Bola itu bulat

Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Sebagai anak yang paling tua di keluarga aku harus membantu Ibu ku menghidupi kedua adik ku karena ayah ku sudah meninggal sejak aku duduk di bangku kelas 5 SD.

Inilah kisahku Ferza Irawan.

Saat kelas 4 SD ayah ku mengenali ku dengan sepak bola. Saat itu ketika ayah pulang kerja ayah membawakan bola yang menjadi bola pertama ku.

"Assalamualaikum." Ayah mengucap salam ketika masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam Ayah udah pulang?" Ferza kecil langsung bergegas ke depan saat mendengar Ayahnya pulang.

"Ya Ferza Ayah ada sesuatu buat kamu."

"Apa itu Ayah?"

"Teng teng teng lihat ini adalah bola buat kamu. Kamu sukakan?" Dengan wajah bahagia, Ayah memberikan Ferza kecil sebuah bola yang baru saja ia belikan.

"Keren bolanya Yah aku suka makasih Ayah kapan-kapan kita main ya." Ferza tampak senang atas pemberian Ayahnya.

"Mau main sekarang?" Ayah menawarkan Ferza untuk bermain bola saat itu juga.

"Mau Yah mau."

Ferza kecil dan Ayahnya mereka bermain bola di depan rumahnya tampak mereka sangat bahagia dengan apa yang mereka lakukan.

Sesekali Ayah mengajak Ferza ke lapangan untuk menonton pertandingan sepak bola. Disitulah Ferza bertemu dengan Angga yang merupakan teman pertama dari luar sekolahnya.

Ferza dan Angga tampak akrab dalam berteman. Mereka berduapun memiliki janji untuk masuk ke dalam ekskul sepak bola di sekolah masing-masing dan bertemu di sebuah turnamen sebelum mereka masuk SMP karena mereka berjanji akan masuk ke SMP yang sama.

"Ferza ayo bertanding." Ucap Angga yang kini sudah menjadi teman baiknya Ferza.

"1 lawan 1?" Tanya Ferza.

"Bukan tapi 11 lawan 11. Ayo kita tanding dengan tim sekolah masing-masing."

"Tapi aku gak ikut ekskul sepak bola di sekolahku."

"Tinggal masuk dan sama-sama berlatih agar kita masuk ke dalam tim inti."

"Hm ayo. Anu Angga kenapa Angga sangat ingin kita bertanding?"

"Karena kita sebulan lagi naik kelas 5 dan cuma itu waktunya untuk bertanding kelas 6 pastinya bakalan di batasi untuk kegiatan ekskul buat fokus ujian."

"Lalu SMP?"

"Kau bercanda atau gimana? Kita kan bakalan satu SMP bareng yakali kita akan bertanding berbeda tim."

"Hahaha iya juga."

Selama setahun Ferza berlatih main sepak bola terus tujuannya adalah kepilih lomba agar bisa berhadapan dengan Angga nantinya.

Saat pelajaran olahraga Ferza selalu unjuk diri saat bermain bola. Teman sekelasnya selalu meninginkan Ferza untuk berada dengan satu timnya.

Hingga pada akhirnya hari seleksi untuk turnamen tiba. Ferza mendapatkan kesempatan untuk mengikuti seleksi tetapi ada syarat dan ketentuan yang berlaku salah satunya memiliki sepatu sepak bola yang harganya cukup mahal. Tetapi Ferza yakin bahwa Ayahnya akan membelikan sepatu itu buatnya seleksi nanti.

Ferza pulang ke sekolah dengan senangnya membawa kabar yang akan dia beri tahukan kepada Ayahnya. Namun saat sudah dekat rumah tetiba ada bendera kuning terpasang. Rumah Ferza sudah rame didatangi orang. Ferza hanya bisa terdiam melihat itu, dia dengan memberanikan diri berjalan perlahan-lahan masuk ke dalam rumahnya melihat Ibu dan adik-adiknya sudah menangis.

Kebahagiaan Ferza saat di terima ikut seleksi turnamen harus berganti dengan sebuah kesedihan ketika mengetahui bahwa sang Ayah sudah meninggal dunia karena mengalami kecelakaan.

"Kenapa Ayah pergi secepat itu. Padahal aku akan memberikan progresku dalam bermain sepak bola. Kenapa Yah!!!" Ferza hanya bisa menangis meratapi nasib yang ia dapatkan.

Sehari sesudah Ayahnya meninggal suasana duka masih menyelimuti keluarga Ferza terutama Ibunya yang harus menghidupi ke 3 anaknya sendirian. Tapi Ferza harus memberitahukan tentang kepilihnya dia untuk seleksi turnamen sepak bola. Dia memberanikan untuk mengatakan hal itu kepada Ibunya.

"Bu..." Ucap Ferza dengan ragu-ragu.

"Ya kenapa?" Sahut Ibunya Ferza.

"Aku kepilih untuk mengikuti seleksi turnamen sepak bola di sekolah ku Bu."

"Baguslah ikut aja gapapa."

"Hm tapi harus memiliki sepatu bola dan perlengkapan lainnya seperti kaos kaki dan lain-lain." Ferza tau ini bukan waktu yang pas tapi dia harus memberitahukannya kepada Ibunya melihat waktu seleksi yang tidak akan lama lagi.

"Harus ya ada sepatu bola? Itu mahal loh nak Ibu mana ada duit."

"Iya Bu harus."

"Kamu kepengen banget ikut turnamen sepak bola?"

"Ya Bu."

"Di tahan dulu ya nak keperluan kita banyak Ibu janji suatu saat jika Ibu punya uang Ibu belikan sepatu bola buat kamu." Ucap Ibu Ferza sembari mengusap wajah anaknya.

Mendengar itu membuat hati Ferza sedih dia harus mengubur mimpinya demi keluarga yang ia cintai.

Ferza pun memutuskan untuk mencari biaya tambahan agar bisa membantu Ibunya menghidupi kedua adiknya yang masih kecil.

Saat pulang sekolah Ferza langsung bekerja di sebuah toko bangunan. Dengan badannya yang kecil ia sanggup menangkat benda-benda berat demi sesuap nasi.

Dia terus bekerja bekerja dan bekerja hingga pada akhirnya duit yang dia butuhkan sudah cukup untuk membeli sepasang sepatu sepak bola. Namun Ferza tidak meinginkan sepatu itu lagi ditambah lagi turnamen sudah usai tidak ada lagi alasan Ferza untuk membeli sepatu sepak bola tersebut.

Hinggat suatu hari saat masuk SMP Ferza dan Angga berhasil memasuki SMP yang mereka minati. Dengan cepat Angga masuk ke dalam ekskul sepak bola di SMP tersebut, sedangkan Ferza tidak bisa ikut karena harus bekerja saat pulang sekolah dan tidak ada waktu untuk mengikuti kegiatan ekskul.

Ferza hanya bermain bola di saat jam olahraga saja dan saat sore setelah dia selesai bekerja dia bermain bola bersama teman-teman lainnya di lapangan komplek.

Dua tahun Ferza alami kehidupan keras seperti ini. Anak-anak seusianya sedang menikmati masa-masa remaja sedangkan Ferza menghabiskan waktunya buat mencari uang.

Disaat Ferza duduk di kelas 3 SMP secara mengejutkan SMP Ferza berhasil memasuki babak final turnamen Kota tingkat SMP. Angga yang merupakan pemain inti di sekolahnya meminta Ferza untuk menontonnya saat pertandingan final nanti.

"Ferza sekolah kita masuk final nonton kami ya."

"Kapan? Soalnya aku harus kerja."

"Minggu, kan kau libur pas minggu."

"Oke aku akan nonton pertandingan itu."

Ferza menepati janjinya untuk menonton pertandingan Angga. Untuk pertama kalinya Ferza melihat Chandra di tribun.

Pertandingan final saat itu tidak seperti pertandingan final sesungguhnya. SMP Tunas Pelita ******* habis lawannya dengan skor 4-0. Chandra berperan besar dalam tragedi pembantaian tersebut.

Ferza yang melihat itu serasa kesal melihat teman-temannya dibantai 4-0 oleh lawan.

"Andai saja aku bermain pasti skornya tidak segini." Gumam Ferza mulutnya sampai bergetar saat dia berbicara seperti itu.

Sebelum pertandingan di bubarkan. Angga sempat berbicara dengan Chandra.

"Chandra Abinawa selamat atas kemenangan mu. Tapi lihat aja akan ada yang membalasmu suatu hari nanti." Ucap Angga kepada Chandra.

"Membalasku? Siapa? 3 tahun aku bermain bola di Kota ini aku selalu menang tanpa mengalami kekalahan sekalipun. Kecuali yang kau maksud orang yang berada di luar Kota." Sahut Al dengan nada sombong.

"Gak... dia ada di Kota ini. Dia sedang tertidur sekarang suatu saat nanti dia akan melahap mu hidup-hidup." Sahut Angga dengan senyum smirknya.

"Gak usah halu. Sampai kapan pun gak akan ada yang bisa ngalahin aku di Kota ini."

"Ya sebaiknya kau jangan terlalu sombong di atas langit masih ada langit." Anggapun pergi meninggalkan Chandra dan melanjutkan pertandingan yang bersisa 3 menit lagi.

Terpopuler

Comments

Mhd Alzain

Mhd Alzain

up

2023-03-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!