...🍁🍁🍁...
Andra bersiul sambil menyisir rambutnya di depan cermin. Kini ia telah siap dengan penampilan sederhananya tapi tak membuat daya tariknya berkurang. Andra menghentikan gerakan tangannya yang menyisir rambutnya. Kini kedua sorot mata Andra tertuju pada langit malam yang dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip begitu sangat indah.
Andra melangkah mendekati balkon dan berhenti di siring dengan kedua tangannya yang memegang pinggiran pagar pembatas. Tatapan Andra menatap langit itu dengan penuh perhatian.
"Makin hari makin nggak ada yang bisa ngertiin gue," ujar Andra lalu ia kembali terdiam.
"Mommy selalu marah-marah, Papi pun begitu."
"Andra nggak ngerti, kenapa semua orang di dalam rumah ini selalu marahin Andra. Emang gue sesalah itu apa?"
"Gue mau selalu ada sama teman-teman gue yang bisa ngertiin gue dan nggak selalu ngerendahin gue. Bahkan mereka selalu nurut dan ndegerin apa yang gue bilang."
"Beda sama Mommy sama Papi yang selalu nganggap gue itu nggak berguna dan malah selalu ngatur-ngatur hidup gue."
"Mereka semua selalu bilang kalau kehidupan gue itu nggak jelas. Emang kehidupan ada yang jelas?"
Andra menghela nafas lalu menutup kedua matanya, merasakan angin malam yang sejuk masuk mengisi paru-parunya dengan beraturan.
"Tuhan, jika boleh buatlah gue mati sekali aja biar gue bisa liat siapa yang peduli sama gue dan siapa yang nggak peduli," batin Andra.
Andra membuka matanya membuat ia terbelalak menatap bintang jatuh di langit yang luas itu.
"Gila, gue berdoa pas ada bintang jatuh. Kalau doa gue terkabul dan gue mati beneran terus nggak idup lagi, gimana dong?" ujar Andra dengan perasaaan khawatir.
Andra menghela nafas dan menggeleng cepat berusaha menyingkirkan pikiran bodoh itu.
"Jangan percaya! Itu cuman mitos, Andra dan lo nggak boleh percaya!" ujar Andra berusaha untuk meyakinkan diri hingga ponselnya berdering membuat Andra menoleh menatap ponsel yang berada di atas kasurnya.
Andra melangkah ke arah ponsel dan meraihnya. Ada nama Satria di sana.
"Halo, Sat," ujar Andra.
"Halo, Ndra. Nih anak-anak udah ngumpul di tempat nongkrong kamu teh kapan ke sini?" tanya Satria.
"Suruh ke tempat balap aja! Nanti gue nyusul!" pinta Andra memberitahu lalu tanpa menunggu Satria bicara ia telah menutup telponnya.
Andra memasukkan telpon genggam ke saku jaketnya lalu melangkah pergi ke luar dari kamar setelah meraih kunci motor dari atas meja yang telah ia simpan tadi.
Andra bersiul dengan sangat gembira sambil melangkah menuruni anakan tangga. Langkah Andra perlahan pelan menatap di bawah sana, Wati, Santiani dan Pafang yang kini sedang berada di ruangan tamu.
Santiani dan Pafang yang duduk di sofa mulai mendongak menatap ke arah Andra setelah mendengar suara langkah Andra sementara Wati nampak tertunduk setelah menatap kedatangan Andra sejenak.
Andra melirik sebuah koper yang berada di samping Wati. Sepertinya Wati benar-benar akan berhenti menjadi pelayan di rumah ini setelah mendengar ujaran Andra di kamar yang telah memecatnya. a apa itu berarti ia tidak akan bertemu lagi dengan Mak Wati? Tak apa, ini yang Andra inginkan. Andra tidak ingin melihat mak Wati bersusah payah untuk bekerja.
Andra melanjutkan langkahnya menuruni anakan tangga lalu tanpa menegur Santiani dan Pafang, ia terus saja melangkah melintasi tiga mahkluk yang terus menatap kepergian Andra.
"Andra!!!" panggil Pafang membuat langkah Andra terhenti.
Andra menghembuskan nafasnya kasar lalu mendecapkan bibirnya dan menoleh menatap Pafang dengan wajah malas.
"Ada apa lagi, sih? Andra mau keluar dulu," ujar Andra lalu kembali membalikkan badan dan ia melangkah pergi.
Kedua mata Pafang terbelalak kaget seakan tak percaya jika Andra seakan tak menghormatinya. Kedua rahang Pafang menegang karena marah membuatnya tanpa pikir panjang segera melangkah berniat untuk menghampiri Andra namun, langkah itu tertahan saat Santiani memegang pergelangan tangan Pafang.
"Ada apa?" tanya Pafang sambil menatap Santiani dengan wajah bingungnya.
"Jangan marah! Kita bicarakan baik-baik!" ujar Santiani lembut.
Pafang membuang nafasnya kasar lalu mengangguk mengerti. Pafang melangkah lalu duduk di kursi sofa berusaha menenangkan dirinya.
"Andra!!!" panggil Santiani membuat langkah Andra yang kini telah di pintu keluar terhenti.
"Ada apa lagi, sih?" tanya Andra yang kini menoleh. Suaranya terdengar sangat kesal.
"Kami mau bicara sama kamu," ujar Santiani.
"Iya nanti, Andra mau ke tempat balap dulu. Teman-teman Andra udah nungguin," jelas Andra yang kini telah menyentuh permukaan pintu.
"Andra, kamu lebih mentingin teman-teman kamu dari pada kami? Orang tua kamu sendiri?" tanya Pafang tidak menyangka.
Andra tersenyum lalu melangkah mendekati Santiani dan Pafang yang masih serius menatapnya sementara Wati masih terlihat tertunduk dengan sana.
"Papi ngomong apa? Andra lebih mentingin teman-teman Andra dari pada Papi dan Mommy?"
Tak ada jawaban dari kedua orangtuanya itu.
"Terus apa bedanya Andra dengan Papi dan Mommy yang lebih mentingin pekerjaan daripada Andra?" tanya Andra membuat Pafang terkejut mendengarnya.
Pafang sadar betul jika apa yang dikatakan oleh Andra, anak satu-satunya itu adalah benar. Ia memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, dimana perusahaan harus ia urus sehingga tak ada waktu banyak untuk bersama dengan putranya, Andra tapi ini semua ia lakukan untuk Andra.
"Andra, kamu tidak boleh bicara seperti itu!" tegur Santiani yang sangat khawatir jika suaminya akan marah besar setelah mendengar ujaran Andra.
"Memangnya kenapa, Mom? Ada yang salah dengan ucapan Andra?" tanya Andra.
"Sudah jelas kamu salah, kamu itu tidak bisa menghargai kami sebagai orang tua kamu. Kamu tidak bisa bersikap seperti seorang anak di luar sana yang selalu berbicara sopan kepada orang tuanya," oceh Pafang sambil menujuk.
Andra tersenyum sinis lalu mengangguk.
"Yah benar, tapi apa pernah Papi dan Mommy bersikap seperti orang tua yang ada di luar sana? Pernah tidak Papi dan Mommy ada saat pengumuman atau pengambilan rapor nilai Andra si sekolah?" tanya Andra membuat Santiani dan Pafang bungkam.
"Kenapa? Nggak, kan?"
"Bukankah itu tugas dari orang tua kepada anaknya tapi Papi sama Mommy nggak pernah mau lakuin itu untuk Andra."
"Dari Andra kecil sampai sekarang Andra nggak pernah ngerasain rasanya punya orang tua seperti apa yang dilakukan orang tua kepada anaknya."
"Lalu kenapa sekarang Papi sama Mommy mau aku bersikap seperti anak di luar sana tapi Papi sama Mommy nggak pernah bersikap seperti orang tua teman-teman Andra di luar sana?"
"Mom, Mommy selalu tanya sama Andra, kan kenapa Andra lebih betah lama-lama di tempat nongkrong daripada di rumah? Iya kan?" tanya Andra.
Santiani terdiam ia tak berniat untuk menjawab pertanyaan Andra.
"Itu semua karena mereka, teman-teman Andra selalu ada buat Andra sedangkan Mommy dan Papi nggak ada buat Andra," ujar Andra dengan suara serak, jujur Andra ingin menangis tapi ia malu untuk melakukannya.
"Andra sekarang merasa jika teman Andra lebih peduli sama Andra dari pada Papi sama Mommy. Mereka semua ada untuk Andra, ngehibur Andra sedangkan Papi sama Mommy nggak!" oceh Andra.
"Cukup!" pintah Pafang sambil mengangkat telapak tangannya ke arah Andra yang kini terdiam menatap Pafang sementara Santiani menoleh menatap suaminya itu.
Pafang bangkit dari sofa lalu melangkah mendekati Andra.
"Papa-"
"Mas," ujar Santiani sambil memegang pergelangan tangan Pafang membuat suaminya itu menghentikan ujarannya.
Santiani tak mau jika Pafang marah besar dan memukul Andra. Pafang tersenyum menatap Santiani lalu ia mengangguk, dari sorot mata Santiani, Pafang mengerti apa maksud Santiani. Pafang melepas pegangan Santiani lalu melangkah mendekati Andra.
"Papi mengerti apa maksud kamu, Papi mengerti tapi kamu harus mengerti juga jika teman-teman kamu itu bisa saja berubah. Bisa saja dia baik karena kamu punya segalanya tapi kita tidak tau apakah ia akan tetap ada disaat kamu sedang susah," jelas Pafang.
"Buka mata kamu, Andra! Suatu saat nanti Tuhan akan memperlihatkan siapa yang benar-benar sayang dan perhatian sama kamu dan siapa yang hanya memanfaatkan kamu."
"Kamu tidak tau apa isi hati mereka, Nak," lanjutnya.
"Isi hati apa sih, Pi? Mereka semua baik," bela Andra yang tidak ingin mendengar hal-hal buruk dari omongan Papanya.
"Itu yang kamu lihat tapi bukan itu yang sebenarnya terjadi di belakang kamu. Papi harap Tuhan segera memperlihatkan sikap asli mereka semua dengan cara Tuhan yang kamu sendiri tidak akan tahu caranya bagaimana," ujar Pafang.
Andra tersenyum lalu mengangguk.
"Yah, kita tunggu kapan Tuhan membuat Andra sadar dan bagaimana cara Tuhan memperlihatkan semuanya," ujar Andra.
Ponsel Andra berdering membuat Andra segera merogoh saku jaketnya.
"Halo, Ndra. Kau dimana ini? Beta dan kawan-kawan sudah tunggu dari tadi," ujar Meru yang kini telah berada di tempat balap.
Sudah ada ribuan motor yang terparkir di pinggir jalan beraspal dan beberapa sedang melajukan motornya bersiap-siap untuk ikut balapan nantinya.
Ada banyak orang di tempat ini dengan pakaian hitam dan beberapa gadis-gadis dengan pakaian seksi.
"Iya tungguin gue!" ujar Andra lalu mematikan ponsel sambil melangkah ke luar rumah tanpa berpamitan dengan Santiani dan Pafang membuat Pafang berteriak berusaha menyuruh Andra untuk menghentikan langkahnya namun, Andra tak memperdulikan semuanya.
...🍁🍁🍁...
"Bagaimana?" tanya Fandi yang kini telah berada di atas motornya.
"Katanya tunggu!" ujar Meru memberitau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 13 Episodes
Comments