H-5

《 DISCLAIMER 》

Cerita ini hanya fiktif belaka dan hasil dari imajinasi Author .Jika ada kesamaan nama tokoh ,tempat kejadian ataupun cerita ,itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan .

*

*

*

Jumlah korban yang berjatuhan akibat wabah virus, sekarang sudah mencapai 1 juta jiwa, di mohon kepada semua orang, untuk terus berada di dalam rumah sampai pemerintah mengetahui jenis virus apa yang telah menyebar di ibukota Jakarta."

Siaran berita dari sebuah tv yang ada di dalam kedai ayam goreng, membuat Mega mengepalkan tangannya kesal. Dia murutuki pemerintah yang sangat lambat mengatasi virus yang sudah mulai menyebar hampir setengah populasi warga di kota "JAKARTA". Untung saja dia tadi menemukan kedai ayam goreng ini dan memutuskan untuk berdiam diri, sampai keadaan Jihan membaik karena masih syok melihat Ningsih yang menjadi korban tepat di depan matanya sendiri.

"Hiks.. hikss seharusnya kamu membiarkanku menolongnya." Ucap Jihan yang tengah meringkuk di pojok ruangan sambil terisak pelan.

"Apa kamu gila! Terus saja kamu seperti itu, aku tidak peduli! aku tidak bisa membiarkan orang yang masih bisa selamat harus mati sia - sia!" Bentak Mega. Bahu Jihan bergetar saat mendengar kalimat itu terlontar dari mulut temannya. Lalu kembali memeluk tubuhnya sendiri sambil terisak tanpa suara.

Sebenarnya, Mega tidak benar-benar mengatakannya, dia hanya tidak ingin Jihan terus-terusan menangisi Ningsih yang mungkin sekarang sudah berubah menjadi zombie.

"Sudahlah, jika kamu terus menangis sampai air matamu kering juga, Ningsih juga tidak akan hidup kembali." Mega menatap Jihan kesal, dia menganggap Ningsih sudah mati. Kembali lagi, Mega mengamati sekitar, di balik kaca kedai. Matanya memicing saat melihat segerombolan tentara yang berjalan pelan ke arahnya.

"Jihan ayo cepat ikut aku!" Mega sontak menarik tangan Jihan tanpa aba - aba, membuat perempuan itu hampir saja terjatuh. Lalu membuka pintu kedai dengan kasar.

"PAK DISINI PAK! KAMI DISINI!" Teriak Mega membuat gerombolan tentara itu menoleh, lalu berlari ke arah mereka.

"Syukurlah masih ada yang selamat," Ucap seorang tentara menatap Mega dan Jihan.

"Terima kasih pak karena berhasil menemukan kami," Ucap Mega membungkuk berterima kasih.

Tentara itu tersenyum, lalu mengalihkan matanya menatap bingung Jihan dalam keadaannya kacau.

" Apa temanmu baik-baik saja?"

"Ah dia, temanku baik-baik saja pak, hanya sedikit bersedih karena teman kami menjadi salah satu korban." Jelas Mega.

"Baiklah, ayo kita pergi ke pengungsian."

Mega menyenggol pinggang Jihan, lalu mengisyaratkan pada perempuan itu untuk menangis lagi.

Setelah 1 jam perjalanan menggunakan mobil tentara, Mega dan Jihan sampai di tempat pengungsian.

"Kalian bisa istirahat, jika butuh sesuatu, tanyakan saja pada tentara yang sedang berjaga." Ucap Pak Gunawan salah satu tentara yang menyelamatkan Mega dan Jihan.

Mega dan Jihan mengangguk, lalu mereka pergi mengikuti salah satu tentara masuk ke dalam gedung. Suara orang ramai menyambut Mega dan Jihan yang baru saja datang, melihat banyak warga yang selamat membuat Mega merasa lega.

"Baiklah, jika kalian butuh sesuatu bilang saja." Ucap tentara yang mengantarkannya pamit pergi.

Jihan langsung duduk di pojok dekat tangga, dia menatap semua dengan tatapan kosong, membuat Mega lagi-lagi menghela nafas berat melihat keadaan Jihan. Perempuan itu berjalan pelan menghampiri Jihan, lalu menepuk pelan bahunya.

"Sekali lagi aku bilang padamu, jika takdir Ningsih memang mungkin harus seperti itu, sekarang, kamu harus bangkit! jangan terpuruk hanya karena satu orang manusia! Lihatlah! buka matamu! sekarang, banyak orang yang membutuhkanmu Jihan, semua orang membutuhkan seorang dokter hebat seperti mu!" Tutur Mega, lalu pamit pergi untuk mengantri makanan.

Jihan, perempuan itu kembali terisak pelan. Lalu bangkit dan menghapus air matanya. Dia akhirnya sadar. Tidak baik jika terus menangis, karena mungkin di luaran sana masih ada orang yang kehilangan anak, istri, suami karena wabah virus ini.

Kemudian dokter muda itu menatap ke sekitar, banyak orang yang terluka membutuhkannya. Membutuhkan seorang dokter seperti dirinya. Lalu Jihan berjalan menghampiri keruman warga dan mengatakan jika dirinys seorang dokter.

Semua orang langsung gembira, karena ada seorang dokter diantara mereka. Sementara Mega, tersenyum menatap Jihan.

****

Sementara itu, Bayu, Ara, Jena dan Budianto masih berada di jalan, menuju ke tempat pangungsian. Selama perjalanan, mereka di buat terkejut oleh para zombie yang hampir menyerang mereka. Tapi dengan sigap Budianto memborbardir para zombie dengan pistolnya, bersama Bayu.

"Pak apa tempat pengungsiannya masih jauh?" Ara menatap Budianto dengan sorot mata lelah. Lalu menunduk melihat jari kakinya yang keluar dari sepatu yang dia kenakan. Rasa panas dari aspal pun membuat gadis itu sesekali meringis.

Budianto berhenti berjalan, lalu melihat gadis sma itu tengah menunduk menatap kakinya.

"Kamu itu bagaimana! adikmu kamu suruh menggunakan sepatu yang sudah tidak layak pakai?" Bentak Budianto kesal.

Pria tentara itu, mengedarkan matanya ke sekitar mencari siapa tahu ada sepatu yang tergeletak di jalan, lalu matanya melihat sebuah toko sepatu berada tidak jauh darinya.

"Tunggu sebentar," Budianto berlari kecil ke toko sepatu, lalu mengambil secara acak sepatu yang berserakan di lantai toko.

"Pakailah." Ucap Budianto memberikan sepatu pada Ara.

"Terima kasih pak." Ucap Bayu. Dia langsung mengambil sepatu itu.

"Tidak usah berterima kasih, seharusnya kamu tidak membiarkan adikmu kesakitan."

Ucapan Budianto membuat Bayu meringis, dia mengaruk kepalanya meskipun tidak gatal. Lalu membantu sang adik untuk memakai sepatunya.

"Akh!" Erangan kesakitan dari adiknya, membuat Bayu menatapnya khawatir, lalu dengan cepat dia melepaskan kembali sepatunya, dan melihat darah keluar dari kaki adiknya.

"Astaga Ara kakimu!" Seru Jena kaget, lalu mengeluarkan P3k dari tasnya yang langsung si serobot oleh Bayu.

Bayu sontak membuka kaos kaki adiknya dengan pelan, dan kaget melihat sebuah luka menganga di telapak kaki Ara.

"Bukannya tadi kakimu baik - baik saja?" Budianto yang merasa aneh sekaligus khawatir. Langsung mengambil sepatunya dan menngeceknya.

"Argh sial! maafkan aku Ara, aku tidak tahu jika ada serpihan kaca di dalam sepatu ini." Ucap Budianto meminta maaf.

"Tidak pak, tidak apa-apa, lagipula aku lupa mengeceknya tadi." Ucap Bayu menjawab ucapan Budianto, lalu kembali sibuk membalut luka adiknya.

"Tahan ya dek." Ucap Bayu menenangkan adiknya.

Setelah selesai, Bayu memasukan sepatu pemberian Budianto ke dalam tas nya ,karena luka, sepertinya adiknya belum bisa memakai sepatu itu, lalu menyuruh Ara untuk naik di bahunya.

"Kakak aku bisa jalan sendiri, lagipula aku berat ." Seru Ara mengerucutkan bibirnya.

"Kakimu terluka, kakak tidak mau kamu kenapa - napa" Jawab Bayu sambil menatap Budianto untuk melanjutkan perjalanan.

"Apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Jena pada Bayu, dia sedikit khawatir dengan mantan pacarnya itu.

"Aku baik, jangan khawatir." Jawab bayu datar.

Akhirnya mereka berempat melanjutkan perjalanannya kembali.

1 jam kemudian, mereka akhirnya sampai di tempat pengungsian, dan Ara meminta kakaknya untuk menurunkannya.

"Kita sudah sampai." Ucap Budianto.

Begitu mereka datang, semua tentara memberi hormat pada mereka, lebih tepatnya pada Budianto. Kapten Mereka.

"Lapor pak! keadaan di dalam gedung aman terkendali!" Ucap salah satu tentara memberi hormat padanya.

"Baik, pantau terus! jangan sampai terlewatkan!" Ucap Budianto.

Tentara itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan kaptennya. Sementara Bayu, dia tengah menatap kagum ke barisan tentara yang berjejer rapi di depannya.

"Ikut aku." Ajak Budianto pada Bayu, Ara dan Jena.

Mereka semua masuk ke dalam gedung, lalu melihat banyak warga yang ternyata masih selamat.

"Ternyata kita tidak sendiri kak." Ucap Ara terharu.

"Kamu benar dek." Jawab Bayu sambil memapah adiknya.

Budianto tersenyum pada Ara, lalu dia pamit sebentar untuk melapor pada atasannya. Sementara Jena, dia memicingkan matanya melihat seseorang yang familiar. Dia berlari ke arah orang itu dan melihat teman kakaknya alias "Dokter Jihan" tengah membantu para warga yang terluka Guru itu langsung berlari menghampiri seseorang itu yang ternyata dokter Jihan.

"Dokter Jihan!" Teriaknya.

Jihan menoleh ke belakang, lalu berlari, begitu dia melihat keberadaan Jena di tempat pengungsian.

*

*

*

Hai sobat sachie...

Nah siapa yang di episode kemarin ngejulidin Mega haha sekarang tahu kenapa Mega ngelakuin itu?

Dan dari episode ini kita belajar *don't judge a book by its cover* jadi jangan pernah ngehakimi orang lain sebelum kita tahu mereka yang asli .

Hihi sampai jumpa di next episode...

Love seuniverse buat yang bacaa ...

Jangan lupa tinggalkan jejak ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!