Terpaksa Menikahi Sultan Qatar
Paula bersenandung sembari mencuci tumpukan piring di sebuah restoran. Perasaanya sedang senang mengingat hari ini merupakan hari terakhirnya bekerja. Ia telah mengundurkan diri dari tempatnya bekerja yang tidak mau memberikannya cuti selama satu bulan untuk menonton piala dunia langsung di Doha, Qatar.
Mungkin bagi sebagian orang Paula sudah gila, ia rela melepaskan pekerjaan yang jaman sekarang sulit didapatkan hanya demi piala dunia. Namun, bagi Paula itu adalah mimpinya. Selama 4 tahun terakhir ia rajin menabung, belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Arab demi menonton piala dunia dan bertemu bintang pujaannya, Paulo Dybala.
“Serius kamu mau pergi ke Qatar?” tanya Rena, rekan kerjanya yang masih tidak percaya dengan rencana gila Paula.
Ia meletakkan piring-piring kotor yang dibawanya dari dapur ke dalam bak pencucian. Ia bergabung dengan Paula untuk membersihkan piring-piring itu.
“Serius, Ren! Aku sudah mengurus mengurus paspor dan visa jauh-jauh hari. Akhir pekan ini aku akan pergi ke sana.”
Paula mengatakannya seakan tanpa beban, membuat Rena yang sudah bekerja selama empat tahun Bersama wanita itu terheran-heran.
“Memangnya … kamu punya uang berapa?” tanya Rena. Pergi ke Qatar pastilah butuh biaya yang sangat banyak, apalagi Paula berencana akan berada di sana selama satu bulan.
“Sekitar 50 juta,” jawab Paula sembari tersenyum.
Rena tercengang mendengar nominal yang Paula sebutkan. “Pantas semua orang menyebutmu gila, Paula! Kamu mati-matian kerja mengumpulkan uang sebanyak itu hanya untuk menonton Paulo yang bahkan mungkin tidak tahu kalau kamu hidup di dunia ini?” ia geleng-geleng kepala.
“Makanya aku nekad mau ke sana. Akan aku buat Paulo tahu kalau aku hidup di dunia ini dan menjadi penggemarnya.” Paula masih tersenyum tanpa beban. Ia merasa apa yang akan dilakukannya merupakan sebuah kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Bahkan, ia merasa senang bekerja karena memiliki mimpi itu, bertemu Paulo Dybala.
“Kalau kamu merasa kelebihan uang, bukankah lebih baik disumbangkan ke panti asuhan? Itu lebih bermanfaat. Atau bisa kamu gunakan uangmu untuk membuka usaha sendiri dari pada untuk hal yang tidak jelas seperti itu.”
“Setiap orang aku rasa punya caranya sendiri untuk meraih kebahagiaan. Memang mimpiku tidak besar, hanya ingin melihat idolaku bermain bola secara langsung,” kilah Paula.
“Setelah kamu habiskan uangmu untuk bertemu dengan bintang pujaanmu itu, kamu mau apa?” tanya Rena.
Paula tampak berpikir sejenak. “Em, mungkin aku akan mencari kerja lagi. Syukur kalua bos mau menerimaku lagi,” katanya.
Rena ingin tertawa mendengar jawaban simpel yang Paula utarakan. “Kamu rela miskin demi bertemu Paulo? Ya Tuhan … manusia macam apa kamu ini.” Rena benar-benar tidak percaya bisa memiliki rekan kerja seperti Paula.
“Hahaha … kamu jangan terlalu serius menanggapi hidup, Ren! Kita tidak ada yang tahu bagaimana nasib ke depannya. Menurutku, selagi bisa, tidak ada salahnya untuk melakukan hal yang paling kita inginkan.”
“Kamu bahkan tidak sempat pacaran karena terlalu sibuk mencintai pemain bola itu,” gumam Rena.
Paula tersenyum lebar. “Siapa tahu dia yang akan menjadi jodohku,” katanya.
“Hm, mimpinya …. “ Rena membawa Kembali piring yang telah selesai dibersihkan dan meletakkannya di atas rak satu per satu.
“Sudah, ya! Karena pekerjaan juga sudah beres, akum au pulang dulu!” pamit Paula. Seharusnya sore ini ia juga sudah bisa pulang karena sudah resmi dipecat. Namun, ia tidak enak kepada rekan kerjanya yang lain sehingga menunggu sampai seluruh pekerjaan selesai.
“Oke, selamat mengejar mimpi, ya! Kalau kamu benar bisa bertemu dengan Paulo, sampaikan salamku padanya!” pinta Rena.
“Hahaha … oke!”
Paula benar-benar santai menyikapi respon setiap orang yang meremehkannya. Selama empat tahun, ia hanya fokus mengejar mimpinya untuk bertemu sang idola. Ia tidak susah dengan pendapat mereka, karena yang merasakannya adalah dirinya sendiri.
Tepat jam delapan malam Paula telah sampai di kamar kontrakannya. Memang tidak salah jika ada yang mengatakannya gila, punya uang 50 juta tapi tinggal di kontrakan dua petak yang sangat sederhana. Seharusnya ia bisa memakai uang itu sebagai uang muka membeli perumahan. Tapi, itulah Paula yang punya cara sendiri menikmati hidupnya.
Paula merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia memandangi poster-poster Paulo Dybala yang memenuhi dinding kamarnya. Sejak kelas 3 SMA ia mulai menggilai bola karena sosok Dybala.
Karena tidak memiliki biaya untuk kuliah, ia memutuskan untuk bekerja. Hasil gaji yang diterima setiap bulan, sebagian ia tabung untuk mewujudkan mimpinya bertemu Dybala.
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Paula pergi ke bandara sendiri membawa sebuah koper yang cukup besar. Tak ada sanak saudara maupun kawan yang mengantar kepergiannya. Ia juga tidak ambil pusing dengan hal itu. Paula menaiki pesawatnya di bagian kelas ekonomi.
Setelah menempuh perjalanan selama belasan jam yang cukup Panjang, akhirnya Paula berhasil menginjakkan kakinya di negara terkaya di dunia. Senyumannya terkembang begitu lebar menyadari bahwa mimpinya semakin dekat untuk diraih.
“Pak, tolong antarkan saya ke alamat ini,” kata Paula kepada seorang sopir taksi dengan menggunakan Bahasa arab.
“Baik, Nona,” jawab sang sopir taksi.
Tak sia-sia selama ini Paula belajar Bahasa Arab secara otodidak. Meskipun hanya kosa kata sederhana untuk percakapan sehari-hari, hal itu sangat bermanfaat baginya untuk berkomunikasi dengan warga asli Qatar.
Sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan taksi, ia sampai di sebuah penginapan yang letaknya agak di pinggiran kota Doha. Ia memesannya secara online di internet. Kondisinya lebih buruk dari yang ia bayangkan. Tapi, ia tak punya pilihan selain memakainya karena sudah terlanjur dibayar.
Ia lihat beberapa penghuni lain yang wajahnya seperti pendatang juga menginap di tempat itu. Memasuki event piala dunia memang menjadikan sangat sulit untuk mendapatkan penginapan. Ia rasa orang dengan dana terbatas yang nekad ingin menonton piala dunia pasti akan memilih penginapan murah untuk menghemat biaya.
“Uh … Huh … Ah ….”
Tidur Paula terusik, ia terbangun. Ia seperti mendengar suara rintihan dari arah luar. “Ini tengah malam, kan? Jangan bilang selain jelek tempat ini juga berhantu,”
Paula memegangi belakang lehernya. Buku kuduknya sampai berdiri membayangkan hal mistis di sana. Lagi-lagi suara rintihan itu Kembali terdengar. “Hantu di Qatar kayak apa ya, wujudnya? Mereka bersih-bersih kan, ya? Masa hantu di negara kaya seperti gembel di negaraku.” Dalam kondisi seperti itu ia berusaha menghibur diri sendiri.
Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia memberanikan diri keluar dari kamarnya. Ia mencari asal suara rintihan itu di bawah cahaya temaram penerangan malam.
“Astaga!” ia berjingkat kaget mendapati seorang lelaki terkapar di sana sembari memegangi bagian perutnya. Wajah lelaki itu tampak berdarah seperti baru saja dipukuli orang.
“Are you okay?” tanyanya dengan Bahasa Inggris. Entah lelaki itu paham atau tidak denga napa yang dia ucapkan.
“Masuklah ke dalam, biar aku mengobatimu.”
Rasa kasihan membuat Paula merasa tidak tega membiarkan lelaki itu terkapar di luar dengan suhu udara yang dingin. Ia membantu memapah lelaki itu agar berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar kontrakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Ditaa
wey Dybala itu suamikuuu🤣🤣
2023-07-26
2
Zubaidah Dahlan
Paula knapa buka pintu nti org jahat
2023-05-08
0
Siti Ariani
suamiku pergi ke Qatar mau kerja, lah ini si paula malah mau nonton bola 🤣
2023-03-02
0