Bab 18: Usaha Menolong Paula

Paula tampak termenung di sudut ruangan sembari diam. Ia ingin menertawakan nasibnya sendiri. Gara-gara ingin bertemu dengan Paulo Dybala, ia harus mengalami banyak kemalangan.

Empat tahun ia bersabar mengumpulkan banyak uang demi mewujudkan mimpinya. Bahkan ia sampai menahan keinginannya terhadap sesuatu demi Dybala. Akan tetapi, yang ia dapatkan justru tembok dingin penjara.

"Ayo makan!" perintah Surti.

Surti membawakan nampan makanan yang baru saja dibagikan oleh sipir. Beberapa hari ini ia merasa kasihan dengan teman satu selnya itu yang selalu murung.

"Hidup kita ini sudah cukup menderita, jangan kamu tambah menyiksanya dengan tidak makan. Kita harus kuat dan yakin, siapa tahu sebentar lagi ada pertolongan datang dan membawa kita keluar dari sini."

Surti berusaha membesarkan hati Paula meskipun ia sendiri sudah pasrah jika harus membusuk di sana selamanya.

"Padahal aku datang hanya untuk menonton bola," gumam Paula.

Surti menghela napas. "Aku tidak mengerti dengan cara berpikir anak muda sepertimu. Bisa-bisanya kamu menghabiskan puluhan juta hanya untuk bertemu orang yang bahkan tidak tahu kamu hidup atau tidak di dunia ini."

Paula tertawa kecil. "Justru karena itu aku datang agar dia tahu kalau aku salah satu penggemarnya yang hidup di dunia ini."

"Padahal kamu bisa menggunakan uang itu untuk modal usaha, hidup nyaman di sana. Dari pada terkatung-katung di negeri orang dengan nasib yang tidak jelas," sindir Surti.

"Kalau tahu akan jadi seperti ini, mungkin aku juga akan mengurungkan niat datang ke sini. Tapi, siapa yang tahu tentang takdir? Semuanya sudah terjadi."

"Makanya makan, supaya kamu cukup tenaga untuk berpikir lagi. Ayo cepat makan!" paksa Surti.

Meskipun baru kenal beberapa hari, mereka sudah terlihat akrab. Tinggal bersama dalam penjara membuat mereka saling mencurahkan perasaan dan mengobati kesepian.

Paula berusaha memaksa mulutnya untuk makan meskipun ia tak merasa lapar. Saat melihat samoosa di piringnya, tiba-tiba air mata keluar begitu saja. Makanan itu mengingatkannya kembali pada Aisy dan malam festival kala itu. Ia kira telah berhasil berteman dengannya.

"Pasti kamu merasa bosan dengan menu di penjara ini, kan? Sabar saja, hari minggu besok biasanya akan ada menu Nasi Biryani," kata Surti.

"Kenapa kamu senang membahas tentang makanan?"

"Karena sebagian besar hidup kita memang dihabiskan untuk makanan."

***

"Aku yakin Paula pasti sengaja mengarang cerita seperti itu agar tidak membuat kita terlibat," ujar Riska.

"Lalu kita harus bagaimana, Ris? Ketua tim juga sudah menanyakan hal itu padaku. Terpaksa aku juga bilang kalau memang kartu identitasku hilang," kata Erna yang turut khawatir. Ia merupakan pemilik kartu identitas yang Paula kenakan saat melakukan volunteer.

"Menurutku ini akan sulit karena identitas Paula juga hilang. Takutnya nanti dia dikira pekerja migran ilegal. Lebih baik kita berhati-hati nangan sampai ikut terseret," usul Wati.

"Kamu kok tega bicara seperti itu?" Riska menjadi kesal mendengar ucapan Wati. "Dia itu saudara senegara kita dan sedang kesulitan. Apa pantas kalau kita pura-pura tidak tahu?"

"Maksudku bukan seperti itu, Ris. Kita masih mahasiswa, punya kuasa apa untuk bisa memolongnya? Kedutaan juga belum pasti bisa membantu. Kalau kita juga kena masalah bagaimana? Bukannya bisa menolong malah jadi menambau beban!"

Riska dan Wati sama-sama kesal. Mereka saling adu argumen yang membuat suasana menjadi tegang.

"Sudah, sudah ... Kok jadi kalian yang ribut? Kita kan sedang fokus mencari cara membantu Paula," tegur Erna. Ia berusaha menenangkan kedua temannya yang tengah bermusuhan itu.

"Ris, kamu bilang dia pernah menikah dengan lelaki Qatar karena kena razia, kan?" tanya Erna.

"Iya. Tapi, lelaki itu sebenarnya juga sudah dijodohkan dengan wanita lokal. Ibu dari lelaki itu juga tidak terima dengan kehadirannya. Makanya dia bilang mau pulang saja setelah piala dunia," kata Riska.

"Bagaimana kalau kita menemui lelaki itu dan meminta tolong untuk membebaskan Paula?" tanya Erna.

"Masalahnya, aku tidak tahu rumahnya. Paula sendiri tidak tahu alamatnya."

Ketiganya terlihat bingung.

"Siapa namanya? Kita coba cari di internet," usul Wati.

"Namanya Hamish Abdullah."

Berbekal nama yang pernah Paula katakan pada Riska, mereka mencari daftar nama-nama penduduk Qatar dengan nama tersebut. Ada sepuluh nama yang muncul dalam pencarian yang mereka lakukan.

"Yang mana ini? Masa kita dagangi satu per satu?" tanya Wati.

"Carilah kira-kira yang pantas jadi suaminya Paula," kata Erna.

"Ini tiga masih anak-anak, berarti tidak masuk hitungan kan, ya!" kata Wati sembari memperhatikan data kesepuluh prang Qatar bernama Hamish Abdullah.

"Ini satu masih SMA, masuk hitungan nggak?" tanya Wati.

"Kayaknya nggak, deh. Masa SMA sudah menikah. Apalagi Paula kan lebih tua," sahut Riska.

"Bisa saja, kan? Katanya Paula cerita dia menolong lelaki sekarat lalu membawanya ke penginapan dan kena grebeg. Dia juga tidak bilang usianya lebih muda atau lebih tua darinya. Lagipula, pemuda ini kan sudah cukup dewasa, bisa jadi dia keluar malam pas lagi apes. Mungkin karena itu juga ibunya tidak terima anaknya telah menikahi Paula," ujar Erna.

"Masa anak SMA sudah tunangan?" tanya Riska.

"Kalau orang sini mah biasa, baru lahir saja biasanya sudah dijodohkan dengan saudaranya, Ris!" kata Erna.

Riska dan Wati saling bertatapan.

"Ya sudahlah! Itu simpan dulu datanya," kata Riska.

"Nah, kalau ini tiga orang kayaknya terlalu tua, usia di atas 70 tahunan," kata Wati.

"Masuk akal, sih. Kalau orang setua itu paling meninggal duluan waktu ditusuk perampok," kata Erna.

"Aku coret, ya!" kata Wati.

"Weh, coba lihat deh ... Ini ada yang ganteng ...," gumam Wati. Riska dan Erna turut mendekat ke arah monitor dan memperhatikan foto yang tengah Wati perhatikan.

"Namanya Hamish Abdullah, ya ... Ini sih gantengnya kebangetan." Erna turut terkesima dengan ketampanan lelaki itu.

"Apa mungkin ini suami dadakan Paula, ya?" tebak Riska.

"Kalau aku punya suami seperti ini walaupun ibunya galak, aku nggak bakalan pergi, sih. Tidak peduli dia mau dijodohkan atau tidak. Dimadu juga boleh," ujar Erna.

"Halah! Itu kan kamu," kata Riska sembari menoyor kepala Erna.

"Kalau dia bukan suami Paula dan masih single, aku bakalan coba dekatin ah. Enak kali ya, punya suami sultan Qatar. Hahaha ...." Erna membayangkan betapa beruntungnya ia jika bisa menikahi lelaki seperti Hamish.

Setelah berdiskusi cukup lama, mereka memutuskan untuk menemui keempat orang yang paling mungkin sebagai suami Paula. Seandainya lelaki tersebut tidak mau membantu Paula, setidaknya mereka mau memberikan identitas dan barang-barang Paula agar mereka bisa meminta bantuan kepada kedutaan.

Terpopuler

Comments

Zubaidah Dahlan

Zubaidah Dahlan

aduhh ris cepat jumpa hamish bantu in Paula keluar dr lokap

2023-05-08

0

Nuris Wahyuni

Nuris Wahyuni

bahagianya dikelilingi org2 baik ,emang klau kita slalu berbuat baik pasti kita dpt balesannya gak tau kpn kita dpt gilirannya🙏

2023-04-08

0

Xyezon

Xyezon

untungnya paul bertemu dg orang2 baik yg mau menolong

2023-02-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!