2. Hurt So Good

"Bersama luka aku terus berjalan, untuk melupakan sayatan sialan yang pernah kau torehkan."

......................

"Leora! Kau didalam! Hey, kau tidak minum racun, kan?!"

Berkali-kali telinga pemilik kamar rasanya tersentak untuk bangun dari kematiannya. Tidak, Leora sebenarnya hanya terlalu menyebalkan karena ia malah tertidur hingga malam setelah pulang dari perjalanannya menghabiskan saldo debitnya.

Leona berterimakasih untuk baju Chloe yang Leora belikan. Adiknya memang serampangan, tapi ia bisa menjadi gulali pada saat-saat tertentu, termasuk juga tidak membuat Leora berubah saat Leona tahu bahwa adiknya baru saja patah hati.

Leora tak akan mungkin minum racun, itu fakta telak sebenarnya. Namun, Leona tahu bahwa adiknya tak akan bangun jika hanya dibangunkan dengan tepukan lembut, apalagi sekarang pintunya terkunci dari dalam. Membuat Leona yang semula tidak memiliki pikiran negatif apapun menjadi curiga setengah sadar pada adiknya. Leora juga manusia soalnya, bisa saja ada iblis yang menyusup kedalam pikirannya dan menyuruhnya untuk melukai diri sendiri karena patah hati. Bisa saja, kan?

"Leora! Ayah menunggumu!" teriak Leona lagi, sudah tidak sabar sekali, adiknya memang sialan!

Hari ini ayah pulang dengan raut masamnya, tidak tahu apa penyebabnya, tetapi sedetik setelah bokongnya menempel pada sofa dengan selesah nyaman, ayah langsung mengucap satu kata, nama anak bungsunya yang membuat banyak masalah hari ini.

Leona sebenarnya manusia yang tidak hobi mencari masalah, tidak suka juga mencari perkara, termasuk dengan ayahnya dan adiknya. Untuk ayahnya memang Leona tak pernah mau mencari masalah, itulah sebabnya Leona langsung saja naik keatas dan membangunkan adiknya tanpa bantahan saat ayahnya mengatakan ingin berbicara dengan Leora. Namun, biarlah kali ini Leona mencari masalah dengan adiknya, tidak bisa dibiarkan jika adiknya terus-terusan membuatnya sebagai sasaran empuk raut masam sang ayah.

Menghitung jari, dari satu hingga enam puluh sebanyak dua kali. Meredam kesabarannya sendiri hingga akhirnya saat hitungan satu pada kali ketiga, pintu itu terbuka dan memunculkan sesosok manusia dengan surai yang berantakan sekali.

Kemeja kerja yang sudah terbuka kancingnya sebanyak dua pada kancing teratas. Mata sayu yang menyebalkan karena terlihat masih mengantuk, ditambah bibir merahnya yang warnanya sudah belepotan kemana-mana.

Serius, Leona sampai bingung sendiri, adiknya habis tidur atau habis baku hantam dengan kucing?

"Ada apa kak? Berisik sekali!" eluh Leora dengan suara malasnya.

Leora mengusak kelopak yang berkali-kali mengerjap pelan, ingin pergi tidur lagi karena belum puas. Masih ingin berbaring, dan memejam, lalu bermimpi indah menjadi seorang putri dari kerajaan. Tapi sayangnya tadi ia sama sekali tidak bermimpi, menyebalkan memang.

Leona menghela napasnya setelah menariknya panjang sekali, menyiratkan bahwa ia sebenarnya sudah sabar sekali sedari tadi, menghadapi Leora sebenarnya sama saja sedang uji kesabaran sudah sejauh mana imannya pada Tuhan. Karena bahkan kalau Leona tidak teringat Tuhan, ia sudah mendobrak pintu itu dengan amarah yang membuncah.

"Ayah menanyakanmu. Lain kali jangan membuat masalah, aku tak ingin rumah ini seperti kutub selatan," ujar Leona dan wajahnya terlihat menahan kesal.

Setelahnya Leona langsung berlalu saja karena mendengar Chloe yang menangis karena tadi ia tinggal dikamar sendirian.

Mengembuskan napas jengah, dua kali matanya memutar sangat tidak berminat. Leora inginnya pergi ke dunia mimpi saja, tapi ia tahu bahwa mengabaikan ayahnya sama saja mencari gerbang masalah baru.

"Ah, pasti ayah akan membahas si ib-em maksudku mantan siala-em tidak, maksudku Dimas."

......................

Diruang keluarga. Duduk berhadapan dengan kaki menyilang seolah memang Leora sangat tidak peduli akan apa yang dikatakan oleh ayahnya. Ia tidak peduli apa yang akan membuat telinganya sebentar lagi memanas karena mendengar ayahnya membicarakan pria yang sedang sangat ingin ia lupakan dalam hidupnya. Secara kasarnya, jika hanya dengan menubrukkan kepala ke tembok bisa membuatnya hilang ingatan, maka Leora sudah melakukannya semenjak malam tadi, tanpa menunda.

Sedangkan masih dengan sirat tenangnya, seperti biasanya, tetapi malam ini terlihat berbeda. Ada benang ketidaksukaan yang terjalin diantara dua tatap yang saling menusuk dalam hening.

Itu ayahnya, sungguhan Leora hanya ingin dirinya tenang malam ini, cukup dengan tidak ada yang menganggunya sampai besok pagi agar ia bisa beraktivitas seperti biasa setelah patah hati kelewat dalam. Mengerikan saat bisa berpura-pura baik-baik saja disaat hatinya remuk redam. Nyatanya, Leora bukan seorang penderita Alexithymia. Leora belum selihai itu menyembunyikan perasaannya. Apalagi jika sedang hancur seperti ini.

Berteman dua cangkir berisi air hangat yang sudah terkontaminasi teh herbal tanpa gula itu, ayahnya berkali-kali menghela napas panjang sambil mencoba menelaah putri bungsunya. Apa yang terjadi hingga membuat hubungan putrinya yang semula sangat baik-baik saja mendadak hancur dan ia baru tahu siang tadi saat Leona, putri sulungnya menelfonnya dan memberitahu semuanya.

Asap mengepul keudara dari lubang cangkir yang menandakan bahwa yang ada didalamnya adalah cairan panas yang bisa membakar tenggorokan bila dipaksa untuk disesap. Namun, tidak dengan Leora yang mencoba membuat bibirnya matang dengan menyeruputnya sedikit demi sedikit sebanyak 3 kali sebelum meletakkannya kembali diatas tatakannya.

"Apa yang ingin ayah tanyakan padaku?" celetuk Leora membuka percakapan.

Mungkin jika Leora tidak memulainya, keheningan ini bisa saja berlanjut hingga pagi esok. Leora paham betul ayahnya yang tak akan mulai berbicara sebelum anaknya mengakui kesalahannya, tapi untuk kali ini Leora memulai pembicaraan bukan karena mengakui kesalahan. Leora tidak merasa salah dan ia tidak perlu meminta maaf jika pun ayahnya memintanya.

Ayahnya masih diam saja, tidak pun menyentuh sedikitpun cangkir yang bertenggeng diatas meja rendahnya. Benar-benar siratnya seperti akan mencecarnya dengan kemarahan, meskipun Leora juga tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah memarahinya dengan kata-kata yang tidak semestinya. Leora berani taruhan untuk itu.

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan aku akan tidur lagi, yah. Lelah sekali."

Leora lalu beranjak dari duduknya, bersiap melangkah untuk menuju ujung tangga, dia tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan melanjutkan tidur. Leora tidak peduli makan malam karena perutnya masih penuh dan ia juga sama sekali tidak berminat untuk menyentuh makanan malam ini.

Tepat satu langkah kakinya mengayun, Leora harus menghentikannya dengan paksa karena ayahnya sudah bersuara. Leora mana bisa membantah, ia adalah anak yang patuh walaupun kadang sering sekali menjadi si keras kepala.

"Duduk, Leora." Ayahnya dan segala yang selalu Leora dapatkan saat akan mendapatkan cecaran, entah sebuah kenyataan atau sebuah tuduhan. Tapi tebakan Leora kali ini hanyalah ayahnya ingin menanyainya, tentu saja perihal mantan kekasihnya.

Tidak mengudarakan bantahan, apalagi sebuah penolakan. Hanyalah sebuah semburan napas lembut tapi panjang yang menjadi jawaban dan akhirnya Leora kembali mendudukkan dirinya di sofa seperti sebelum ia bangkit.

"Tidak bisakah menjadi sopan sedikit? Kamu sudah ayah sekolahkan tinggi-tinggi kenapa masih tidak bisa menghargai orang lain?" ucap ayahnya. Leora yang mendengarnya jelas menjadi bingung sendiri. Ini bukan topik awal yang menjadi tebakannya. Sangat jauh melenceng hingga Leora berpikir mungkin ayahnya kelelahan dan butuh banyak sekali istirahat.

"Ayah, apa aku melanggar aturan?" tanya Leora lugas, ia tidak mengerti akan bermuara kemana percakapan yang aneh ini. Sungguh, pada bagian mana ia melanggar aturan, pun ia sendiri tak tahu.

"Hilangkanlah kebiasaan meninggalkan orang lain saat akan bicara, kamu seperti ini terus apa menurutmu akan membuatmu menjadi keren?" ucap ayahnya lagi.

Leora semakin tidak mengerti. Apa tadi ia yang salah bertindak? Ayahnya diam saja sedari tadi dan Leora hanya mencoba untuk membuat semuanya selesai. Ia tidak akan meninggalkan seseorang manapun jika sedang berbicara padanya, alasan ia berniat akan pergi adalah karena ayahnya terus diam saja.

"Apa ay- ak-" Leora terbata, kelu sekali, padahal ia tidak sedang gugup. Namun, tatapan sang ayah berhasil mrmbuatnya tersudut. Bahkan tanpa kata pun Leora tahu bahwa yang akan dibahas memang bukan hal ini. Ini hanya sebuah awal untuk Leora menerima sebuah penghakiman.

"Apa masalahmu dengan Dimas? Kamu mengakhirinya?" tanya ayahnya.

Dari suaranya jelas Leora merasa sedang diinterogasi, ayahnya ingin tahu lebih banyak tetapi saat Leora mendengar ada sebuah ketimpangan kebenaran pada kalimat sang ayah, Leora langsung angkat bicara. Ia mana terima saat ia yang menjadi korban, malah ia yang berakhir menjadi seorang terdakwa dimata sang ayah.

Leora mengernyit bingung, alisnya hampir menyatu sangking dirinya tidak mengerti. Aneh rasanya saat disebut sebagai seseorang yang telah menyakiti saat dirinya lah yang terang-terangan tersakiti kelewat dalam.

"Ayah, bukan aku yang mengakhirinya, apa Dimas menelfon ayah dan mengatakan semua itu?" ujar Leora, ia juga ingin tahu, jika benar Dimas menelfon ayahnya dan mengatakan semua itu, maka Leora jadi semakin yakin bahwa Dimas memang tidaklah lebih dari seorang pengecut sialan.

Ayahnya hanya mengedikkan bahu sebagai tanggapan, Leora sampai tak habis pikir dengan apa yang sekarang terjadi padanya. Ayahnya ingin tahu, tapi ayahnya menutup mata dan telinga, tidak mau mendengar, apalagi sok mau menyaksikan. Dan sekali lagi, ayahnya membuat Leora seperti terpojokkan kembali dengan membuat percakapannya berakhir dengan sebuah pertanyaan yang tak bisa langsung Leora jawab karena itu terlalu abu-abu.

"Ayah mana tahu, selesaikan semuanya dan kembalilah seperti semula. Ayah tak ingin menanggung resiko besar dengan keputusan yang kamu ambil karena emosi sesaat."

Benar setelah itu ayahnya hanya melenggang, meninggalkan Leora dengan segala gundah dan geramnya. Memendam ribuan kesumat untuk Dimas si licik yang ia pun belum tahu kebenaran apakah Dimas menelfon ayahnya atau tidak karena apa yang dikatakan ayahnya tadi terdengar sangat rancu dan menimbulkan banyak sekali duga yang sekarang menghuni isi kepala Leora.

Emosi sesaat katanya?

Menyeringai manis. Rasa-rasanya Leora ingin menertawakan dirinya sendiri dan takdirnya yang lucu ini. Bagaimana bisa sekarang Leora harus dibuat kesal setelah sebelumnya dibuat berang. Selain cintanya yang dipermainkan, ternyata emosinya juga dijadikan opera sabun.

Semesta memang selalu membuatnya berpikir, sebenarnya akan sejauh mana semesta mengujinya dengan kisah cintanya yang selalu tak benar. Jika saat pertama kali berpacaran Leora harus berakhir karena sebuah keposesifan yang Leora benci, maka kali ini dengan begitu sialannya hubungannya berakhir hanya oleh kata selugas 'jarak'.

Leora memang tak salah dari awal dengan memusuhi jarak, tapi ironisnya ia malah dungu menerima permintaan Dimas yang ternyata tak pernah bisa dipegang janji-janjinya.

Lucu sekali saat Leora mengingat bahwa jarak adalah pemisah yang nyata, dan Leora juga tak kalah keras menertawakan betapa ayahnya yang kerap memihak Dimas karena belum tahu apapun tentang putra mayor itu.

"Dimas tidak sebaik itu, yah..." batin Leora berbisik pada dirinya sendiri. Berisik sekali sampai Leora lupa bahwa ia sebelumnya sedang mengantuk.

Ternyata memang seindah itu koyakan sebuah luka, dan Leora harus tetap hidup kala semesta malah menghakiminya hanya karena ia membela diri demi kesehatan hatinya. Juga menyelamatkan kewarasan isi kepalanya dari hubungannya dengan mantan kekasihnya yang sudah mengkhianatinya.

[]

Terpopuler

Comments

Anonymous

Anonymous

alurnya keren pembelajarannya dapet, petuah tersembunyinya banyak. good job for author

2023-02-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!