Bukan Untuk Dijadikan Istri

Ergo baru pulang dari kantor dan dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumahnya. Kenapa semuanya bermain kejar-kejaran seperti anak kecil.

"Hahaha... Stevan juga mau ngejar Mama." Teriak bocah itu riang berlari di belakang Venita dan juga Ema.

"Tuan muda.. tolong jangan lari-larian dan Nyonya.. Nyonya tolong segera kembali ke tempat tidur Anda. Sebentar lagi Tuan Besar akan pulang. Tuan bisa marah kalau melihat Nyonya keluar dari kamar."

"Aku benar-benar bosan berhari-hari hanya di dalam kamar terus. Biarkan aku menghirup udara luar sebentar saja. Kenapa juga kalian harus mengejarku seperti ini?" Balas Venita mencoba menghindar dari kejaran beberapa pelayan di rumah ini.

"Ehem.."

Hanya satu suara dan berhasil membuat ketiganya berhenti di tempat masing-masing.

"Tuan.." Sesal Ema yang merupakan kepala pelayan karena merasa tak bisa menjaga amanat dari tuannya.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" Tanya Ergo dingin dengan tone rendah. Sepertinya dia tengah marah.

Hanya Stevan disini yang masih bisa tersenyum riang. "Papa lihat.. kita tadi baru main kejar-kejaran sama Mama dan Bi Ema." Ucap Stevan polos.

"Kenapa mainnya di dalam rumah? Itu berbahaya sayang." Ergo menurunkan nada bicaranya. Berjalan mendekat ke arah Stevan untuk langsung mengangkat bocah laki-laki itu dalam gendongannya.

"Tapi tadi diluar masih hujan."

"Benar. Nggak boleh main hujan, nanti sakit." Stevan mengangguk mengerti.

"Kemapa kamu tidak berada di tempat tidurmu?" Tone suara Ergo kembali seperti semula saat berbicara dengan Venita. Suara Ergo benar-benar sangat mengintimidasinya.

"Maaf..." Hanya itu yang bisa Venita ucapkan.

"Kenapa Mama minta maaf? Papa, apa Mama melakukan kesalahan?" Tanya Stevan polos.

Ergo menurunkan Stevan. "Stevan sama Bibi Ema dulu ya.. Papa mau ngomong sama Mama."

"Iya, Pa." Walaupun Stevan masih kecil, tapi dia sudah dididik untuk tak pernah membantah ucapa papanya. Maka dari itu dia juga langsung menuruti apa yang papanya minta dan begitu juga sebaliknya.

"Kamu ikut denganku."

Venita akhirnya mengekor di belakang Ergo. Dalam hati dia terus merutuki kebodohannya untuk tak mendengarkan ucapan Ema. Entah apa yang akan terjadi padanya setelah ini.

"Istirahat. Kamu sudah dewasa, berhenti bertingkah seperti anak kecil."

Ergo membawa Venita kembali ke kamarnya. Bahkan dia terus menatap Venita sampai wanita itu benar-benar naik ke atas ranjang dan menarik selimutnya.

"Aku tidak bertingkah seperti anak kecil." Rutuk Venita lirih. Dia melotot saat sadar apa yang seharusnya hanya ada dalam pikirannya keluar begitu saja melalui mulutnya.

Terserah. Toh terlanjur keluar juga. Sekalian saja dia keluarkan semua unek-uneknya "Aku hanya bosan terus berada di dalam kamar. Apa kamu berniat mengurungku atau bagaimana? Dan saat ingin keluar sebentar tiba-tiba saja orang-orangmu mencegatku. Apa yang bisa aku lakukan selain lari dari mereka. Melihat kami berlarian mungkin membuat Stevan senang, jadi dia hanya ikut mengejar. Aku tak bermaksud membuatnya terluka dengan berlari di dalam rumah."

Ergo menghembuskan nafas panjang. Sekali lagi dia berpikir apakah dia telah menentukan pilihan yang tepat untuk menjadikan wanita ini sebagai ibu Stevan. Bahkan sekarang rasanya Ergo sedang memiliki dua anak kecil di dalam rumahnya.

"Aku melakukannya untuk kebaikanmu. Ingat kata dokter? Kamu masih dalam tahap penyembuhan."

"Aku tahu. Aku hanya bosan dan keluar kamar sebentar. Berjalan-jalan sebentar tidak akan membuat bahuku bertambah parah. Lagian aku berjalan dengan kaki bukan dengan tangan."

Venita menutup mulutnya sendiri setelah mengatakan kalimat tadi. Bagaimana bisa dia seberani itu? Beruntung Ergo seperti tak ambil pusing dengan ucapannya.

"Kembali ke tempat tidurmu. Nanti malam Dokter Ferdi akan datang untuk mengecek keadaanmu."

"Baik." Venita menurut dan kembali naik ke tempat tidur.

Tak banyak bicara, Ergo keluar dari kamar itu.

#

"Bagaimana, Dok?" Tanya Ergo.

"Sudah mulai membaik. Ibu Venita sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Namun harus tetap berhati-hati. Sebaiknya jangan mengangkat sesuatu yang berat-berat terlebih dahulu."

Venita terlihat bersyukur mendengar penjelasan dari Dokter Ferdi. Masalahnya sudah hampir dua minggu dia tinggal di rumah besar milik Ergo ini, tapi selama itu juga mereka semua yang berada di rumah tak membiarkan Venita melakukan apapun.

Katanya mereka takut jika luka bahunya akan semakin parah dan Ergo akan memarahi mereka karena tak memintanya untuk beristirahat di kamar.

Rasanya membosankan hanya terus-menerus berada di kamar. Walaupun sebenarnya ini jauh lebih baik daripada harus lelah terus di kejar para rentenir.

Namun badan Venita seperti tidak dibuat hanya untuk berdiam diri. Badannya sudah terbiasa dipaksa bergerak dan melakukan pekerjaan kasar. Jadi tubuhnya semakin sakit jika tak digunakan untuk melakukan aktivitas.

"Terimakasih, Dok." Ucap Ergo sembari mengantar Dokter Ferdi pergi.

"Asyik.. Mama akhirnya sudah sembuh." Ucap Stevan girang dan langsung naik ke atas ranjang. "Jadi, apa besok Mama sudah bisa mengantar Stevan sekolah seperti yang lain?" Tanya Stevan antusias.

"Belum boleh." Ergo datang untuk menjawab pertanyaan putranya.

"Kenapa begitu?" Tanya Stevan sedih.

"Mama harus menikah dengan Papa dulu baru bisa Stevan kenalkan pada teman-teman Stevan."

"Menikah? Apa itu menikah?" Tanya Stevan polos.

"Sebuah pesta yang diadakan agar Mama bisa menjadi Mama Stevan."

"Jadi sekarang Mama belum boleh menjadi Mama Stevan?"

"Belum sayang."

"Kalau begitu cepat Papa menikah dengan Mama sekarang juga."

Ergo tersenyum kecil. "Tidak bisa begitu. Mama harus bertemu dengan oma dan opa dulu."

"Kalau begitu sekarang ayo kita ketemu oma dan opa, Pa."

"Iya. Tunggu Mama benar-benar sembuh ya..."

Stevan tertunduk sendu. "Kalau begitu malam ini Stevan tidur di kamar Stevan sendiri aja. Stevan mau Mama cepat sembuh."

"Bagus. Kalau begitu anak baik harus segera pergi ke kamar karena ini sudah waktunya tidur."

"Iya, Pa. Dadah Mama, selamat malam." Stevan mengecup pipi Venita seperti biasa dan kemudian turun dari tempat tidur. Setelah itu Ergo juga pergi dari sana.

Sedangkan Venita yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan keduanya hanya bisa tersenyum kecut. Jadi seperti itulah penilaian Ergo tentang arti pernikahan. Pantas saja dia menjadi duda sekarang.

Tiba-tiba saja Venita merasa bimbang dengan keputusannya untuk menikah dengan Ergo. Sayangnya dia tidak berada di kondisi untuk bisa memilih.

Bahkan penawaran Ergo sangat menguntungkan baginya dari segi manapun. Entah seperti apa pandangan Ergo tentang pernikahan, seharusnya Venita tak begitu terkejut mendengarnya.

Apa yang sebenarnya dia harapkan dari pernikahan ini? Bagaimana mungkin pernikahan yang didasari oleh uang akan ada cinta di dalamnya. Seharusnya Venita sadar akan hal itu.

Sepertinya dia berharap terlalu tinggi dengan pernikahan ini. Dia bahkan bukan seorang Cinderella yang bisa membuat pangeran jatuh cinta hanya dengan sekali dansa dan menikah karena keduanya saling mencintai.

#

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!