... "Memang benar, manusia hanya kloningan semesta yang bisanya melupakan kesalahan sendiri, tapi menuntut orang lain meminta maaf untuk kesalahan yang belum tentu adalah salahnya."...
......................
Bukan menjadi hal baru saat Leora lebih memilih apartemen Aletha daripada rumahnya sendiri, apalagi semenjak rumahnya berubah menjadi sedingin rumah eskimo karena ia sendiri yang mencipta jarak dengan ayahnya. Ia lebih memilih untuk diam daripada ia malah kelepasan berkata yang tidak-tidak pada ayahnya. Ia memang kesal, tapi ia tahu bahwa menyuarakan kekesalannya hanya akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Ia lebih baik memendam daripada meminta maaf karena penyesalan.
Satu, dua, tiga, terhitung sudah 3 kali Leora mengganti chanel netflixnya dengan alasan filmnya tidak ada yang bagus, padahal sudah jelas ia sendiri yang memilihnya.
Untuk Aletha, tentu hal itu adalah perkara yang biasa mengingat sedang sekacau apa pikiran Leora sekarang.
Kacau, lebur, dan sesak. Bukan sedang mendramatisir keadaan dengan terus mengingat luka padahal jelas Leora bisa saja kembali pada Dimas karena Dimas sendiri yang terus memintanya kembali. Namun, Leora tetap memilih berpisah dan tidak lagi ingin kembali menerima maaf bahkan di saat hatinya masih menginginkan sebuah kebersamaan. Leora mencintai Dimas, itu fakta telak yang sedari kemarin Leora coba sembunyikan dari dunia luar, pun termasuk dari Aletha. Fakta menyakitkan yang membuat Leora hanya bisa melampiaskannya pada dirinya sendiri di tengah malam. Membiarkan matanya mencipta lebih banyak air mata, dan dengan santainya mengalir di dua belah pipi merahnya.
Leora mengatakan sebuah kebenaran saat ia mengatakan bahwa bukan karena keputusan Dimas yang melukainya, melainkan ia merasa harga dirinya terlukai saat sebagai seorang perempuan ia ditinggalkan tanpa alasan yang pasti. Jika mungkin Dimas mengatakan bahwa sudah tidak ada kecocokan, Leora akan mempertanyakan pada segi mana ia bisa memperbaiki apa yang sekiranya sudah tidak bisa Dimas terima. Namun, Leora tidak mendapatkan seutas pun kalimat itu dari Dimas, malah sekarang Dimas seolah menjadi lelaki paling manis di hadapan ayahnya dan bertingkah seolah permasalahannya hanyalah sebuah kesalahpahaman.
"Kenapa filmnya tidak ada yang bagus? Netflix-mu tidak pernah kau update ya?" kesal Leora yang hanya berbuah cebikan menyebalkan dari Aletha yang sedang sibuk dengan cat kuku berwarna bening yang sedang dioleskan ke kuku di jari tangan kirinya.
Sembari melirik Leora yang sedang memasang wajah masamnya, Aletha paham prinsip psikologi otak manusia. Bahkan di saat diri tidak berada dalam mood yang baik, otak akan mengirim sinyal ke gelombang otak sadar dan membuat semua hal yang ada dalam hidup seseorang menjadi menyebalkan. Atau lebih tepatnya adalah, baik atau tidaknya sesuatu hal, tergantung suasana hati.
"Berhentilah mencaci setiap hal yang terjadi dalam hidupmu, mereka tidak salah, kau yang salah!" cebik Aletha, sedangkan Leora langsung menoleh dengan tatapan tajamnya.
"Memang! Filmnya tidak ada yang bagus!" ujar Leora dengan nada bicara yang meninggi, sudah siap jika akan terjadi adu mulut.
"Diamlah, sialan! Jangan memulai peperangan siang-siang begini!" peringat Aletha.
Aletha sedang tidak ingin beradu mulut, apalagi berperang memperebutkan tropi kemenangan yang tidak juga ada gunanya. Karena berdebat dengan Leora sama saja dengan membaca seluruh pasal dalam kitab undang-undang. Itulah alasan Aletha lebih memilih mengalah daripada menguras daya pikirnya dan membuat isi kepalanya berasap hanya karena meladeni ajakan perang Leora.
"Siapa yang mengajakmu berperang? Aku hanya sedang menanyakan kenapa tidak ada film yang bagus?" ujar Leora lagi, membela diri adalah salah satu keahliannya.
"Makan mi instanmu dan tidurlah, bukankah dua hari lagi adalah sidang perdanamu bersama klien-mu?" ujar Aletha sekaligus berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia tak akan pernah menemui kemenangannya saat Leora bersikeras dengan argumennya. Keduanya memang sama keras kepalanya, tetapi jika untuk Leora, bahkan Aletha selalu memilih mengalah lebih dulu sebelum terjadi peperangan. Intinya Aletha selalu mengalah untuk Leora, itu jelas lebih baik menurut Aletha sendiri.
"Tidak jadi lapar, makanlah mi instanku yang sudah besar-besar itu!" ujar Leora sambil bangkit sofa dan berjalan menuju dapur. Aletha yang melihat langkah Leora dihentak-hentakkan pun hanya bisa menggelangkan kepalanya. Percuma juga jika ia bersuara, itu hanya akan diabaikan bahkan hanya dianggap seperti angin.
Tapi setelah telinga tajam Aletha mendengar bunyi pintu lemari dapur dibuka, Aletha jadi curiga perihal apa yang akan dilakukan teman sialannya itu setelah membuang satu cup mi instan mahal yang ia beli dari jasa jastip. Itu mi kuah pedas, asli Korea. Aletha mendapatkannya susah payah karena ia harus menunggu hingga 3 hari baru ia menerimanya sebanyak ia memesan. Ia memesan satu dus, memang, tapi bukan berarti ia mengijinkan medusa Leora itu menghabiskannya dalam sehari.
Beralih dari cat kuku, peduli setan dengan cairan di kukunya yang masih basah karena harga mi dan harga cat kukunya masih mahal sebungkus mi instannya. Ia harus menyelamatkannya sebelum Leora mengeluarkannya lagi. Leora tidak bisa memakan makanan pedas dan sekarang ia akan menyeduh mi mana lagi?
Aletha berlari, dengan celana pendek dan kaus kebesaran polos berwarna putih, setelan rumahan dengan rambut dikuncir acak. Bibirnya mempout, bersiap mengomeli Leora jika saja tebakannya benar.
"Nona Daymion? Itu mi mahal asal kau tahu!" ujar Aletha pelan tapi dengan penekanan penuh pada tiap ujung suku katanya.
Aletha sekarang bisa melihat Leora sedang mengeluarkan satu bungkus lagi mi hitam, tapi lihatlah wajah Leora yang seolah tanpa dosa itu sedang menuang air panas ke dalamnya. Okay, kali ini Aletha tak akan mengambil tanggung jawab jika nanti Leora masuk rumah sakit karena cidera lambung. Ia benar-benar tidak ikut-ikut.
"Berapa mahal? Aku bahkan bisa membeli satu pabrik jika mau!" sahut Leora, bahkan tanpa menoleh. Jemarinya masih sibuk menuangkan bumbu dan air panas itu, mengaduknya sebentar lalu menutupnya.
Leora akhirnya berbalik menyadari tidak ada sahutan lagi dari Aletha. Diamnya Aletha itu lebih mengerikan daripada ocehannya. Percayalah itu adalah fakta.
"Okay, okay, nona... Aku hanya membuatkanmu, jangan memasang muka seperti itu, aku takut sekali," ujar Leora, sekarang kelopak matanya melebar, membulat gemas. Seperti biasa, membujuk Aletha agar mau berbicara lagi dengannya.
Menghela napasnya, kesal, tapi sahabatnya imut sekalu kalau sudah memasang wajah seperti itu. Inginnya jadi memeluk, ingin tahu lebih jauh apa yang sedang Leora hadapi selain beban pekerjaan dan beban hidupnya. Kasihan juga, ingin membantu tapi ia takut bukannya membantu tapi malah membuka privasi. Ia paham konsep privasi, ia tidak akan memaksa selagi Leora tak membukanya sendiri. Ia selalu menerapkan itu semenjak berteman dengan Leora, bahkan dengan siapa saja.
Dua menit saling diam, Leora tidak lelah juga memasang wajah gemas seperti itu, sedangkan Aletha juga tidak bosan memandangi Leora yang seperti itu. Ia butuh Leora tenang sebelum nanti ia mencecar. Keduanya selalu saling ada, itu gunanya teman. Teman bukan hanya ada saat sedang butuh saja, melainkan teman adalah tak peduli pun keadaanmu sehancur apa, teman akan menaut kelingkingmu, mengatakan padamu bahwa permasalahan pasti akan menemui akhirnya. Kendati pasti sulit, teman bersedia membersamaimu hingga akhir.
Aletha melirik pada mi yang sedang diseduh itu, pasti sudah siap makan sekarang.
"Tiriskan mi instanmu dan menontonlah lagi, nanti ku carikan film yang cocok untukmu. Kau payah sekali memilih film jika hatimu sedang kacau," cebik Aletha sebelum berbalik.
