak gegabah dengan keputusannya? Semoga Leora tidak memandang Leo sebagai pelampiasan rasa sakitnya, itu akan lebih berbahaya daripada membuka hati sungguhan. Karena tak jarang pelampiasan akan menyakiti lebih dalam dari sakit yang sedang coba dialihkan. Dan Aletha tak akan pernah rela jika Leora terluka lagi. Sudah cukup ia melihat sehancur apa Leora saat tahu dikhianati oleh Dimas, dan Aletha tak ingin melihat Leora hancur kembali. Ia sudah berteman lama dengan Leora, dan seperti sudah menyatu dalam satu tubuh, ia akan tetap merasa sakit saat Leora juga sakit.
Katakanlah Aletha berlebihan, karena kau tak pernah memiliki sahabat sedekat Leora. Aletha tak akan menghakimi pendapatmu hanya karena mengangapnya berlebihan.
Leora menggeleng mantap lalu berujar, "Tidak juga. Dia hanya mengatakan padaku semoga bisa bertemu lagi."
Mendengar itu, Aletha menjadi lelah sendiri. Berpikir Leora sepertinya kerasukan jiwa bocah SMK yang baru pernah pedekate satu kali, yang baru tahu pria tampan, dan yang baru tahu manisnya romansa picisan. Aletha sampai tak habis pikir.
"Semua pria akan mengatakan hal yang sama, ra! Otakmu sepertinya kekurangan omega 3, jadi tidak pintar seperti itu?" sarkas Aletha yang sebenarnya hanya ingin tahu lebih jauh jauh apa yang terjadi pada sahabat gilanya itu.
Giliran Leora yang melirik tajam, tak terima sekali dibilang kurang omega 3. Serius ini adalah bentuk penghinaan gizi. Leora penuh oleh gizi dan nutrisi tapi Aletha masih menuduhnya kekurangan omega 3.
"Aku makan ikan salmon 4 kali seminggu, dan aku tadi memakan ikan juga, sialan! Mana ada aku kekurangan omega 3?!" ucap Leora sambil membenarkan selimutnya lagi. Semakin dingin saja malamnya.
"Omega 3 mu bukan ada di ikan, tapi di hatimu! Kau ini mencari pelampiasan? Membuka hati hanya untuk membalaskan rasa sakitmu?" tanya Aletha sambil menyeruput lagi tehnya yang sudah mulai menghangat. Sudah tidak sepanas sebelumnya.
"Tidak membuka hati, kubilang dari awal aku hanya tertarik." Leora meluruskan. Ia dari awal tidak mengatakan membuka hati, hanya tertarik saja dan berharap tak semua pria seperti Dimas Sagara.
"Tidak membuka hati tapi tertarik. Bagaimana sih? Kalau mau lebih jauh ya buka hatimu!" itu pertanyaan retorik. Sebenarnya tidak butuh jawaban, pun tak peduli karena setelahnya ia bisa melihat Leora hanya diam saja.
Aletha meletakkan cangkirnya diatas meja kecil itu. Sudah habis separuh. Mau masuk karena dingin.
Tak lama setelahnya, saat Aletha sudah bangkit dan hendak melangkah, disaat yang sama itulah senyum miris Leora terbit begitu saja, menyuarakan apa yang sedang ia pendam. Ketakutan apa yang sedang ia sembunyikan dibalik ia mengakui ketertarikannya pada seorang pria yang masih tergolong asing untuknya.
"Bukan tak ingin membuka hati, hanya tak ingin terlukai oleh belati yang sama. Aku hanya sedang meyakinkan diriku sendiri bahwa tak semua pria itu sama. Kau tahu itu..."
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Elizadevi
hai iyaa salam kenal juga. terimkasih
2023-02-18
0