Livia berjalan tak tentu arah. Pikirannya kosong, hatinya sakit. Perkataan Lendra soal dia yang hanya memacarinya agar menang taruhan berputar di kepala Livia. Sebegitu bodohkah Livia, hingga bisa jatuh dalam perangkap Lendra. Wanita itu memukul kepalanya sendiri. Menyalahkan dirinya sendiri, yang terlalu mengikuti kata hati tanpa mendengarkan akal sehatnya.
Lihat, apa yang dia dapat sekarang. Penyesalan, penderitaan dan sakit hati. Beberapa kali Livia mengusap kasar air mata yang turun di pipinya. Tubuhnya berkali-kali bersenggolan dengan pejalan kaki yang lain. Tapi dia tidak peduli. Hingga akhirnya Livia terduduk lemas, di salah satu bangku di sudut jalan. Tangisnya kembali pecah.
Wanita itu tidak peduli pada pandangan orang yang berlalu lalang di sekitarnya, yang menatap aneh dan kepo padanya. Untuk beberapa waktu Livia membiarkan dirinya terhanyut dalam rasa sakit dan sesal yang memenuhi relung hatinya. Hingga bunyi ponsel yang ada di saku bajunya membuyarkan penyesalannya.
Nama Bian tertera di sana. Tapi dia tidak berniat mengangkatnya. Dia akan berhenti bekerja di tempat itu. Hatinya terlalu sakit, tiap kali teringat ucapan Lendra. Beberapa waktu berlalu, dan ponsel Livia terus berdering. Wanita itu geram, ingin sekali dia membanting ponselnya. Sampai kemudian dia teringat. Kalau dia masih memerlukan ponsel itu untuk menghubunĝi sang ibu.
Akal sehatnya masih bisa diajak berpikir. Jika Livia tidak lagi bekerja di tempat Lendra. Berarti dia harus mencari pekerjaan baru. Dan dia harus berhemat, karena dia baru saja mengirimkan separuh gajinya untuk ibunya di kampung.
Mengingat hal itu, Livia segera mengangkat wajahnya. Tanpa sadar, dia mengusap perutnya. Ada kehidupan yang harus dia jaga sekarang. Bagaimanapun bayi yang ada dalam kandungannya tidak bersalah. Dia yang bersalah dalam hal ini.
Air mata lagi-lagi mengalir di pipi Livia. Apa yang akan dikatakan oleh sang ibu jika beliau tahu. Kalau Livia sudah hancur. Kaki Livia kembali terayun gontai. Untuk hari ini dia akan kembali ke kontrakannya lebih dulu.
Sementara itu, Lendra langsung mengerutkan dahinya mendengar Bian melapor kalau Livia tidak ada di mejanya. Tas wanita itu ada, tapi orangnya tidak ada. Dan ponselnya tidak bisa dihubungi. Lendra menarik nafasnya gusar. Ada apa dengan Livia. Bukankah kemarin wanita itu baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda sakit atau bagaimana.
Pria itu menatap Bian yang kembali menghubungi Livia dan...nihil. Nomor ponsel Livia bahkan sekarang tidak aktif. Sebab wanita itu sudah mematahkan sim cardnya.
"Ke mana dia?"
Dua hari berlalu, dan emosi Lendra mencapai puncaknya. Livia sama sekali tidak kembali bekerja dan tidak meninggalkan kabar apapun. Pekerjaan mereka jelas berantakan, meski beberapa proposal penting sudah diselesaikan Livia tanpa sepengetahuan Lendra. Kepala Lendra bertambah pusing ketika sebuah telepon mengabarkan kalau pertunangannya dengan Natalie, kekasihnya akan dihelat dua minggu lagi.
"Kenapa mereka ini tidak sabaran sih."
Umpat Lendra yang terlihat tampan dengan setelan formal hitamnya.
Kredit Pinterest.com
Syailendra Yue Aditama,
Dia mencintai Natalie, tapi untuk mengarah ke hal yang lebih serius, nanti dulu. Ini pasti semua ulah Natalie yang mendesak sang mama untuk segera mengumumkan pertunangan mereka. Padahal Lendra sudah berpesan pada Lana, sang mama, untuk tidak menyetujui keinginan Natalie.
Haahh, Lendra mengusap kasar wajahnya. Masalah menghilangnya Livia belum selesai, sekarang muncul masalah soal Natalie. Pria itu semakin kesal dibuatnya.
Sementara itu, orang yang tengah dicari Lendra tengah mengepel di lantai toilet sebuah kamar, di sebuah hotel berbintang. Menghindari bertemu Lendra, Livia memilih bekerja sebagai OB. Dia pikir, akan pergi dari Lendra sejauh mungkin. Selain benci pada pria itu, Livia sadar diri. Lendra mungkin tidak mau mengakui keberadaannya.
Pemikiran sempit sepihak yang Livia simpulkan, tanpa bicara dulu pada Lendra ataupun sekedar bertemu dengan pria itu. Dia sudah terlanjur memutuskan mempercayai apa yang dia dengar tanpa bertanya dulu pada Lendra. Dia hanyalah umpan taruhan.
Dengan bantuan Retno, teman satu kontrakannya. Livia berhasil bekerja di hotel itu. Retno tidak banyak bertanya kenapa Livia berhenti dari pekerjaannya yang lama, padahal Retno tahu, gaji Livia besar. Biarlah itu menjadi urusan Livia, Retno pikir dia tidak ingin mencampuri urusan Livia.
Dan yang lebih hebat lagi adalah tidak seorangpun tahu tentang kehamilan Livia. Wanita itu mengalami muntah hanya setelah bangun tidur. Setelahnya Livia adalah wanita biasa yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Terlebih usia kandungan yang masih muda.
Hari-hari Livia lalui dengan bekerja. Seminggu berlalu, Pasha yang merupakan pemilik hotel tersebut tanpa sengaja melihat Livia yang tengah membersihkan bagian lobi hotelnya. Pria itu mengerutkan dahinya. Dia tidak salah lihat kan, itu adalah Livia, sekretaris Lendra yang cukup menarik perhatiannya.
Pasha semakin bingung saat dia menghubungi Bian, pria itu mengatakan kalau Livia tiba-tiba berhenti bekerja. Seringai jahat terukir di bibir Pasha. Dia sudah lama tertarik pada Livia. Jika Lendra sudah melepaskan Livia berarti dia bisa memiliki gadis itu.
"Via...dipanggil ke ruang pak dirut."
Seorang teman memberitahu Livia. Alis Livia berkerut. Dia memang baru saja membersihkan ruangan dirut. Apa ada masalah soal pekerjaannya. Pertanyaan itu mengiringi langkah Livia masuk ke ruangan di lantai sepuluh.
"Masuk."
Satu suara membuat tubuh Livia gemetar. Perlahan wanita itu masuk ke ruangan yang dicat warna pastel. Dilihatnya seorang pria yang tengah duduk dibalik meja kerjanya.
"Ada apa ya, Pak?"
Pasha mengangkat wajahnya. Pria itu langsung terpesona pada wajah natural Livia. Tanpa make up berlebihan seperti yang dia lihat saat menjadi sekretaris Lendra. Pasha tahu Livia, tapi Livia tidak pernah bertemu Pasha.
"Kamu lupa membersihkan kamar pribadiku."
Ha? Livia melongo. Kamar pribadi? Emang ada. La...dijobsheetnya tidak ada kamar pribadi. Mana Livia tahu kalau harus dibersihkan.
"Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau ada kamar pribadi. Kalau begitu saya bersihkan sekarang. Saya tadi membawa alat-alat pembersih saya."
Pasha menarik sudut bibirnya. Dia bisa menilai kalau Livia wanita polos.
"Besok saja. Hanya saja bisa tidak saya minta bantuan kamu."
Dahi Livia kembali berkerut. Apalagi sekarang. Livia mulai malas berurusan dengan pria-pria kalangan atas. CEO-lah, dirut-lah. Dia tidak suka. Terlebih yang berlabel CEO, Livia membencinya.
"Besok saya bantuin buat bersihin kamarnya, Pak."
Pasha mengulas senyum tipisnya. Pantas saja Lendra dengan mudah bisa menipu Livia. Wanita itu sama sekali tidak peka dengan perkataan yang dia dengar.
"Bukan itu yang saya minta."
"Lalu?"
*
Livia menutup pintu ruangan dirutnya dengan perasaan bingung. Meninggalkan Pasha yang melihat punggung Livia menghilang di balik pintu. Pria itu langsung menarik nafasnya.
"Kamu akan terkejut melihat siapa yang aku bawa besok."
Seringai itu kembali muncul di bibir Pasha. Sebuah rencana tersusun di kepala Pasha.
****
Upp lagi guys, ritual jempolnya jan lupa..
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
merti rusdi
Lendra yg ngidam, kah?
2023-07-02
1
merti rusdi
pinter! Sepemikiran kita, Liv
2023-07-02
1
merti rusdi
kartunya aja buang, jgn hp nya, sayang 😂
2023-07-02
0