..."Aku benar, kan? Kata yang semula saling juga bisa menjadi masing."...
......................
Tidak menyetir sendiri karena sekarang Leora memiliki supir pribadi. Bukan juga, hanya anak magang yang penasaran dengan aktivitasnya. Alasan Leora mengajak Rey adalah ya seperti ini, bukan untuk belajar kasus memusingkan, bukan juga untuk menghadiri sidang di ruangan simulasi, tetapi untuk membuat Leora bisa bersandar di kursi sebelah samping kemudi. Bisa memejam sejenak guna menunggu ponselnya berbunyi telepon dari seseorang.
Leora tidak memiliki janji apapun, hanya saja ia sedang ingin mengunjungi sebuah rumah makan langganannya. Leora selalu memesan minuman dingin lemon dengan biji selasih dan sedikit rasa manis dari sirup lecinya. Rasanya? Aneh. Namun, Leora bahkan sangat menyukainya lebih dari Leora menyukai susu pisang. Ada banyak perbedaan dari dua minuman kesukaan Leora, yaitu jika susu pisang akan membuat pipinya mengembang, dan lemon selasih itu akan membuat pipinya tirus kembali.
Memikirkan kisah cintanya, jelas tak berguna. Mengingat Dimas yang mengaku selingkuh, juga tak ada manfaatnya sama sekali. Sebenarnya Leora tidak pernah berniat makan siang dengan anak magang itu, tapi ia kasihan juga lama-lama melihat Rey yang berusaha sekali menjadi anak magang yang baik.
"Nanti makan di sana saja? Kamu suka ramen tidak?" tanya Leora, Rey masih terlihat berpikir. Entahlah apa yang bocah itu pikirkan hingga membuat pertanyaannya lama sekali dijawab. Padahal hanya iya atau tidak.
"Suka, tapi tidak terlalu," ucap Rey, pengakuan yang berani. Leora suka tipikal yang terus terang, tidak berbelit dan itu menjadi memudahkan. Leora tidak bingung jika mau mentraktir.
"Biasanya bocah sepertimu akan bilang suka walaupun tidak suka. Kenapa terus terang sekali? Gemas jadinya, bocah."
Leora terus saja melempar pertanyaan, walaupun ia tak benar-benar membutuhkan jawaban yang lama sekali Rey berikan. Anak pintar kadang malah banyak berpikir, banyak jawaban hingga harus dipilih mana yang paling tepat.
"Karena aku tidak suka, senior. Jujur lebih baik daripada berpura-pura. Ah jadi teringat tadi matamu bengkak, memangnya mantan kekasihmu melakukan apa padamu?" tanya Rey, terdengar lancang sekali.
Namun, Leora tidak keberatan, bocah itu cukup menghibur, seperti obat. Obat yang mana tidak boleh dikonsumsi berlebihan karena akan menimbulkam efek samping. Tapi tenang saja, Leora tidak akan jatuh cinta pada pria yang lebih muda. Tidak akan, yang lebih tua saja tidak dewasa, apalagi yang lebih muda. Nanti bukannya menjadi dewasa bersama, tapi malah bermain seperti roman picisan.
"Seperti ini, tapi sebentar. Menyetirlah dengan benar, awas saja kalau sembarangan!" peringat Leora langsung, Leora memang akan sedikit berdongeng sekarang, tapi ia tak boleh membuyarkan fokus Rey dalam menyetir.
Rey mengangguk saja. Leora tahu kalau Rey sebenarnya sudah penasaran, tapi raut wajahnya dibuat biasa saja seolah memang tidak membutuhkan informasi apapun. Lucu, ingat dirinya sendiri jadinya. Seperti becermin.
"Kamu lelaki, apa yang membuat lelaki berpikir untuk selingkuh? Jawablah yang jujur karena katanya kamu suka kejujuran," Leora serius bertanya. Penasaran sebenarnya apa motivasi setiap pria yang memutuskan untuk bermain dibelakang pasangannya. Meski kasus Leora jelas bukan pasangan suami istri, hanya berkencan, tapi harusnya tidak bermain kan? Harus punya komitmen meskipun terbentang jarak.
Rey sempat berpikir sejenak, memandang Leora dengan tatapan yang sulit diartikan. Memandang hanya sekilas karena setelahnya fokus lagi ke jalan. Jalanan lumayan lenggang, tidak macet, jadi tidak masalah sambil berbincang ringan. Leora juga tahu diri, jika situasinya tidak memungkinkan ya tidak mungkin Leora akan mengajak orang menyetir mengobrol seperti ini.
"Karena intensitas pertemuan, bisa juga karena bosan. Masih labil, atau memang suka bermain. Player? Pro player. Setiap orang berbeda, tapi hanya itulah yang memiliki presentase paling besar," jawab Rey, lumayan masuk akal, atau malah terlalu masuk akal. Leora sampai mengiyakan dalam diamnya. Membenarkan dengan sukarela dalam hati dan isi kepalanya.
Intensitas pertemuan, bosan, atau memang darisananya suka bermain. Memang itulah yang sering terjadi. Yang paling sering mendasari. Terkadang Leora berpikir dirinya yang bodoh atau memang prianya yang tidak sadar bahwa miliknya adalah yang diharapkan orang lain? Kali ini Dimas, dia pria paling Leora benci. Istilahnya; she's hate a man to the moon and back.
"Hanya itu?" tanya Leora, terus memancing berharap dapat banyak.
Rey juga orangnya lumayan terbuka, seperti pandai menjaga privasi. Mulutnya tidak sembarang mengatakan hal yang tak dianggap penting. Bocah yang sepertinya akan menjadi pria yang baik. Hanya perkiraan Leora. Sekarang hatinya jadi lumayan peka dan sedikit banyak bisa menilai orang setelah pernah patah hati. Patah hatinya membawa pelajaran berharga untuk Leora. Bahwa tak peduli selama apapun menjalin hubungan, jika nol komitmen ya pasti akan buyar. Lebur. Lebih parahnya seperti pecahan kaca, melukai hingga mati rasa. Untungnya Leora masih waras, jadi ia tetap masih manusia normal, gadis normal, dan ia tentu masih membuka hati untuk siapapun yang berpotensi membuatnya bahagia, meskipun sulit tapi Leora tetap melakukannya.
"Aku tidak tahu, senior. Aku tidak memandang pria berselingkuh adalah yang paling biadab, hanya saja pria seharusnya tidak membuat wanitanya menangis. Aku akan bilang jika aku sudah tidak bisa bersamanya. Aku lebih memilih berakhir dulu, baru mencari yang baru," jawab Rey, khas sekali pria. Tapi terdengar jawabannya sangat dewasa. Leora sampai tertegun sendiri, bocah manis. Ayahnya pasti membesarkan pria sejati, dan ibunya membesarkan seorang pahlawan.
Namun, Leora sedikit merasa ada yang mengganjal, apa? Sesuatu, Rey bilang ia akan mengatakan langsung jika sudah tidak bisa bersama. Ah, itu bukankah sama saja menyakitkan. Menyakiti, dengan langsung. Tanpa perantara. Sakitnya akan sama saja.
"Itu akan sama saja menyakiti. Kau sama saja seperti membuangnya," ujar Leora, dengan sudut pandangnya sendiri. Ia berpikir sakitnya akan sama saja. Perselingkuhan adalah luka paling menyakitkan, apalagi ditambah hubungan jarak jauh sebagai faktor utama.
"Seorang gadis akan lebih tersakiti kala terkhianati, kurasa sakitnya ditinggalkan tak akan sebanding dengan pedihnya pengkhianatan. Karena itu sama saja merendahkan sang gadis serendah-rendahnya manusia. Diduakan, itu menyakitkan. Senior, tahu rasanya, kan?" jelas Rey, panjang lebar sekali. Seperti seorang expert, padahal Rey jauh lebih muda dari Leora.
Leora terkesiap saat Rey memanggilnya senior. Leora benar-benar tenggelam. Tenggelam sedalam samudra tanpa dasar. Kalimat Rey menyentuh hatinya. Leora tak tahu kenapa hatinya langsung mencelos saat Rey mengatakan demikian, seperti ada sengatan-sengatan listrik yang membuat Leora terbangun dari kebodohannya. Ada yang tahu nilai seorang perempuan, Leora merasa bahwa pria yang Leora inginkan adalah yang tahu bagaimana cara menghargai seorang perempuan.
"Ya, tahu rasanya," sahut Leora gugup sendiri. Ada apa dengan dirinya? Ia tersentuh sekali hingga tak sadar ia melamun mendalami setiap kalimat yang Rey ucapkan. Penjelasan paling masuk akal dari setiap yang ia ajak bercerita. Aletha hanya memberinya emosi, sedikit petuah di akhir. Sedangkan Rey memberinya petuah dari awal hingga akhir.
"Siapa yang mengajarimu, indah sekali diksinya. Seperti seorang filsuf percintaan. Bocah! Padahal kamu lebih muda dariku!" Leora menjitak kepala Rey.
Pujian untuk Rey memang mengalir deras, tapi saat teringat bahwa Rey seperti adik untuknya, Leora terkekeh. Pria muda yang tahu banyak hal. Ayahnya berhasil mendidik seorang anak lelaki, bukan seorang pengecut yang tak tahu diri. Bangga dengan seluruh ayah dibumi ini, mereka adalah pahlawan untuk anak-anak mereka.
"Ayahku bercerai, senior. Ibuku tidak setia karena ayah sibuk bekerja. Aku hanya hidup bersama kakak, kakak lelakiku yang sangat menyayangiku. Ah, rasanya rindu sekali, dia sekarang di Jepang karena pekerjaannya. Dia pengacara juga sepertimu, tapi ayah ingin kakak bekerja di perusahaan saja," jelas Rey lagi.
Leora semakin perih hatinya. Apalagi saat Rey mengatakan bahwa ibunya tidak setia. Sesama perempuan, jadi merasa bahwa ia sama saja meskipun jelas Leora merasa berbeda. Ia tidak menyakiti perasaan siapapun.
"Maaf bocah manis! Jadi membuatmu ingat. Tapi, jadilah pria yang selalu mencintai wanitamu. Mungkin bagimu dia hanya seorang yang butuh direngkuh, tapi jauh dari pada itu perempuan hanya ingin kehadirannya dihargai." Leora memasang kembali kacamata hitamnya. Tak ingin terlihat sedang berkaca-kaca. Ia jadi ingin menangis, tapi malu juga dilihat bocah kecil yang terasa sekali lebih dewasa itu.
"Tidak apa-apa. Aku juga memaklumi ibuku, ibuku sudah berusaha sekuat itu sampai akhirnya dia menyerah. Ya, dia memiliki jalan hidup yang dipilihnya sendiri. Terlepas dari tanggung jawab dua orang anaknya, dia juga manusia yang butuh bebas untuk merasakan kehidupannya. Ayah sangat menghargai keputusan ibu, kala itu...,"
Suara Rey bergetar, Rey mengatakannya sembari menahan sesak di dadanya. Tak hanya pria yang bisa berselingkuh, perempuan juga akan melakukan hal yang sama jika kehadirannya tidaklah dianggap berarti. Tak semua manusia bersikap seperti itu. Leora tak mungkin menyamakan karena setiap orang memiliki hak atas keputusan sendiri terhadap hidup yang dijalaninya.
"Dewasa sekali kamunya, ayahmu berhasil membesarkan dua orang pria, hebat sekali...," puji Leora, menepuk bahu Rey sekilas. Ia tak menyangka bocah magang itu membuatnya lebih terbuka pada dunia dan segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Ada kalanya semesta membuat hati manusia patah untuk menyadarkannya. Tidak selalu tentang sesak di dada dan perih di pangkal tenggorokan, nyatanya ada sesuatu yang dapat dipetik dari setiap lara yang menghampiri. Bahwa; seperih luka yang menganga, selalu ada pelipur untuk mengeringkan sayatannya.
"Aku hanya bersyukur karena aku dibesarkan oleh dua pria yang waras," pungkas Rey yang membuat Leora terkekeh sedikit. Padahal tadi sudah mau menangis, tapi Rey berhasil mengubah suasananya. Yang tadinya mencekam, berubah menjadi renyah oleh kekehan.
Sepanjang mobilnya terus melaju dengan kecepatan sedang, sepanjang roda hitam kendaraannya mengukur tiap inchi aspal yang terinjak, Leora merasakan dirinya kian bisa melupakan. Dimas punya pilihan, kendati telah menyakitinya, Leora paham konsep dunia berjalan sekarang. Dimas manusia dan dia punya titik jenuh. Minimnya pertemuan dan Leora memakluminya. Hanya saja Dimas tidak sedewasa Rey. Dimas memilih mendua untuk memenuhi perhatian yang dia butuhkan. Tapi tidak masalah, Leora akan menghargai setiap keputusan Dimas sekarang.
Konsep dunia itu adalah; setiap orang memiliki pilihan. Penghakiman hanya akan mengacaukan tatanan yang sudah disusun rapi. Hak untuk memilih, dan pilihan untuk lebih bahagia.
Leora berpikir agaknya ia harus bisa menjadi dewasa. Umur bukan patokan tingkat kedewasaan seseorang. Biasanya mereka yang bijak adalah manusia yang pernah memiliki luka yang sangat menyakitkan. Mereka memandang dunia dan setiap kejadian tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Melainkan memandangnya sebagai pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dimasa yang akan datang.
"Nyalakan sen kanan, di sana saja. Yang tidak suka ramen harus makan nasi. Ku traktir saja, anggap saja sebagai sambutan anak magang," ucap Leora sambil menebar senyumnya dengan kacamata yang masih tersampir dihidung kecilnya.
"Jangan kurangi nilaiku ya senior, maaf lancang sekali akunya," ujar Rey dengan mata besarnya yang membulat. Mengedip beberapa kali begitu lucu. Leora semakin terkekeh hingga teringin terpingkal ditempat. Leora tak akan membawa-bawa nilai, nilai Rey akan aman. Lucu sekali sampai berpikir begitu.
"Nilaimu aman, anak magang," Leora terkekeh tanpa teringat lukanya. Ia sembuh, kendati belum sepenuhnya.
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments