"Tak semua aliran air mengacu pada muara yang sama."
......................
Membiarkan diri mengalir seperti air pada sebuah roda kehidupan yang berjalan tanpa berniat beristirahat sejenak. Menggulir dengan kecepatan yang tidak pasti bagaimana cara mengendalikannya. Leora tidak mungkin mencari pada laman pencarian google bagaimana cara mengendalikan takdir, karena ia pasti hanya akan mendapat tertawaan dari google terkait apa yang ingin dia cari informasinya.
Leora sadar saat langkahnya berhenti, bukan hanya karena Aletha mengatakan bahwa Dimas ada di kafe yang sama dengannya, tetapi karena kedua netranya telah membingkai penuh sosok yang sedang duduk dengan santai disudut kafe terbuka, bagian depan teras dan membelakanginya.
Sosok yang persis dari belakang, memakai setelan khas serba hitam dari ujung sepatu hingga sebuah coat bau uang yang jelas bernilai sangat mahal. Leora penggila brand Chanel dan semacamnya, jadi ia tak perlu bersusah payah mengenali apa baju itu mahal atau tidak hanya dengan melihatnya sekilas, pun dari jauh. Kalau kata Aletha, Leora itu seperti price tag, gadis itu bisa tahu harga tas pun sepatu yang dipakai orang-orang saat sedang disebuah pesta.
Potongan rambut yang sama, pendek tapi panjang seatas alis. Leora memang hanya melihat dari belakang, tapi ia langsung bisa tahu bahwa yang ada disana adalah orang yang Aletha maksudkan.
Namun, pertanyaannya; Dimas sedang apa disana dan kapan dia pulang dari Amerika? Lalu bagaimana ceritanya kebetulan seperti ini terjadi padanya?
Ingin sekali rasanya Leora langsung berceletuk bahwa ia tidak pernah sekalipun membuat janji dengan Dimas, apalagi menyetujui pertemuan seperti yang sekarang Aletha tuduhkan padanya. Tetapi mendadak Leora memiliki jawaban gila yang bisa saja membuat Aletha ingin menyusulnya ketempat dimana kakinya sekarang berpijak.
"Selingkuhannya tidak semenarik aku sepertinya, Let..." lirih Leora yang diikuti ibu jarinya menekan ikon merah tanda ia mengakhiri panggilannya.
Leora tentu saja tidak lupa perihal etika bertelepon, tapi jika bersama Aletha maka Leora tak perlu menggunakannya karena pun Aletha sama saja. Keduanya nyaris seperti pinang dibelah dua. Bahkan saat kuliah dulu, keduanya sering disangka anak kembar hanya karena memiliki bentuk mata yang sama.
Etikanya adalah saat seseorang ditelepon oleh orang berkepentingan, maka yang harus mengakhirinya lebih dulu adalah pihak yang menelpon. Itu menandakan bahwa selaku yang diberi informasi sangat menghargainya, membuat si penelepon bisa saja menaruh atensi lebih pada kesopanannya.
Leora melenggang setelah memasukkan ponselnya kedalam tas kerjanya. Tas hitam yang tidak terlalu besar, yang sekiranya bisa menampung satu ipad berukuran diatas 7 inchi. Leora lebih suka membawa ipad dan flashdisk untuk bekerja, alasannya jelas karena lebih mudah dan tidak ribet. Lagipula dikantor sudah ada komputer, ia merasa tak memerlukan laptop saat bekerja dikantornya.
Setelan rapi khasnya, wanita karir yang simpel dan elegan secara bersamaan. Surai hitam yang terbiarkan mengayun terkena terpaan angin saat ia berjalan. Dengan langkah tegapnya, Leora akhirnya sampai pada sebuah meja dengan seorang pria yang memang sudah menunggunya semenjak mungkin lebih pagi daripada kafe itu buka.
"Leora Daymion, tuan. Aku kuasa hukummu," ujar Leora lalu membungkuk sedikit, memberi salam dan langsung duduk dihadapannya.
Pria itu tersenyum saat mendapati Leora duduk disana, dengan aura mematikan sebagai wanita yang memiliki segudang integritas dan prestasi yang tak terhitung, disanalah pria itu menaruh kepercayaan pada Leora sebagai kuasa hukumnya dipersidangan nanti.
"Apa masalahmu, tuan?" tanya Leora langsung pada intinya, melihat mata sang pria berpendar gelisah membuat Leora bisa menebak bahwa pria itu jelas sedang cemas. Entah untuk sebuah ketakutan, atau sebuah kekhawatiran akan sebuah hak yang tidak ia dapatkan. Leora hanya perlu bertanya lebih jauh, tapi bukankah diskusi publik merupakan sebuah pelanggaran kasus perdata?
"Namaku, Dion, Dion Pett-" ujar pria itu langsung pada intinya, sementara Leora langsung memotongnya karena bisa saja identitas yang pria itu sebutkan akan disalahgunakan.
Leora tidak tahu disana siapa yang akan bertindak, tapi ia akan menggunakan antisipasi. Leora lebih suka menyediakan payung sebelum hujan, daripada mengeringkan baju dibawah terik karena sempat kehujanan. Akan lebih baik mengantisipasi daripada mengatasi. Ada cara yang lebih mudah, kenapa juga harus membuat diri sendiri malah berpikir keras.
"Perhatikan identitasmu, tuan. Mari kita membuat pertemuan kembali dikantor Firma hari ini," ujar Leora memberi penawaran.
Sebagai petugas hukum, Leora jelas memperhatikan setiap kemungkinan yang ada, dia tak boleh gegabah dengan membicarakan masalah seperti ini di tempat publik yang memiliki banyak telinga karena bisa saja seseorang sedang mengawasi setiap gerak sekecil apapun.
"Aku akan meminta datamu pada firma hari ini. Aku tahu tujuanmu ingin menemuiku adalah untuk membuat dirimu yakin memenangkan kasus ini. Ya, itu sudah biasa, aku selalu mendapatkan perlakuan seperti ini, jadi tidak usah khawatir," ujar Leora menjelaskan. Panjang lebar agar pria itu mengerti bagaimana yang seharusnya.
Pria itu pun tersenyum, pria yang sempat Leora baca sedikit perihal identitasnya di sebuah artikel berita. Leora jelas tak bodoh dengan menerima kasus tanpa menimbang lebih dulu. Namanya Dion Petter, seorang CEO dari sebuah perusahaan mainan yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi raksasa milik keluarga Sagara. Dan Dimas Sagara, putra bungsu dari Bara Sagara sedang ada di meja sebelahnya, Leora tidak ingin membuat masalah ini memanjang hanya karena Dimas membocorkan informasinya.
Dion memang tidak akan menuntut pihak perusahaan asuransi itu, tetapi bisa saja skandal rumah tangganya menjadi senjata untuk perusahaan asuransinya tidak menurunkan asuransinya. Ini akan merugikan banyak pihak terutama pihak Dion sendiri. Leora jelas harus melindungi bukan hanya klien-nya, tetapi semua orang yang masih memiliki hubungan dengan Dion Petter sendiri.
Leora menduga bahwa Dion sama sekali tidak menyadari bahwa yang dibelakang punggungnya adalah Dimas Sagara, tapi berbeda dengan Leora yang bahkan sudah hafal hingga bayangannya sekali pun. Dari cuping telinga yang selalu memakai tindik palsu di bagian atasnya, potongan rambut yang tak pernah berubah dari masa ke masa, lalu setelan all black outfit yang selalu menjadi favorit Dimas. Mana mungkin Leora secepat itu melupakan, sedangkan kisah percintaan sialannya baru saja berakhir beberapa hari yang lalu?
"Aku hanya ingin melindungi privasimu, tuan."
......................
Jangan pernah katakan siang adalah menyenangkan, di saat ruwet runyam adalah satu yang membuat seorang gadis manis itu berkali-kali memutarkan kursinya hingga ia pun pusing sendiri.
Leora tidak pusing dengan kasus yang ia pelajari pagi ini, melainkan ia masih memikirkan bagaimana bisa ia melihat Dimas terang-terangan duduk di meja sebelah, tapi sama sekali tidak menyapanya.
Bukan juga karena Leora ingin dipedulikan, karena ia pun sebenarnya tidak peduli. Melainkan karena apa yang Dimas lakukan disana? Jika bukan untuk menemui siapapun, kenapa pakaiannya sangat santai meskipun setengah formal? Dia ingin menemui siapa? Atau sedang menemani sekretarisnya? Bukankah Dimas sudah mengatakan dibpesan yang Leora terima bahwa Dimas sudah mengakhiri hubungan yang entah apa Leora juga tak tahu antara Dimas dan sekretarisnya? Jika benar itu yang sedang Dimas lakukan, maka sekarang rasanya Leora ingin membuat kantornya berantakan.
Kesal juga rasanya, apalagi setelah mendengar Aletha mengatakan bahwa Dimas memang keluar dari kafe tepat dua jam setelah Leora keluar, dan bersama seorang wanita yang jelas tidak kalah cantik dari Leora. Khas sekali orang Amerika dengan aksen rambut pirangnya dan bibir atas tipisnya.
"By the way ya, Dimas berselingkuh darimu?" tanya Aletha tidak basa-basi.
Aletha tipikal langsung tembak saja saat ada sesuatu yang mencurigakan. Aletha juga seorang petugas hukum, bedanya dia adalah seorang jaksa yang bisa menuntut seberat-beratnya pada terdakwa tanpa perlu mempertimbangkan keringanan hukuman seperti yang seorang hakim lakukan.
Aletha bisa menjadi jaksa karena Aletha lulus ujian yudisialnya, membuat Leora berdecak setiap kali teringat ia tidak bisa mengikuti ujian itu bersama dengan Aletha dulu sewaktu masih kuliah. Bukan tidak bisa karena tidak mampu, tapi karena ia sedang sakit kala itu. Leora tidak menyalahkan takdirnya yang sekarang, hanya saja Leora terkadang ingin juga menjatuhi tuntutan hukuman pada terdakwa dengan seberat-beratnya.
Mendengar pertanyaan Aletha yang menggiring, jelas Leora menjadi menegakkan badannya menatap Aletha disana. Leora sendiri belum tahu kebenarannya tentang Dimas, hanya saja berdasarkan yang ia tahu, Dimas terlalu dekat dengan sekretarisnya, membuatnya banyak berspekulasi alasan Dimas mengakhiri hubungannya adalah karena wanita lain disana.
Menghela napas dengan sirat berat yang tergambar begitu jelas disetiap tarikan dan embusan napasnya, diikuti putaran bola mata jengah karena Leora juga sedang memikirkan hal yang sama.
"Sepertinya. Aku tidak tahu bagaimana hubunganku bisa sekacau ini, tapi Dimas memang satu-satunya manusia dengan tingkat kecerdasan tinggi sekaligus dungu dalam sekali waktu. Jika memang dia berselingkuh, haruskah dia muncul dihadapanku lagi sekaligus bersikap baik pada ayahku seolah tidak ada yang terjadi? Membuatku seperti yang mencari masalah disaat dia yang mengacau?" ujar Leora.
Leora kembali melemparkan tubuhnya ke belakang untuk bersadar. Leora tak habis pikir dengan dirinya sendiri, hanya perkara putus saja sudah membuatnya hampir hilang kewarasan. Tentu saja bukan karena Leora kelewat cinta sampai bodoh, tapi alasan Dimas yang masih abu-abu dan sulit sekali dijelaskan dengan logika. Dimas memutuskannya disaat Leora tak tahu apa masalahnya.
"Benar juga. Lalu, Dimas ke Indonesia untuk apa? Memamerkan selingkuhannya padamu? Bukankah itu tidak berguna sama sekali?" ujar Aletha menggunakam logika penuhnya, bukan karena sedang membela Leora adalah temannya, tapi memang karena menebak-nebak perihal apa yang mendasari semua ini terjadi.
Leora mendadak mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan pada Aletha perihal pesannya tadi malam. Pesan dari Dimas yang bisa saja membuat Aletha menemukan petunjuk.
Hubungan jarak jauh memang bukan hal mudah, hanya cinta dewasa yang bisa melakukannya. Sedangkan kedewasaan bukanlah soal umur dan angka, melainkan isi kepala. Dimas memang lebih tua dari Leora, tapi lihatlah betapa Dimas masih bermain dengan janji dan mulut buayanya. Leora sama sekali tidak mempermasalahkan keputusan Dimas, dan keputusannya sendiri yang memilih untuk tidak mempertahankannya. Hanya saja Leora perlu tahu apakah alasan klasik tentang 'cinta harus bertemu' adalah alasan Dimas sampai bermain dibelakangnya?
Ya. Leora perlu tahu, bagaimana pun caranya.
"Dia mengakui bahwa dia memiliki hubungan dengan sekretarisnya?" tebak Aletha setelah selesai membaca pesan dari Dimas yang ada diponsel Leora.
Aletha yakin Leora sudah menyadarinya, tapi memilih untuk tidak langsung menarik kesimpulan karena anehnya Dimas masih menjalin hubungan baik dengan ayahnya, dan bertingkah seolah menjadi yang sangat tersakiti. Memancing simpati dan membuat dirinya seolah korban.
Kau tahu bagaimana menyebalkannya orang yang memberlakukan sistem 'playing victim' dalam hidupnya?
Ya. Kau tahu dengan baik bagaimana rasanya!
"Tepat!" ujar Leora antusias, bahkan sampai ia menjentikkan jemarinya sebagai tanda ia satu pendapat dengan Aletha.
"Lalu, masalahnya?" tanya Aletha, tidak benar-benar bertanya tapi dia sedang berpikir mana kemungkinan yang paling masuk akal.
Leora meletakkan ponselnya, lalu saling menatap mencoba mencari jawaban pada manik berwarna hazel masing-masing.
"Dia sepertinya ingin membangun citra baik, Dimas itu tidak tertebak, bisa saja dia melakukannya karena ayahnya, kan?"
[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments