..."Seperti picisan jika aku mengharap dia sebagai pengganti. Tidak, aku hanya tertarik saja, sedikit."...
......................
Baskara tak pernah mengeluh lelah untuk setiap kali ia ada hanya untuk membuat dirinya menyaksikan jutaan kepalsuan. Ia ada, di sana dengan setiap helaan sirat lelah karena berkali-kali menyangkal, tugasnya tetaplah untuk menyaksikan milyaran orang yang sedang berusaha tersenyum dan baik-baik saja saat pada sang bulan mereka mengadu sambil menangis.
Terkadang baskara iri, ia juga ingin tak hanya melihat segala kepalsuan, melainkan ingin menjadi yang mendengar setiap kejujuran meski tak jarang itu lebih menyakitkan.
Tidak ada siang untuk mengeluh, tak ada malam untuk menunjukan sirat kasihan pada bulan. Ada pun siang, Leora akan tetap bekerja sampai bosan. Lalu saat malam, Leora akan tidur dengan dua telinga yang tersumpal musik sampai setelah tuli. Leora tak seperti dulu, ia sudah meng-upgrade dirinya. Leora tak pernah lagi duduk di pojokan lalu menangis semalaman sampai matanya bengkak hampir tidak bisa terbuka. Lalu meratapi setiap takdir yang menghampiri dengan umpatan-umpatan tidak berguna yang hanya akan membuat mulutnya berdosa sekali. Leora meraskan banyak perubahan dalam dirinya sejak pertemuannya dengan Leo Kim.
Leora kerap kali tersenyum untuk hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah membuat dirinya menyulam senyumnya. Seperti kala ia mengunjungi rumah Aletha yang sedang berada di kampung halamannya yang ada di Jawa. Aletha ternyata bukan hanya pulang untuk menghadiri acara kerabat, melainkan Aletha sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Leora menaiki kereta untuk sampai di tempat Aletha, dengan berbekal tas koper kecil yang berisi beberapa baju dan skincare rutin yang ia pakai setiap hari. Akhirnya Leora bisa menapakkan kakinya kembali pada tanah yang sempat ia rindukan. Neneknya juga dulu berada di desa, tapi sekarang neneknya sudah pergi bersama bahagianya.
Aletha menjemput di stasiun setelah Leora mengirimkan sebuah pesan dan lokasi pada maps, meminta untuk diberi petunjuk harus kemana selanjutnya. Sebenarnya Leora tidak bermaksud meminta dijemput, manja sekali. Hanya saja Aletha sudah kelewat hapal perihal kebiasaan sahabatnya yang selalu sok tahu dan sok bisa semuanya sendiri tapi berujung nanti tersesat dan tambah merepotkan. Aletha sedang tidak ingin direpotkan oleh Leora dengan mencari keberadaan Leora yang tersesat kemudian lupa cara menggunakan Google Maps. Bukan lupa, tapi Leora tak bisa membaca maps, katanya terlalu rumit, berputar-putar dan berujung menyesatkannya.
Sudah semenjak beberapa jam yang lalu sejak Leora masuk ke dalam rumah Aletha yang tidak bisa dibilang sederhana. Rumahnya berbeda dengan sebelah, tetangga yang lebih bisa disebut manusiawi. Aletha anak orang terpandang, lumayan ikonik dengan sebutan 'tuan tanah'. Ayahnya adalah orang yang suka membeli tanah, menjual, dan menjadi perantara. Aletha tak pernah berpikir menjadi tenaga hukum, tapi ayahnya membuat keputusan yang tak bisa Aletha tolak. Ya, fasilitas. Aletha sering bilang pada Leora kalau ia membantah maka semua fasilitas hidupnya akan dicabut. Dan yang paling Aletha takutkan adalah saat kartu debitnya diambil. Sungguh, nanti Aletha tidak bisa lagi membeli voucher game dan netflix lagi. Ia bisa stress dan berujung mengunjungi psikolog karena kesepian.
"Tutup penggorenganmu, sialan!" ujar Leora saat ia membantu Aletha memasak ikan.
Wajarnya ikan kalau digoreng maka akan meledak, dan Leora masih percaya hal seperti itu. Padahal sebelum menggoreng, Aletha sudah memberi minyak itu setengah sendok teh tepung terigu agar ikannya tidak meledak. Lifehack yang seringkali Aletha pelajari di sebuah siaran masak yang ada di youtube.
"Tidak akan meledak. Kau ini, masih percaya? Lupa kalau aku jago memasak?" Aletha berbicara sambil sibuk membalik ikan yang sudah separuh matang itu. Leora penakut, takut kulitnya akan terkena minyak dan dia mungkin tak akan mandi sampai lukanya kering. Sekitar 3 hari, dan itu tak membuatnya tidak wangi
Leora menggeleng. Tidak lupa, hanya saja ia malas sekali memasak sendiri. Kenapa Aletha tidak meminta tolong pada bibi rumah dan tinggal menunggu saja tanpa repot memasak sendiri?
"Bukan. Tapi kenapa tidak meminta tolong saja? Kan ada bibi?" tanya Leora, tak habis pikir. Ini kali pertana Leora berkunjung ke rumah Aletha.
Sebelum-sebelumnya Leora tidak pernah berkunjung karena Aletha jarang sekali pulang, alasannya beragam, tapi yang paling masuk akal adalah karena; setiap kali Aletha akan pulang, maka ayahnya sudah ada di depan pintu apartemennya. Katanya tidak usah pulang karena ayah sudah di sana.
"Bibi sibuk juga, kau ini! Malas sekali?! Kau yang meminta memasak sekarang malah malas?" Aletha dan mulutnya yang tak pernah berkata dengan nada bicara benar. Sungguh Leora hanya bertanya dan sekarang ia malah dicecar habis oleh pertanyaan yang seperti menusuk dirinya. Itu fakta dan Leora tak berminat menyangkalnya.
"Bukan malas, sedang banyak otak ini. Kau tahu? Ah, iya lupa kau sudah resign."
Leora menunduk sebentar, teringat bahwa Aletha sudah memutus pekerjaannya membuat dirinya sesak bukan main. Ia belum bertanya perihal Aletha yang kenapa malah mundur di saat sudah hampir berada di puncak karir. Bukankah itu aneh? Banyak yang menginginkan tempatnya.
Aletha yang sudah terlanjur penasaran pun tak mau diam saja. Mengalah pada rasa penasaran itu sama saja menjadikan diri seperti sedang digantung pada sebuah tali. Tak tenang.
"Apa? Hei! Jangan buat penasaran atau aku akan membuat bibirmu sariawan!" ancam Aletha yang bukan terdengar menakutkan, malah terdengar menyebalkan. Kenapa pula membawa-bawa sariawan di saat Leora membenci benjolan kecil perih di bibirnya. Itu tak enak, makan pun harus hati-hati dan ia tak sudi merasakannya lagi. Ia sampai membawa botol vitamin C kemana pun ia pergi.
"Jangan mengancam, nanti ikanmu gosong!" kecam Leora. Saling melarang tapi saling melakukan.
Manik mata mereka saling berperang dan saling menuntut tanpa ada yang mau mengalah lebih dulu. Baiklah, Leora sedang suka sekali menjadi biang masalah. Membuat masalah sendiri dan dibuat ribet sendiri.
"Ah, ayolah. Aku tidak mengancammu, nona manis," ucap lirih Aletha yang kemudian diikuti bunyi ceklekan tanda ia mematikan kompornya. Tidak ada ikan gosong seperti yang Leora katakan. Ia cukup pintar jika hanya diminta menggoreng ikan. Calon istri katanya, padahal calon suaminya belum ada.
Pemilih! Leora suka mencebik pada betapa picky-nya seorang Aletha. Katanya tak mau sakit hati, ya begitulah yang Leora ingat dari percakapan tempo hari di apartemen Aletha saat Leora menghabiskan dua pack mi cup sambil menonton kartun Doraemon dan Nobita.
"Jangan memanggilku begitu, jadi ingat seseorang," ucap Leora.
Benar ia ingat seseorang. Yang kemarin makan bersama dan sampai sekarang belum bertemu lagi. Keduanya tak memiliki jadwal lenggang, sama sibuknya. Hanya bertukar kabar dari Rey yang masih magang di kantornya. Anak itu sekarang sedang Leora suruh cuti sehari di hari Jum'at kemarin, karena sabtunya libur dan minggunya Leora harus pulang untuk senin ia kembali bekerja.
Aletha terkejut, tangannya menumpu pada konter sedangkan kelopak matanya berkedip menunggu perkataan Leora selanjutnya. Tak ingin menyela karena jika Leora di sela ucapannya, maka kata yang semula akan Leora ucapkan pasti hilang dari otaknya. Kebiasaan anak pelupa yang tak jarang membuat Aletha menepuk jidat. Rasanya; luar biasa menyebalkan.
Tapi, menunggu pun tak membuat telinga Aletha basah oleh kabar terkini. Leora tak menunjukkan tanda-tanda bicara dan sekarang malah menyalakan keran westafel untuk mencuci tangannya. Okay, itu sebuah pengalihan, tangan Leora bersih dan harusnya tidak perlu cuci tangan. Aletha jadi semakin penasaran.
"Kau jual pita suaramu?" tanya Aletha, sangkin tak sabarannya. Sungguhan apa tidak ada kalimat yang lebih manis?
Baru saja Leora hendak membuka mulut, Aletha kembali menanyakan sesuatu yang membuat hatinya lumayan tersentak. Leora memang belum bercerita pasal malam itu pada Aletha, saat Dimas menelfonnya malam-malam di saat ia sedang me time dengan bathtub-nya yang hangat dan wangi itu.
"Apa Dimas masih suka menghubungimu? Dia menjelaskan semuanya? Dia benar berselingkuh? Seriusan, Leora aku sangat penasaran sekarang," tanya Aletha bertubi-tubi. Bahkan sekarang kedua tangannya sudah mencengkeram kedua bahu Leora hingga Leora membentuk bibirnya sinis sambil berdecih. Perlakuan yang sering pria player lakukan, membujuk sambil memegang kedua bahu dan meremas sedikit. Bedanya, Aletha bukan meremas bahu, melainkan menepuknya keras sekali. Bukan kesan manis yang terasa, melainkan kesan memaksa.
"Cih! kau seperti pria player. Kau belajar dari siapa?" tanya Leora.
Aletha pun menjadi terkekeh. Senyumnya melebar sampai akhirnya tak kuat menahan tawanya. Sekarang tawanya meledak. Ya benar, ia juga menyadari perlakuannya seperti seorang kekasih yang sedang menuntut jawaban dan penjelasan atas tindak perselingkuhan.
Aletha melepas kedua tangannya menjauh. Bersidekap sambil menyandarkan bokongnya pada konder meja. Hampir duduk, tapi kakinya kurang jenjang, jadi berakhir hanya bersandar.
"Aku belajar dari Dimas lah. Luar biasa, aku sampai kagum padanya asal kau tahu. Kagum, kenapa bisa pria macam dia hidup dengan damai dan popularitas yang keren. Mendapat hujanan pujian sebagai pria manis yang diinginkan banyak wanita. Ah, dunia ini kenapa jadi semakin lucu setiap harinya ya?" ucap Aletha panjang lebar. Sambil sesekali mengingat tentang ia dan keputusannya untuk berhenti bekerja dan mengikuti kata hatinya. Aletha memutuskan untuk menjadi seorang blogger yang setengah hidupnya akan ia gunakan untuk belajar memasak. Ia ingin memiliki usaha toko kue brownis, ingin mengikuti kata hati. Alasannya, karena ia ingin.
Leora menarik napasnya panjang, menahannya sebentar lalu mengembuskannya perlahan sampai habis. Ia tertawa sinis sedikit, suaranya tak terdengar. Tapi wajahnya mengatakan segalanya lewat raut yang terlihat. Leora muak mendengar nama Dimas, dan segala yang berkaitan dengannya.
"Dimas mengakui bahwa dia memang selingkuh. Katanya bosan, jadi mencari pelampiasan agar dia ingat dia punya aku. Alasan sinting!" ucap Leora bersungut-sungut. Sampai mengumpat pula. Sebenarnya ia sayang bibirnya, maunya tidak mengumpat, tapi jika sudah berbicara tentang Dimas, akan sulit bibirnya tidak memgeluarkan umpatan.
"Waw! Daebak!" kejut Aletha sembari menutup mulutnya dengan kedua tangan, dramatis sekali seperti dalam film. Tapi setelahnya Leora merasa ada yang aneh. Daebak itu umpatan atau ungkapan kekaguman?
"Apa yang kau bicarakan? Ungkapan apa dan dari bahasa mana?" tanya Leora dengan raut datarnya.
"Ah, kau tidak keren. Aku menonton drama Korea sekarang, bagus sekali, kau tau ah aku lupa judulnya, tapi dia keren, suka mengatakan begini; 'mafia itu, mafia itu, mafia itu....' seperti itu." ungkap Aletha. Okay, kesimpulannya adalah Aletha berganti aliran dari penyuka film menjadi penggila drama.
"Itu otakmu. Sisi liar otakmu minta dimanja!" ucap Leora. Otak Aletha kalau dibedah pasti lebih pekat daripada malam, banyak luka terpendam sampai menjamur sendiri.
"Sudah. Katakan siapa yang kembali menarik perhatianmu? Pria mana?"
Leora mengulas senyum saat menanggapi pertanyaan Aletha. "Lawyer. Tampan. Aku tertarik padanya."
"Leo Kim," imbuhnya. Matanya menerawang, ingat senyumnya.
"Leo Kim?" Aletha mengerutkan kening. Penasaran siapa Leo Kim.
"Bagaimana dengan ayahmu, Ra?" tanya Aletha sedikit khawatir.
"Aku tahu ayahku tak akan pernah setuju, dan aku benci mengakuinya bahwa sekarang aku tak peduli padanya, sama sekali."
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments