..."Kuasa memang membutakan, tapi bisakah ayah mengerti?"...
......................
Datang tanpa pemberitahuan lalu mengusik hingga rasanya ingin melemparkan saja manusia itu ke dalam kolam air piranha di belakang rumahnya, lumayan untuk menghemat pakan sampai dua hari ke depan.
Namun, tidak sama sekali. Keduanya hanya saling diam, tanpa mengucap satu kata pun. Leora bersidekap sambil menatap nyalang pada sebuah balkon yang memang ada di luar kamarnya. Bersama satu orang pria yang entah bisa-bisanya ayahnya menyuruhnya masuk ke dalam. Leora memang kerap kali mengajak Dimas untuk bersantai di balkon saat sore hari sampai malam, sewaktu masih berpacaran. Tetapi sekarang sudah berbeda, sudah lain cerita, dan Leora muak setengah mati dengan keberadaan Dimas yang juga sama-sama tak bergeming disofa kecil yang ada di sebelahnya. Hanya sekat meja bundar kecil yang di atasnya ada dua cangkir moccacino hangat.
Sudah hampir dua puluh menit, tapi keduanya tak kunjung memulai konversasi, hingga akhirnya Leora mengalah lebih dulu agar bisa mengusir Dimas dari kotak nyamannya.
"Membujuk ayahku? Memutar fakta?" bertanya sambil tersenyum sinis tanpa menoleh. Tatap obsidiannya masih menatap lurus pada bayangan lampu jalan yang temaram di trotoar. Lampu itu memang tidak terlalu terang, tapi terasa hangat sekali setiap kali lewat di bawahnya.
"Aku tidak menyangka kau akan sepintar ini setelah melanjutkan kuliah mastermu di Amerika, tuan Sagara," sambung Leora lagi. Bukan lagi pertanyaan, tapi sebuah pernyataan yang harusnya dibenarkan oleh Dimas. Tujuan Dimas melanjutkan pendidikan kan memang untuk menjadi pandai, entah pandai berbisnis, atau pandai memutar fakta dan memainkan emosi.
"Panggil saja namaku seperti biasa, aku tidak suka panggilanmu belakangan ini, Leora...," ucap Dimas pada akhirnya bisa bersuara juga. Leora sempat mengira Dimas sedang radang tenggorokan atau amandelnya kumat. Ternyata tidak, Dimas masih terlalu sehat untuk bungkam di hadapannya.
Leora tersenyum inosen saat mendengar ucapan Dimas. Tujuannya memang begitu, membuat Dimas tidak menyukainya, kenapa malah Dimas protes saat Leora berhasil mewujudkan tujuannya. Leora merasa tak ada lagi yang perlu dibahas setelah malam itu. Sesak sekali saat mengingat, padahal Leora sama sekali tidak berencana untuk patah hati karena mencoba mencintai dan berakhir ditinggalkan tanpa sebab yang jelas.
"Kau tamuku, tidak sopan saat aku memanggilmu hanya dengan nama." Leora lalu menoleh, pertama kalinya semenjak keduanya saling mengabaikan satu sama lain.
Dimas yang menyadari Leora menggerakan kepalanya, menoleh ke arahnya dan membuat Dimas juga ikut menoleh. Ingin berbicara serius, meminta maaf dan memperbaiki semuanya. Tapi, Leora bahkan sudah tidak mau mendengarkannya lagi.
"Aku ingin menyelesaikan yang kemarin, aku ingin meminta maaf untuk keputusanku," ujar Dimas yang seketika membuat Leora tertawa sampai terdengar suaranya yang renyah. Menertawakan banyak hal dalam sekali waktu, tentu saja perkataan Dimas dan cara bagaimana pria itu memandang sebuah hubungan.
"Apa hal yang sudah selesai masih membutuhkan penyelesaian?" tanya Leora, entah kenapa mulutnya mudah sekali memojokkan Dimas. Padahal sebelumnya Leora adalah gadis manis yang selalu berkata lembut di hadapan sang kekasih.
Leora segera beranjak dari duduknya, berdiri menghadap Dimas setelah mengikat rambutnya menjadi ponitail.
"Aku memang mengejar karirku, tapi kurasa kekuasaan ayahmu dan kejutan darimu tak akan merubah keputusanku. Kita sudah selesai. Dimas, Le-o-ra bukan lagi kekasihmu."
"Tak semua hal bisa diluluhkan dengan kuasa dan sebuah penawaran, tuan Sagara...."
.....................
Leora menganggap semuanya adalah akhir, tepatnya setelah dua menit yang lalu ia menghidupkan sebuah drama musikal di mana sutradara dan pemain perannya adalah dirinya sendiri.
Leora meminta maaf pada Dimas, tapi bukan untuk perkataannya yang sedikit menusuk itu, melainkan untuk moccacino hangat yang tumpah di celana Dimas dan sebagian lagi menciprat di baju mahalnya. Memang tidak kentara karena pakaian Dimas serba hitam, tapi jelas dari raut wajahnya, Leora bisa melihat jelas bahwa Dimas sedang memendam emosinya.
Leora meminta maaf, katanya tidak sengaja karena ia menyenggol mejanya dan membuat cangkir itu tumpah dan mengarah pada Dimas.
Hebat Leora! Begitu kiranya sekarang Leora bersorak sorai dengan tindakannya. Ia sendiri tahu tindakannya tidak baik, tapi itu tidak lebih buruk jika Leora malah membuat Dimas malu dengan mencecarkan kenyataan pada ayahnya.
Untuk saat ini Leora ingin membiarkan akan sampai mana Dimas bersilat lidah, akan sampai pada batas mana Dimas mencoba membohongi semua orang termasuk dirinya sendiri. Leora sungguhan membiarkannya hingga saat yang tepat ia akan tahu reaksi dari setiap orang yang pernah termakan mulut manis seorang Dimas Sagara.
Sepongah sebuah tindakan yang keluar batas, pasti akan selalu berakhir menjadi bumerang pada diri sendiri. Terlebih sekarang saat Leora menuruni tangga, melewati sebuah ruang keluarga di mana biasanya mereka berkumpul pada sore hari saat akan mengambil minum ke dapur. Leora melewatinya saja meskipun ia tahu ayahnya sedang duduk dengan laptopnya yang menyala. Leora memilih tidak menghirau dan berjalan melenggang seolah tidak menyadari adanya presensi disana.
Leora merasa aman saat sedang menuntaskan dahaganya, mengisi botol minumnya dengan tenang untuk dibawa kedalam kamar. Namun, saat Leora melewati ruangan yang sama, di sana lah Leora mendapati ayahnya sudah bersiap dengan kacamatanya yang terlepas menunjukkan sorot obsidian yang membuatnya merasa tertohok kelewat dalam, padahal Leora tidak merasa membuat satu pun kesalahan.
"Apa ayah mengajarimu menjadi manusia tak beretika?" tanya ayahnya yang langsung membuat Leora berhenti pada pijakan terakhirnya.
Langkahnya tiba-tiba memberat, meskipun Leora belum menoleh secara terang-terangan dan hanya melirik saja, Leora sudah bisa merasakan bahwa atmosfer rumahnya sudah berubah menjadi dingin dan kelam.
Leora akhirnya menoleh setelah beberapa detik berjalan, hingga Leora mendapati wajah ayahnya yang menatap kearahnya sekarang.
Sebenarnya Leora bisa saja memilih tak acuh dan meninggalkan ayahnya yang berkata tanpa menyebutkan nama. Tapi, Leora tak ingin mengambil resiko lebih besar dengan duduk dimeja makan saat sarapan tapi bukan sepotong roti yang menjadi sarapan, melainkan rentetan ocehan hingga kata-kata pedas yang sekiranya selalu membuat Leora tertampar kelewat kuat isi kepalanya.
Memilih untuk memandang ayahnya tanpa mendekat, Leora gemetar dan tangannya begitu dingin. Jari-jari kakinya bergerak acak, gelisah. Sementara isi kepalanya terus mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja menjadi alasan ayahnya memasang wajah begitu tegas seperti itu.
Bencana untuk Leora, karena jika ayahnya sudah seperti itu, berarti ada sebuah kesalahan yang memang sudah tidak bisa ayahnya toleransi. Dan walaupun sekarang Leora tak tahu menahu kesalahan yang mana yang akan ayahnya bahas, Leora tetap diam disana. Menunduk sesekali, lalu menatap kembali dengan mata yang membulat. Mengais iba?
Leora memilih tidak menjawab hingga ayahnya kembali berujar lebih pedas dari sebelumnya. Leora sudah terbiasa dengan kalimat sarkas, satire, bahkan sebuah tamparan melalui ucapan, dan sekarang Leora kembali dihantam dengan kalimat pendek ayahnya yang terasa sekali menyakitinya hingga ke rongga telinga terdalam.
"Untuk apa sekolahmu selama 17 tahun? Untuk membuatmu keren? Apa untuk mengulur waktu?" ujar ayahnya lagi, memang terdengar seperti pertanyaan, tapi Leora bahkan tak berniat menjawab satu pun pertanyaan yang memang tidak memerlukan jawabannya sama sekali.
"Ternyata seorang anak seperti ini yang telah ayah besarkan dengan penuh cinta. Apa tidak sekalipun berpikir bahwa lakumu mencerminkan siapa yang mendidikmu?" ujar ayahnya lagi, semakin banyak malah semakin menusuk. Leora hampir tak bisa menahan diri untuk tidak menjawab, tetapi ia berhasil menahannya saat ayahnya kembali menghela napas.
Helaan napas ayahnya adalah apa yang selalu bisa meluruhkan Leora, termasuk sekarang saat ayahnya beranjak dan mendekat padanya.
Langkah yang pelan, tapi selalu membuat Leora begitu mengagumi sosok ayahnya. Apalagi setelah sekarang ayahnya mengusak pucuk kepalanya sambil berujar begitu lembut. Seolah kalimat pedas yang tadi hanyalah sebagai pemancing.
"Masih ingat etika memperlakukan tamu? Atau lupa?" tanya ayahnya lagi. Tetap saja, kendati suasananya sudah tidak semencekam sebelumnya, pertanyaan itu tetap bersifat menyindir.
"Apa ini karena Dimas keluar dan bajunya basah?" tanya Leora, sudah berani. Ayahnya membahas perkara tamu, dan tamu yang berkunjung dalam satu hari ini adalah Dimas. Tidak ada siapapun lagi kecuali pria itu.
Ayahnya tidak menjawab, tetapi Leora paham bahwa pada saat-saat seperti ini, diamnya ayahnya adalah sebuah anggukan iya.
"Ayah tidak membahas Dimas, hanya ayah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Kamu memutuskan hubungan dan mengabaikannya, bahkan disaat dia sudah bersikap baik dikantor? Dan bertamu dengan sopan kerumah?" ayahnya kembali mencecar Leora.
Sedangkan di satu sisi Leora hanya tidak ingin bersikap kurang ajar pada ayahnya dengan berbicara melebihi oktaf ayahnya berbicara, tapi jika ia akan mengatakan kebenaran pasti ia akan terpancing emosinya. Tidak menutup kemungkinan bahwa Leora bisa saja kelabasan berkata dengan nada tinggi. Leora takut sekali menjadi anak kurang ajar, tetapi dalam benaknya juga babak belur karena menerima setiap petuah dan yang paling fatal adalah menerima Dimas.
"Apa jika aku mengatakan sebuah kebenaran, ayah akan mempercayaiku?" Leora bertanya balik sebelum menjawab. Perlu sedikitnya unsur kepercayaan disini. Akan percuma sekali saat seseorang mendengarkan tapi dari dua kebenaran yang sama-sama diyakini.
Leora tahu betul ayahnya mempercayai Dimas melebihi rasa percayanya pada anaknya sendiri, terlihat dari matanya yang sorotnya selalu berbeda saat membicarakan Dimas. Dan Leora jadi tak yakin jika pun kebenaran yang dikatakan, apakah ayahnya akan mempercayainya juga? Sedangkan dikepala ayahnya sudah ada pernyataan Dimas yang membuat ayahnya meleleh seperti mentega.
"Ayah selalu mempercayaimu, bahkan disaat dunia meragukan kebenaranmu," sahut ayahnya. Jauh dari dugaan Leora, tetapi tidak mengurangi keraguan Leora yang bimbang akan mengatakam kebenaran atau menutupinya kembali.
Leora terseyum simpul, sesederhana ia mempercayai ucapan ayahnya, sedalam itu pula ia ragu untuk mengungkapkannya. Leora tak yakin apakah yang ia katakan akan membuat ayahnya membelanya, atau malah memihak Dimas dengan alibinya?
"Aku tahu, yah. Tapi aku juga ragu apa kebenaran ini akan membuat ayah memandang dua kubu ini sedang saling menyembunyikan sesuatu," ungkap Leora terus terang.
Leora meyakini bahwa terus terang selalu adalah yang terbaik, karena bukan hanya mempersingkat permasalahan, juga karena bisa membuat dunia ini minim drama. Sudah bosan melihat drama di televisi yang membosankan dan Leora sama sekali tidak berminat menjadikan hidupnya seperti drama.
"Bukan aku yang memutuskan hubungan ini, Dimas yang memulainya, yah," ungkap Leora sambil meremat botol minumnya sendiri.
Seperti dugaan awal dan keraguan mendasar, Leora mendapati ayahnya hanya diam tanpa bereaksi macam-macam sekali helaan napas yang lebih panjang dari sebelumnya.
"Benar, kan? Keraguan ayah selalu membuatku sadar bahwa daripada aku, masih ada Dimas yang selalu tanpa cela dimata ayah. Hingga membuat kesalahannya pun terlihat begitu indah dalam tatap mata penuh bintang...."
"Ayah meragukanku dalam setiap hal, bahkan saat akulah yang terluka, ayah tetap menaruh tatap pada belati yang telah mengoyaknya."
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments