10. Scissors behind the rock

..."Dia baik-baik saja bahkan saat tahu aku hancur menjadi kepingan."...

......................

Lima hari, hampir satu minggu berlalu, mengingat betul pada tiap detik berjalan dengan begitu lamban. Tetes-tetes keringat yang mengalir saat Leora mencoba melampiaskan dirinya ke sebuah tempat kebugaran.

Menjalani harinya sebagai Leora memang tidak mudah, Leora bahkan sempat berkeinginan mengganti namanya menjadi yang lebih mudah, seperti Aphrodite atau Hera sekalian. Ingin menjadi yang paling makmur dan paling bahagia di bumi. Hera yang cerdas dan Aphrodite yang cantik, jika digabungkan pasti akan sangat indah.

Dua set olahraga pagi telah Leora selesaikan seorang diri, sengaja tidak meminta didampingi trainer karena ia pun hanya kali-kali saja mengunjungi tempat itu. Leora tidak melakukan olahraga yang rumit atau membutuhkan petunjuk seorang ahli, ia hanya melakukan cardio agar ia bisa sedikit rileks untuk besok ia menjalani sidang pertama klien-nya.

Berkali-kali Leora mencoba mengenyahkan bayangan Dimas dari dalam isi kepalanya, namun nihil saja karena bahkan senyum dan lesung pipinya masih jelas tergambar pada tiap klise memorinya. Leora bukan munafik dengan menjauhi Dimas tapi hatinya masih belum bisa melepaskan, tetapi Leora ingin dirinya tidak kembali termakan harapan kosong. Ia tak ingin kecewa lagi. Dimas memang bukan untuknya, dan bukan bagiannya. Itulah yang Leora yakini saat ini.

Leora meyakini ada dua tipe manusia di dunia ini, yang pertama; datang dengan cinta lalu pergi meninggalkan luka serta memberinya pelajaran. Lalu yang kedua; yang datang dengan cinta lalu menetap sebagai teman hidup. Namun, Leora selalu mendapati tipe pertama. Yang datang mengaku mencintai, lalu pergi dengan dalih; kita sudah tidak ada kecocokan.

Cih! Apa itu sebuah cinta? Manusia bahkan tak mengerti arti sebenarnya perihal cinta.

"Aku hancur berkeping-keping tapi lihatlah dia yang masih bisa tersenyum," Leora mencebik sesaat setelah ia melihat pada sosial media, entah kebetulan atau malah semesta yang meledeknya, Leora langsung menggulirkan lagi timeline Instragram-nya setelah foto Dimas yang terlihat berswafoto berdua bersama ayahnya saat sedang di bandara.

Dimas bukan orang populer karena dia bukan selebriti, tapi pesonanya terkadang mengalahkan selebriti. Dia yang bukan seleb saja pengikut instagramnya tembus satu juta. Dan sekarang Leora tambah muak saat ayahnya masih mengantar Dimas saat akan kembali ke Amerika. Entahlah Leora harus kesal dengan siapa, nyatanya keduanya sama saja, menyebalkan.

Leora tidak datang seorang diri ke tempat fitness elit ini, dia belum seberani itu, atau malah ia memang tak pernah mau kemana-mana sendiri, kecuali jika itu masalah pekerjaan dan profesinya. Sekarang Leora datang bersama Aletha. Aletha mengambil senam Yoga saat Leora memilih cardio seorang diri. Katanya Yoga lebih santai dan lebih rileks. Memang, Yoga juga bagus sekali untuk tubuh, selain merenggangkan otot tubuh yang tegang, juga bisa membantu pembentukan badan jika yang sedang menjalani program diet.

"Biasa saja matamu, bisa menggelinding jika kau tidak berkedip, sialan!" ujar Aletha sambil melemparkan sebuah jajanan cokelat kesukaan Leora. Bukan jajan istimewa, karena jajanan itu bisa didapatkan di toko ritel. Jajan bola-bola rasa pisang yang dibalut cokelat bubuk, Aletha jelas tahu kesukaan sahabatnya.

Pun Leora langsung menoleh setelah merasa pundaknya terkena lemparan jajanan itu. Sekaligus mencebik saat Aletha terang-terangan menegurnya dengan kalimat yang tidak ada bagus-bagusnya itu.

Memilih kembali memperhatikan ponselnya daripada menyahut Aletha, sambil membuka jajannya dan memakannya satu persatu. Memang, tidak peduli orangnya tapi peduli makanannya. Persahabatan manis dan sialan secara bersamaan. Sudah biasa!

"Kudengar Dimas kembali ke Amerika?" tanya Aletha, dan Leora hanya memgangguk membenarkan. Tanpa menoleh dan tanpa suara, hanya mengangguk dan kembali memakan jajannya.