Leora pun tersenyum menyadari bahwa dunia tidaklah sekeras itu. Ia masih bisa tersenyum bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun. Seperti saat mendapati Aletha masih mau mengomelinya. Membuatnya lega sekaligus berhasil menyingkirkan keraguan yang sedari kemarin mengganjal dalam hatinya. Ia ingin meminta pendapat, dan itu adalah salah satu pertimbangan untuknya terkait akan memberikan saran terakhir apa pada klien-nya sebelum sidang pertama benar-benar terlaksana dua hari lagi.
Leora membawa cup-nya, mengaduknya sambil berjalan. Sembari uap lezat itu mencoba menggoda penghidunya, Leora masih betah saja mengaduknya sampai ia berhenti di depan sofa di mana sudah ada Aletha yang sedang memakan mi melarnya.
Leora mengambil duduknya, berhenti mengaduknya lalu menyumpit dan memutar mi hitam itu dan menyuapkannya pada mulutnya. Masih panas, sekarang lidahnya serasa matang separuh. Itu mi dengan bumbu kedelai hitam, blackbean noodle, ya seperti itu kalau orang kantornya mengatakan. Mi manis, dengan citarasa khas Eropa dan Korea yang melebur, tapi masih bisa dinikmati oleh lidah lokalnya.
"Ini film bagus, duduk diam dan nikmati makananmu," titah Aletha dan Leora benar-benar melakukannya. Ia diam sambil menyeruput mi manisnya.
Leora menikmati filmnya bahkan di saat ia tidak tahu judulnya. Ia hanya tahu pemainnya. Crish Hemsworth. Baiklah Leora berani taruhan bahwa siapa yang tidak kenal dengan pria itu, aktor Australia yang tampan, tidak setampan Robert Pattinson, tapi serius Crish itu manis sekali.
"Gila kau! Mereka saling bunuh!" kejut Leora saat ada adegan berdarah, padahal sebelum-sebelumnya tenang sekali meskipun sedikit menegangkan karena filmnya memang berlatar kehidupan tentara bayaran.
"Matikan! Matikan, sialan!" racau Leora. Ia memiliki sedikit perasaan sensitif terhadap darah. Ia tidak suka. Ia bahkan bisa lemas seketika saat melihat darah asli. Catatan; selain darahnya sendiri.
Pun Aletha langsung mematikannya. Sahabatnya memang tidak bisa menonton film seperti itu, apalagi yang ada adegan gore dan darah. Bahkan setahu Aletha, Leora hanya suka menonton film yang membahas tentang keadilan dan hukum, ya membosankan memang, tapi itu jelas berguna untuk profesinya.
Leora masih memejamkan matanya, sedangkan Aletha langsung menepuk pundaknya lalu memanggilnya dengan suara lirih.
"Mau menangis atau tidak? Kupikir tadi kau akan menangis setelah melihat film sadis itu," goda Aletha.
Leora membuka matanya, menyadari sudah tidak ada lagi layar yang menyala. Lega. Sungguhan rasanya seperti terbebas dari peperangan virtual yang mengancam nyawa.
"Kau ini gila atau bagaimana? Kau menonton film seperti itu saat sendirian?" tanya Leora menggebu, rasanya tidak lucu sekali Aletha yang manis malah menonton film seperti itu, mengerikan sekali.
"Sebenarnya tidak, hanya sedang berusaha membuatmu bicara benar, kau menyebalkan sekali asal kau tahu saja!" cebik Aletha. Dan itu sebuah kebenaran yang Leora akui dengan sukarela.
"Sebenarnya apa yang membuat moodmu naik turun seperti ini? Kau bisa cerita padaku padahal. Jangan membuatku kehilangan nilai guna sebagai temanmu, ya!" peringat Aletha, bukan sebenar-benarnya peringatan, hanya untuk mengingatkan Leora bahwa masih ada dirinya yang mau menampung seluruh keluh kesahnya.
Menghela napas panjang sekali, Leora meletakkan cup-nya. Menghadap Aletha kembali dan mulai bersiap membuka kata.
"Aku hanya ingin meminta sebuah pendapat," ujar Leora, sengaja menggantung. Ingin tahu respon Aletha yang menerima atau tidak.
Aletha mengangguk, "Katakan," ucapnya.
"Okay. Kau wanita, apa yang akan kau lakukan jika suamimu berselingkuh dan memiliki anak dari selingkuhannya lalu dia menceraikanmu dengan alasan kaunya terlalu baik?" ujar Leora, menjabarkan sebuah kasus dan meminta sudut pandang Aletha.
Aletha diam, hanya dua detik, kemudian bersuara dengan yakin.
"Kupikir jika aku baik, dia tak akan berselingkuh dariku. Tapi jika benar aku terlalu baik, baiklah tidak apa-apa, semoga selingkuhanya adalah seorang kriminal!"
Leora tertawa, "Waw, like a psyco?"
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments