Dini hari, Nezia terbangun. Gadis itu merasakan sekujur tubuhnya terasa meriang dan perutnya melilit.
'Ya Allah, pusing sekali kepalaku.' Dia beringsut dan kemudian berjalan menuju ranjang dengan tertatih.
Nezia segera melepas mukena yang tadi belum sempat dia lepaskan hingga tertidur, gadis itu kemudian duduk dengan menyandarkan kepala pada 𝘩𝘦𝘢𝘥 𝘣𝘰𝘢𝘳𝘥 ranjang.
Putri Ayah Alex itu memijat pelipisnya sambil meringis. 'Ini pasti karena aku tertidur di lantai dalam waktu yang cukup lama.'
'Duh, nih perut. Kenapa juga mesti ikut-ikutan bermasalah? Apa karena tadi aku belum sempat makan malam, ya?' monolog Nezia sambil meremas pelan perutnya sendiri.
'Aku coba keluar, deh. Barangkali ada stok makanan di dapur, sekadar untuk mengganjal perut.'
Bergegas gadis itu beranjak, memakai mukenanya kembali dan segera keluar dari kamar untuk menuju dapur.
Dapur mini yang rapi dan bersih nampak di depan mata. Meja makan dengan empat kursi, kosong, tidak ada apa-apa di atasnya. Nezia kemudian membuka almari pendinginan, berharap ada sesuatu yang dapat dimasak.
Baru saja gadis itu berjongkok hendak mencari, dia dikejutkan dengan suara seseorang, bersamaan dengan lampu dapur yang menyala.
"Aku pikir pocong! Ternyata kamu?" Pemuda itu tiba-tiba saja sudah berada di dapur dan kemudian duduk dengan santainya di meja makan.
"Kalau ke dapur tuh, lampu dinyalakan. Jangan gelap-gelapan seperti tadi. Dah gitu, kamu pakai mukena lagi. Ya aku pikir, ada pocong nyasar ke dapurku," celoteh pemuda tersebut.
Nezia menoleh, hanya sekilas menatap pemuda yang juga tengah menatap dirinya dan kemudian kembali fokus pada pencariannya.
"Kamu ada masalah apa, sih, sama makhluk-makhluk itu? Tadi ngatain aku kunti, sekarang pocong?" tanya Nezia masih sambil fokus dengan pencariannya. Gadis itu membuka satu persatu laci di dalam almari pendingin tersebut.
"Kamu lapar?" tebak sang pemuda, tanpa menjawab pertanyaan Nezia.
Nezia mengangguk, tanpa menoleh.
"Enggak ada apa-apa di situ, aku belum sempat belanja," ucap pemuda tersebut, sambil terus memandangi punggung Nezia.
"Adanya cuma mie sama telor, apa kamu mau?" tanyanya, kemudian.
Kembali Nezia mengangguk, kali ini sambil menoleh dan kemudian beranjak menuju meja makan dan ikut duduk di sana.
"Yakin, mau masak dengan memakai mukena?" tanya pemuda yang kini mengenakan baju koko, lengkap dengan peci hitam yang bertengger di kepala. Wajah pemuda itu terlihat lebih segar dan kharismatik. Sepertinya, dia baru saja selesai menjalankan ibadah sholat sunnah malam.
"Kamu bisa pakai hijab kakakku, pilih saja yang kamu suka. Kakakku enggak bakalan marah, dia orangnya baik, kok," lanjutnya.
Nezia mengangguk dan kemudian segera berlalu, kembali ke dalam kamar yang dia tempati.
Sementara sang pemuda bergegas menyimpan peci di atas almari pendingin, mengambil dua mie rebus beserta telor dari tempat penyimpanan dan kemudian memasaknya tanpa menunggu Nezia.
'Kasihan dia, sampai kelaparan. Aku juga enggak kepikiran tadi, enggak nanya dia sudah makan apa belum,' monolognya sambil meracik bumbu dalam mangkok.
"Kok kamu yang masak?" Suara Nezia yang datang tanpa terdengar langkah kakinya, membuat sang pemuda terkejut.
"Kenapa, sih, kamu selalu ngagetin. Kayak hantu saja, tiba-tiba sudah di depan mata," protes sang pemuda.
"Memangnya ada, ya. Hantu secantik aku?" tanya Nezia begitu percaya diri.
"Dih, wajah sembab gitu ngaku cantik," cibir sang pemuda. "Kamu lagi ada masalah apa, sih? Nangis sampai mata bengkak gitu?" lanjutnya bertanya.
Nezia hanya mengedikkan bahu, tak ingin menjawab pertanyaan pemuda yang telah memaksanya sampai ke apartemen. Bukan-bukan, bukan memaksa, tapi menolongnya, begitulah yang Nezia pikirkan saat ini.
"Sini, biar aku yang lanjutin," pinta Nezia kemudian.
"Enggak usah, kamu buat minuman hangat saja, sana," suruh pemuda tersebut. "Gula dan sahabat-sahabatnya ada di laci atas," lanjutnya, sambil menunjuk tempat penyimpanan di atas rak piring.
Nezia mengerutkan dahi, mendengar perkataan pemuda yang memakai sarung motif kotak-kotak. "Gula punya sahabat? Dah kayak manusia saja," gumamnya seraya geleng-geleng kepala.
"Punyalah, memangnya kamu, enggak punya siapa-siapa?" sindir pemuda itu, yang sengaja ingin menyentil sisi sensitif Nezia agar teringat dengan orang-orang yang perduli dan menyayanginya.
Benar saja, Nezia langsung terdiam dan terpaku di tempatnya.
"Gula tuh, kalau lagi galau dia ngadunya sama kopi. Dia sama kopi 'kan, sahabat pena antar benua." Pemuda tersebut terkekeh pelan, dia tiba-tiba teringat dengan lagu lawas yang sering diputar oleh kakak sulungnya jika sekeluarga bepergian bersama.
"Gula akan bilang ; Pi, aku bosan deh, hidup seperti ini terus. Manis dan gak ada variasinya. Beri aku sedikit rasa pahit dong, Pi, agar hidupku jadi lebih berwarna dan agar aku bisa lebih bersyukur dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku." Sejenak, pemuda tersebut menghentikan celotehannya.
"Hidup lurus, mulus tanpa masalah itu enggak asyik, tahu," tandasnya sambil berlalu dengan membawa dua mangkok mie instan dengan telor rebus sebagai pelengkap yang telah siap untuk disantap, ke meja makan.
Nezia menghembus kasar napasnya. Dia merasa tersentil karena memang benar adanya, apa yang dikatakan oleh pemuda tersebut.
Dia, yang tidak pernah dihadapkan pada masalah berat sejak kecil dan selalu dikelilingi orang-orang yang tulus menyayangi. Maka, begitu ada orang yang menyakiti dan mengkhianati dirinya, dunia Nezia seakan langsung runtuh. Hidup seolah tidak adil padanya.
Nezia segera melanjutkan membuat minuman untuk dirinya dan juga untuk pemuda yang telah menolongnya.
"Ayo, makan!" Setelah memastikan bahwa Nezia duduk di hadapannya, pemuda itu segera memakan mie instan dengan sangat lahap karena semalam dirinya juga melewatkan makan malam.
"Boleh aku tahu nama kamu?" tanya sang pemuda di sela-sela makan.
Nezia tak menjawab, gadis itu membisu.
"Seberat apa, sih, masalah hidupmu? Sampai kamu harus kabur-kaburan kayak gini?" tanyanya kembali, meski Nezia tak menjawab pertanyaannya yang tadi.
"Apa orang tuamu tak merestui hubungan kamu sama pacar, hingga kamu protes dengan cara kabur seperti ini, Ganis?" lanjutnya, menebak.
Nezia masih terdiam, tetapi sedetik kemudian mengurungkan suapan mie ke dalam mulutnya dan menatap pemuda di hadapan. "Ganis?" tanyanya, menyelidik.
"Ya, aku memanggilmu Ganis karena kamu tidak mau memberitahukan nama kamu," balas sang pemuda. "Kenapa, ada masalah?" tanyanya kemudian.
"Terseratlah," balas Nezia, pasrah.
"Apa kamu mau cerita padaku, Nis?" Pemuda tersebut menatap Nezia kembali.
Nezia menggeleng.
"Enggak masalah, sih, kalau kamu enggak mau cerita. Jujur, aku juga takut kalau ada orang yang curhat sama aku. Aku takut enggak bisa menjaga amanah dan malah menceritakan pada orang lain."
"Masalahnya, kalau orang tuamu mencari dan kemudian menemukan kamu di sini, mereka akan mengira bahwa aku telah menculik dan menyekap anak gadisnya." Pemuda tersebut menatap Nezia sekilas, lantas melanjutkan makannya kembali.
"Ya, kalau kedua orang tuamu langsung setuju aku menikahimu, sih, enggak masalah. Lah, kalau mereka malah melaporkan aku ke polisi, bisa nangis tujuh hari tujuh malam keluargaku karena si bungsu yang paling ganteng seantero kota Priangan, tiba-tiba terjerat masalah hukum dan diharuskan menginap di hotel prodeo." Pemuda itu terkekeh sendiri.
Meski pemuda tersebut sudah mencoba mengajak berkomunikasi dan bercanda, tetapi Nezia masih saja enggan menceritakan masalahnya.
"Sampai kapan, kamu akan di sini?" tanya pemuda itu kembali, setelah beberapa saat menunggu, tetapi gadis di hadapannya tidak juga bersuara.
Nezia menghentikan makan dan menatap pemuda tersebut. "Kenapa? Apa kamu keberatan menampungku?"
Pemuda di hadapan Nezia yang baru saja menyelesaikan makannya itu, menggeleng pelan.
"Tidak masalah, sih, seberapa lama kamu mau tinggal. Lagipula ini apartemen, tidak akan ada yang perduli siapa saja yang aku bawa pulang dan menginap di sini. Berbeda jika di kampung, orang-orang pasti akan langsung menggerebek kita karena disangkanya, kita adalah pasangan mesum." Pemuda tersebut tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang putih bersih karena dia tidak merokok.
"Aku juga tidak bakalan tergoda, sih, meski kamu tidur di sini dan tanpa memakai busana," lanjutnya. dengan yakin. "Tapi yang aku khawatirkan justru kamu," pemuda tersebut menatap dalam netra Nezia seraya mengulas sebuah senyaman.
Gadis itu mengerutkan dahi dengan dalam. "Kenapa, aku?"
☕☕☕☕☕ bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Ita rahmawati
ganis,,gadis manis kah 🤭 lucu panggilanny 😅
2023-06-08
1
linamaulina18
narsis bgt dirimu😁😁
2023-04-01
2
linamaulina18
semangat am hidupmu nezia br d hiyanati udah nyerah pkrin klgmu
2023-04-01
2