"Kau tidak mengantarnya nona Daymion?" ledek Aletha, kemudian dengan inosennya malah menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan foto yang sama dengan yang sempat membuat Leora tadi ingin mengumpat.

"Ayahmu, wah Dimas benar-benar luar biasa. Setelah memutuskanmu, dia malah membangun hubungan baik dengan ayahmu. Keren sekali mantan pacarmu itu?!" ujar Aletha panjang lebar, membuat panas telinga Leora yang sedari tadi menahan diri untuk tidak membuat ruangan fitnessnya berantakan.

"Aku sudah melihatnya, enyahkan dari mataku dan pergilah!" usir Leora meskipun dengan nada lirih. Tidak kentara sedang mengusir tapi jelas kalimatnya mengusir secara terang-terangan.

Aletha memutar malas bola matanya, ia tahu seperti apa suasana hati Leora saat ini. Gundah sekali, seperti hari-harinya berat karena bebannya bertambah. Disamping beban profesi, Leora sekarang tengah menahan beban kekecewaan.

Leora memang terkesan tidak peduli Dimas, tapi nyatanya ia juga manusia, hatinya jelas sakit, apalagi saat ia dianggap adalah biang padahal dia adalah korban. Tidak sedang mencoba bermain playing victim, hanya saja Dimas terlampau kurang ajar dengan menjebloskan Leora ke dalam penjara di mana kepercayaan ayahnya adalah jerujinya.

"Kau tau, Leora?" ucap Aletha, khas sekali tukang menggosip, memancing dengan kalimat yang langsung bisa membuat pemilik nama itu menoleh ke arahnya.

Aletha langsung duduk di samping Leora, di atas threadmill yang tidak berjalan, sesekali menumpu kedua lengan lurusnya di atas kedua lututnya. Pandangannya menerawang sambil sesekali berkedip, mencoba mengartikan apa yang terjadi belakangan ini. Seperti banyak sekali yang membuat Aletha berpikir bahwa semesta selalu tak kurang cara membuat manusia itu berpikir bahwa ada banyak sekali kemungkinan selalu mengiringi setiap harapan. Aletha tahu seluk beluk bagaimana Dimas dulu mengejar Leora, jadi ia juga tahu sekarang sehancur apa Leora saat Dimas yang dulu selalu mengejar, dan sekarang melukai disaat sahabatnya mencoba mempercayai apa itu cinta. Dimas yang seolah membuang sahabatnya disaat sahabatnya bahkan tidak tahu apa kesalahannya, itu adalah kekesalan paling sialan yang tengah Aletha rasakan.

Leora masih memaku tatap, menunggu bibir Aletha terbuka menyuarakan sesuatu yang ia tunggu. Leora paham jika Aletha sudah memasang wajah seperti itu, berarti akan ada hal serius yang dibahas, atau dibicarakan empat mata secara mendalam.

"Aku tahu segalanya," ujar Leora kesal menunggu Aletha yang tak kunjung berbicara. Leora benci menunggu apapun alasannya.

"Ck!" Aletha mencebik, baru saja ia akan sedikit memaknai kehidupan, tetapi malah sekarang jiwa kejulidannya terpancing karena Leora sosoan sekali dengan mengatakan mengetahui segalanya, padahal dirinya belum mengatakan apapun.

Leora sukses terkekeh, semudah itu menggoda Aletha yang gampang sekali emosi saat gadis itu mengingat bahwa tidak memiliki pacar ternyata membuatnya gampang merasa kesepian. Banyak alasan yang membuat Aletha memutuskan tidak memiliki pacar, salah satunya adalah; gadis itu tidak mau sakit hati.

Memang benar, resiko terbesar mencintai adalah sakit hati. Setelah itu masih banyak resiko sialan lagi yang mengekori kekecewaan yang tercipta karena sebuah harapan.

"Cepat katakan, nona. Aku menyediakan dua telinga untukmu bercerita seperti berdongeng," ujar Leora pongah, seolah lupa dengan apa yang sempat membuatnya kesal beberapa saat yang lalu, padahal dalam hatinya Leora tak pernah bisa melupakannya. Lupa pada masa lalu itu mustahil jika tidak hilang ingatan sekalian. Intinya seperti itu.

"Kau tahu alasanku memilih tidak memiliki pacar bahkan di saat aku membutuhkan seseorang. Aku yang lebih memilih menjadi sepi di saat kau terang-terangan menggodaku dengan bergurau ceria bersama Dimas. Kau tahu?" ujar Aletha, terdengar dari nada bicaranya bahwa Aletha sedang tidak ingin bercanda.

Leora memilih diam, ia tidak menyahut, pun saat Aletha menoleh ke arahnya. Menanti sepatah kata dari Leora yang sekarang terlihat mustahil untuk terdengar.

Aletha meraih tangan Leora, mengenggamnya seperti seorang adik yang sedang menguatkan kakaknya. Aletha tahu rasanya dan alasannya ada di balik apa yang sekarang Leora rasakan. Maka ia sekarang ingin mengungkap rasa yang selama ini mendekam dalam dirinya. Ia takut, bahkan saat ia dulu menyarankan untuk Leora tidak menerima Dimas, sebenarnya itu adalah alasannya yang takut Leora akan terluka seperti ini.

"Ini yang aku takutkan. Kecewa sedalam aku mencintai, adalah luka paling sialan yang sulit sekali menemui sembuhnya," ujar Leora, air matanya menggenang dalam kelopak, sekali saja berkedip, mungkin sudah membuat Aletha menangis.

Namun, karena ini adalah Aletha, maka ia hanya mengangkat wajahnya, mendongak dan mengambil tisu. Ia melarang air matanya menuruni pipinya, dan ia menghapusnya sebelum keluar dari mata. Sepongah itu untuk menyembunyikan sisi kelamnya sebagai seorang perempuan yang pernah terluka sedalam gelap yang menakutinya.

"Aku bukan kecewa karena cintaku dikhianati, atau apa pun itu alasan Dimas aku tidak peduli. Walaupun aku masih peduli apa dia memiliki wanita di sana atau tidak, tapi yang aku sangat sangat pedulikan adalah saat aku menyadari bahwa harga diriku terlukai," ujar Leora, terkesan membela diri tapi sebenarnya itu adalah yang dirasakan sebenarnya.

Ingatkan Leora pada saat ia bilang mencintai karena mencoba, ia sempat mencintai setulus itu, hingga akhirnya ia merasakan harga dirinya dihempas oleh Dimas karena ditinggalkan tanpa alasan. Jarak bukan alasan menurut Leora, dan itu alasan yang paling tidak bisa Leora terima. Dan puncaknya adalah Dimas membawa gadis ke Indonesia. Perselingkuhan? Kedok? Atau kebenaran bahwa Dimas hanya membawa rekan?

Jelas terkesan pembohongan publik, tapi sekarang tak ada kepastian karena Dimas tidak mengatakan kebenaran apapun pada Leora. Sama sekali. Tidak sama sekali.

Aletha tersenyum miring, sahabatnya memang serealistis itu dari dulu.

"Sudah kuduga. Kau tidak akan memaklumi jarak sebagai alasan perpisahan. Tuduhan perselingkuhan itu hanyalah dugaan. Kau tidak masalah pada keputusan Dimas, kau hanya merasa harga dirimu diinjak." Aletha mencecar kenyataan.

Aletha mengakui bahwa Leora memang tak akan pernah berubah. Leora mencintai dirinya sendiri teramat sangat, hingga setitik pun harga dirinya terlukai, mungkin ia akan memutuskan untuk tidak saling mengenal.

Aletha menepuk pundak Leora, mengusapnya begitu lembut, menenangkan emosi yang mungkin akan meledak, terlihat napasnya naik turun dan sekarang hanya Aletha yang bisa menjadi air untuk api yang sedang membara dalam diri Leora.

"Hei, singa! kenapa sedih sekali?" tanya Aletha, sengaja meledek, padahal tadi mencecar. Aletha bahkan tak tega melihat Leora serapuh ini, matanya jadi mengembun dan tangannya yang meremas bungkus jajannya.

Mendengar panggilan itu pun Leora menjadi mengulas senyum sinis, benar, singa mana boleh menunduk. Setangguh itu Leora selama ini, akan jadi pertanyaan jika ia malah terpuruk hanya karena masalah sepele seperti itu.

"Kau hanya butuh seseorang yang mengingatkanmu bahwa kau cantik dan berlian, setiap hari... Kau hanya butuh itu, nona Daymion," sambung Aletha, hingga keduanya saling mengulas senyum yang mengandung banyak sekali makna di dalamnya. Antara luka yang sama dalamnya sekaligus menunjukkan bahwa perempuan tidak berhak diperlakukan serendah itu. Di buang layaknya barang tak berguna, padahal perempuan adalah berlian paling indah.

Perempuan itu setara, sama-sama memiliki harga diri yang harusnya dilindungi.

Menurut Leora; dekat, menetap, berubah, pergi. Adalah siklus cinta murahan.

Dan harga diri Leora jelas tidak semurah itu. Dimas harus tahu bahwa cinta dewasa tidaklah sesialan itu.

Jarak bukan alasan jika memang cintanya tanpa syarat. Manusia, semudah mengartikan cinta saja sudah belibet!

"Kau benar, Let...."

"Benar sekali...."

[]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!