13. The Night Suffer

..."Rasa percaya hanya akan membawamu pada sebuah luka yang mungkin saja tak pernah bisa menemui sembuhnya."...

......................

Hari senin pagi. Sudah bukan menjadi rahasia lagi jika hari pertama pada sepekan adalah hari paling dibenci oleh seluruh manusia di bumi, termasuk Leora yang workaholic sekalipun.

Penyambutan hari senin pasti berbeda-beda setiap orang, ada yang bahagia sekali, ada yang menganggapnya adalah awal neraka dalam dunia kerja. Mereka yang menyambut dengan senyuman, biasanya adalah mereka yang bekerja karena passion, karena suka, karena mereka mencintai pekerjaan mereka. Namun, sebaliknya, mereka yang menganggap hari senin adalah awal penderitaan mereka yang bekerja di bawah tekanan, di mana mereka pada dasarnya sangat membenci pekerjaan itu, tapi mereka tak ada pilihan lain selain menjalaninya guna menunjang biaya kehidupannya.

Leora tidak membenci senin, hanya saja ia sebenarnya sedang ingin sekali bergulingan saja di atas kasur seharian setelah semalam ia seperti habis dikuras emosinya dan diperas paksa air matanya. Sekarang matanya agak bengkak, bahkan ia harus memakai kacamata hitamnya yang dipadukan dengan setelan kantor berupa blazer dan celana panjang berwarna ungu gelap dan tas jinjing hitam berisi berkas pekerjaannya. Ia tak ingin mendapat banyak pertanyaan perihal kenapa matanya bengkak, makanya ia memilih untuk menutupnya dengan modis; pilihan yang bagus dengan kacamata hitam yang seharga motor baru.

Leora berangkat sendiri, seperti biasa. Alasannya tidak beragam dan masih seperti biasa. Selain karena ia sedang tidak berbicara dengan ayahnya, juga karena ia tidak punya teman akrab selain Aletha, sedangkan Aletha sepertinya sedang tidak berangkat kerja hari ini, jadwalnya kosong di pengadilan, ambil cuti dua hari untuk menghadiri pernikahan salah satu kerabat. Ya, itu membuat Leora benar-benar merasa tak ada kawan seperjuangan dan sependeritaan. Leora merasa kesepian sekali, dan ia jadi merasa bahwa hidupnya tidak berwarna.

Leora datang seperti biasa, berjalan melewati beberapa kubikel dan menuju ruangannya yang tidak berpindah meskipun ia di promosikan menjadi pengacara senior. Soalnya baru promosi, belum resmi, belum jadi istimewa.

Leora sadar bahwa syarat mutlak menjadi istimewa adalah dengan memiliki kelebihan yang terlihat lebih unggul dari lainnya, dan Leora jelas sadar bahwa ia bahkan belum istimewa dalam segi apa pun. Ia masih sama dengan yang lain, bedanya ia adalah yang paling pandai membujuk beberapa klien. Tak jarang Leora diminta bantuan oleh rekan kantornya untuk membuat klien keras kepala agar mau mengambil opsi sidang juri atau banding, dan Leora berhasil tanpa perlu berusaha keras. Dan itu bukan suatu prestasi menurutnya, karena ia bahkan tidak banyak menggunakan taktik untuk melakukannya.

Leora selalu menggunakan opsi bicara dari logika ke logika dan mereka menerimanya dengan baik. Leora tidak kesulitan jadinya karena mereka mudah digiring dengan kalimat meyakinkan, Leora cukup lihai dalam hal yang satu itu.

Leora duduk di balik meja kerjanya yang ditinggalkan seharian kemarin. Akhir pekan yang cukup mengesankan. Selain ia pergi ke gym, ia juga masih mengingat bagaimana saat Aletha menjabarkan perihal selingkuh dan perpisahan karena katanya terlalu baik. Okay, jawaban Aletha sebenarnya agak mengusik Leora, pasalnya Aletha seperti seorang psiko. Ingatkan pada saat Aletha mengatakan tanpa ragu; "Tidak apa-apa, kalau aku terlalu baik semoga selingkuhannya yaa adalah seorang kriminal."

Baiklah, Leora bisa menerima itu. Alasan dan jawaban paling masuk akal. Ia seorang perempuan juga, mampu merasakan emosi seperti itu. Serba salah, ia baik salah, benar ya salah, apalagi menjadi gadis nakal, itu lebih salah dan kelewat salah. Jadi sebenarnya bagaimana cara menjadi perempuan yang benar? Tidak tahu. Leora tidak tahu, bagaimana menjadi yang baik dan benar agar tidak terluka karena sebuah pengkhianatan.

"Sudah menerima gajimu? Bos memberimu bonus lagi!" suara seorang pria, baru masuk ke dalam ruangannya. Anak magang, yang kemarin itu.

Leora terkesiap sebentar, kaget juga. Ruangannya sekarang terbagi, ada meja lagi untuk anak magang yang katanya ingin belajar banyak darinya, namanya Rey Kim. Leora sebenarnya bukan terganggu, karena anak itu supel sekali. Mudah akrab, tidak menyusahkan dan tidak merepotkan, sepertinya. Leora juga masih menebak, pasalnya hari ini adalah hari pertama dan dia sudah berani berkata seperti bukan pada atasan melainkan seperti sedang berbicara pada teman sebaya.

"Benarkah?" pekik Leora, memilih untuk menilik ponsel daripada mempermasalahkan anak magang itu yang sedikit tidak sopan. Ia perlu membuktikan bahwa Rey tidak membohonginya. Sebentar, dia tahu dari mana bos memberinya bonus?

Leora mendapati dua pesan notifikasi dari bank tempatnya menabung, memang benar. Ada dua slip yang masuk, pertama adalah slip gaji dan yang kedua adalah bonus bulanan. Anak magang itu seperti wikipedia, atau malah cenayang? Entahlah, bodo amat juga, tidak peduli. Anak magang kan selalu mencari perhatian agar nilai magangnya mendapat nilai A. Sudah biasa, ia juga pernah jadi anak magang, dan ia juga suka sekali mencari perhatian. Katanya kalau tidak inisiatif nanti kurang nilainya. Penilaian basi yang masih dipakai oleh sebagian besar anak magang hingga detik sekarang.

Leora menjadi melirik, mendapati Rey yang sibuk merapikan buku padahal tidak berantakan. Dia ingin terlihat sibuk agar tidak terkesan hanya menganggur saja. Disamping Leora kasihan, ia juga rasanya ingin membuat Rey sadar bahwa sekarang ia adalah senior di sana, bukan teman sebaya. Boleh bersikap normal saat bukan jam kerja, tapi pada jam kerja, Leora jelas menuntut anak magang itu untuk bersikap profesional.

"Anak magang?" panggil Leora, dan Rey segera mendekat. Rey tahu juga bahwa tugasnya di sana adalah untuk disuruh-suruh berkedok magang. Budak korporat?

"Ya, senior?" sahut Rey. Sekarang sudah sopan lagi. Sudah tidak seperti tadi yang terkesan seenaknya saja.

"Bagus. Aku hanya ingin mengatakan padamu aturan main di sini. Kamu magang, dan apa kamu sudah tahu apa yang harus kamu lakukan?" tanya Leora, khas senior yang sedang membacakan aturan-aturan pekerjaan pada anak baru, kali ini bukan karyawan baru, tapi hanya anak magang.

Rey hanya mengangguk setelah mengucap Ya dengan mantap. Ia tahu, dan tegas menjawab dengan kata yang tepat dan tanpa keraguan. Rey mahasiswa teladan, meskipun agak nakal. Dalam riwayat yang ada di dalam berkasnya, Leora bisa tahu kalau Rey tidak mengambil organisasi apa pun, mutlak hanya kuliah tapi cukup aktif mengikuti seminar-seminar luar kampus. Itu juga bagus, tidak melulu mahasiswa yang pandai adalah yang mengikuti organisasi.

"Ya, aku tahu, senior," sahutnya lagi, membenarkan pernyataan pertama yang hanya satu kata saja; ya.

Leora mengangguk-anggukan kepalanya. Itu bagus sekali, ia tak perlu menyampaikan banyak hal karena anak magangnya sudah pintar sekali.

"Ada tambahan sedikit dariku karena kau anak magangku sekarang. Pertama, jangan menjadi sok sibuk saat aku tidak memberikan pekerjaan apa pun. Kedua, biasakan bersikap profesional sebagai tenaga hukum. Mungkin setelah ini kau akan mulai sibuk karena aku akan membawamu langsung terjun ke sebuah kasus," terang Leora, berharap anak magangnya langsung mengerti dan ia akan bekerja dengan fokus tanpa gangguan.

"Baik, senior," sahut Rey, kesan patuh seperti anak magang pada umumnya.

"Dari beberapa sumber yang kudengar, kau tidak suka hanya belajar teori, makanya aku akan membuatmu mengerti dan belajar lewat kasus nyata," ucap Leora lagi. Metode belajar yang juga Leora sukai dari dulu. Ia tak suka teori, ia suka langsung melihat praktiknya saja. Ia sering ayahnya ajak ke pengadilan juga saat ada sidang, ia banyak belajar dari sana.

"Baik, terimakasih sudah banyak membantu, senior..." ujar Rey, lalu ia membungkuk sedikit, berterimakasih sekali karena Leora tidak galak. Senior biasanya identik dengan galak dan sok kuasa, tapi Leora tidak. Dan Rey cukup terharu karenanya.

Leora tersenyum. "Sudah tanggung jawabku. Belajarlah yang banyak selama magang, okay?" ramah Leora. Terlalu galak hanya akan membuat diri tidak dihargai, juga jangan terlalu baik dan friendly karena itu akan membuatnya kehilangan respect. Tetaplah profesional, itu adalah langkah terbaik. Tidak perlu terlalu serius, agar tidak kehilangan respect.

"Itu pasti, senior," sahut Rey, mantap. Leora suka semangat membara seperti itu. Seolah sedang mengingatkannya bahwa dulu ia juga seperti itu.

......................

Baru pukul 9, masih terlalu pagi untuk ukuran pengacara yang sudah berkeliaran. Ia tidak makan di luar, tidak mencoba kabur dari tanggung jawab juga. Leora memiliki janji temu dengan Dion, membahas kemantapan perpisahan sebelum berkas masuk ke pengadilan dan jelas sebelum pengadilan mulai mengadakan langkah pertama; upaya perdamaian.

Leora duduk sendiri, di kafe dengan bilik privat. Leora sengaja memesannya agar nyaman membicarakan hal yang bersifat privasi.

"Maaf terlambat sekali," ujar pria yang baru masuk dan duduk di depan Leora. Dion, yang Leora tunggu sampai kakinya berjamur sejak 20 menit yang lalu.

Leora mendongak, tersenyum saja. Masih mencoba ramah sekali. "Tidak masalah, santai saja," sahut Leora dengan nada bicara yang dibuat sesantai mungkin.

"Jadi? Sudah mantap? Aku akan memberikan berkas ini hari ini agar besok sesuai yang anda mau anda bisa sidang pertama. Semuanya akan cepat tergantung kelengkapan dan kevalidan berkas ini. Tidak ada penentuan tenggat waktu antara berkas masuk dan kapan sidang, asal anda siap, kami juga siap." Leora menyebut 'kami' jelas mewakili tenaga hukum yang akan terlibat nantinya.

Leora awalnya melihat sedikit banyaknya keraguan dalam mata Dion saat ia bertanya seperti itu, tapi melihat kembali Dion mengangguk yakin, Leora tak punya pilihan atau nasihat apa pun lagi. Ia sudah bicara banyak kemarin, bahkan sampai membahas penyesalan juga, dan nyatanya Dion tidak merubah keputusannya sama sekali. Sudah mantap dan tidak ada yang berani mengusik keputusannya termasuk Leora sebagai kuasa hukumnya.

"Ya. Selesaikan dengan cepat. Aku lelah menjadi pria pengecut yang hanya bisa menyakiti hati wanitaku. Aku ingin dia bahagia tanpaku saja. Peduli setan dengan cinta, nyatanya aku tidak secinta itu. Napsu duniawiku membutakanku, dan benar katamu bahwa menyesal pun tidak ada gunanya." Dion tersenyum miris selesai mengatakan hal itu. Nyatanya, semua kalimatnya adalah sebuah penyesalan yang tiada akhir.

Leora menepuk bahu Dion sekilas, ia tahu. Leora tahu hancurnya meninggalkan seseorang saat hati masih terang-terangan mengharap suatu kebersamaan yang terasa mustahil. Semalam ia mengalami hal yang sama, dan sekarang ia tahu sesesak apa dada Dion menahan isakannya. Tak ada bedanya pria dan wanita, hatinya juga akan sama menangis saat dihantam oleh hantaman batu yang sama.

Kata siapa lelaki tak boleh menangis? Lelaki juga manusia, makhluk Tuhan yang tidak selamanya menjadi perisai untuk wanitanya. Terkadang mereka juga berhak menangis saat pundaknya terlalu berat menanggung semuanya seorang diri.

"Sehancur itu aku pernah, hanya bedanya, kepercayaan yang kukira menghidupiku, dialah yang menyakitiku." Batin Leora yang sudah mulai berisik menyuarakan ribuan luka dari penggores yang sama meski tajamnya jelas berbeda.

[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!