Disebuah pemakaman Pahlawan yang ada di kota Jakarta, Nabila terduduk sendirian didepan pusara ayahnya, perempuan cantik itu menaruh bunga anyelir putih sebagai tanda hormatnya.
Masih teringat jelas, waktu dimana Ayahnya mulai merenggang nyawa. Disaat detik-detik terakhirnya, Ayahnya masih bisa memikirkan kondisi orang lain. Nabila pun teringat kejadian 5 tahun yang lalu.
—Flashback On—
Malam itu, Nabila dan Ayahnya yang bernama Pak Handoko baru saja pulang dari tempat bekerja masing-masing. Ayahnya yang seorang Polisi memang jarang berada di rumah, namun karena malam itu adalah hari ulang tahun Nabila.
Pak Handoko memang sengaja menjemput putri kesayangannya dari les Sekolah agar bisa makan malam bersama.
Nabila sudah ditinggal sang Ibu sejak kecil, Ibundanya meninggal karena sebuah penyakit. Karena itu Nabila tumbuh besar atas perawatan Ayahnya. Dia sangat menyayangi Ayahnya melebihi apapun, karena memang hanya Sang Ayah yang dia miliki saat ini.
Kini mereka sedang berada dalam perjalanan pulang, seperti biasa mereka menaiki mini bus yang sudah menjadi langganan mereka berdua sejak dulu.
“Yah, malam ini mau makan apa? Kita beli saja, tidak usah masak.” Ujar Nabila saat bersandar di bahu Ayahnya.
“Memangnya Lala mau makan apa?” tanya Ayahnya dengan lembut.
“Lala mau makan sup ayam, yang ada didepan belokan itu lo, Yah”
Pak Handoko tersenyum mendengarnya, Nabila memang memiliki banyak kemiripan dengan Ibunya. Mereka sama-sama menyukai sup ayam langganan rumahnya.
“Ok, kalau begitu nanti sekalian pulang kita beli ya.”
Nabila bersorak senang mendengarnya, Pak Handoko ikut tertawa. Dia masih duduk di kelas dua bangku SMU,keduanya hidup dengan penghasilan dari Ayahnya yang seorang Polisi.
“Bagaimana tadi sekolahnya, lancar kan?”
Nabila menoleh. “Iya, cuma Lala gak suka aja sama Guru Matematika yang baru. Galak sih!”
Seketika Ayahnya langsung mencubit pipinya dengan cukup keras, sampai-sampai membuat Nabila meringis kesakitan.
“Ayah, sakit!” keluh Nabila.
“Kamu tidak suka belajar matematika?”
Nabila memanyunkan bibirnya lucu, Ayahnya tersenyum simpul melihat tingkah putrinya yang masih seperti anak TK tersebut.
“Bukannya Lala tidak suka, hanya Gurunya yang salah. Kenapa harus galak-galak, kan jadinya Lala takut!” seru Nabila membela diri.
Pak Handoko sangat memahami sikap putrinya yang sensitif tersebut. Dia mudah tersinggung, dan jika ada sesuatu yang tidak tepat dihatinya, dia akan terus memikirkannya dalam jangka waktu yang tidak terkira.
Namun Nabila bukan orang yang pendendam, dia mudah memaafkan walaupun dia pernah menjadi korban bullying ketika masih SD.
Keduanya tersenyum bersama, mereka saling bercerita banyak hal. Diperjalanan tersebut, mereka tidak menduga apa yang akan terjadi. Hingga akhirnya tiba-tiba sebuah benturan terasa dari sisi kiri body Bus.
BRAK!!
Semua orang langsung menjerit, begitu pula dengan Nabila yang ketakutan. Bus yang dia tumpangi berputar sampai beberapa kali hingga akhirnya berhenti.
Nabila merasakan semua tubuhnya sakit. Perlahan dia membuka matanya, gadis itu bergeming saat melihat Ayahnya menahan pecahan kaca agar tidak melukainya.
“A—yah!” panggilnya dengan terbata-bata.
Pak Handoko masih bisa mendengarnya, pria paruh baya itu berusaha mengeluarkan Nabila dari dalam Bus yang sudah ringsek itu. Sejenak, Pak Handoko mengamati mobil yang ringsek disebelahnya. Mobil itulah yang sudah menabraknya.
Pak Handoko seperti mengenal mobil itu, dia berusaha melihat dengan jelas nomor plat mobil itu. Ketika sudah berhasil melihatnya dengan jelas, Pak Handoko segera menyuruh Putrinya untuk menyelamatkannya.
“Lala, selamatkan orang yang ada didalam mobil itu!” ucap Ayahnya dengan susah payah.
Nabila masih bergeming, dia mengamati Ayahnya yang penuh dengan luka sembari menangis.
“Lala! Se—lamatkan orang itu!”
“Ayah! Aku harus menyelamatkan Ayah, aku gak peduli sama orang lain!”
Nabila mulai bergerak, dia berusaha membuka body bus yang sudah menjepit tubuh Ayahnya. Semakin lama, Pak Handoko semakin lemas. Dia kehilangan banyak darah, hingga membuatnya mulai kehilangan kesadaran.
“Lala, A—yah mohon selamatkan nyawa orang lain. A—yah sudah ti—dak mungkin bisa sela—mat”
Nabila menggeleng keras, Ayahnya tidak boleh berbicara seperti ini. Nabila akan berusaha menyelamatkan Pak Handoko apapun yang terjadi.
“Lala, ini permintaan Ayah yang ter-akhir. Selamat—kan orang i—tu, kamu adalah ga—dia yang ba—ik. Se—lamatkan, Nak!”
Setelah mengatakannya dengan susah payah, Ayahnya mulai memejamkan mata. Tangannya yang menggenggam tangan Nabila sudah tidak bergerak. Gadis itu meraung dengan pedih, dia tidak mau ditinggalkan Ayahnya.
“AYAH! Jangan tinggalin, Lala!” Nabila menangis sejadi-jadinya.
—FLASHBACK OFF—
Namun hanya sebatas itu saja kejadian yang bisa dia ingat. Dokter mengatakan, Nabila mengalami depresi berat hingga membuatnya melupakan sebagian ingatan dari kejadian tersebut. Termasuk dengan sosok pria yang sudah menjadi penyebab kematian Ayahnya.
“Sampai sekarang aku masih belum bisa mengingatnya. Andai jika aku bisa mengingat wajahnya, aku pasti sudah mencarinya untuk membalas dendam kematian Ayah..” suara Nabila terdengar gemetar.
Tangannya mengusap batu nisan Ayahnya dengan gemetar, masih membekas bekas luka sayatan akibat dia menolong laki-laki itu. Dia masih tidak mengerti, tentang siapa laki-laki itu.
Sebenarnya dia tidak benar-benar tulus menyelamatkannya, ini semua dia lakukan karena Ayahnya yang meminta. Air matanya kembali menetes setiap kali mengingatnya. Nabila begitu lemah, dia tidak sanggup melewatinya sendiri.
“Nabila, maaf aku terlambat”
Nabila segera menyeka air matanya, gadis itu menoleh kearah sumber suara. Disana, terlihat seorang pria yang sedang berlari kecil kearahnya. Perlahan, sebuah senyuman lembut mengembang di wajah cantik Nabila.
“Kevin, kamu udah sampai?”
Kevin Pradana, menghampiri Nabila yang masih duduk di depan makam ayahnya. Pemuda itu menatap pusara tersebut kemudian membungkuk sebagai rasa hormat.
Nabila tersenyum tipis, seandainya Ayahnya masih hidup. Dia ingin sekali mengenalkan Kevin kepadanya, Senior tampan yang kini menjadi sahabat dekatnya.
“Selamat sore, Pak Handoko. Maaf, tapi saya minta ijin untuk mengantarkan Nabila pulang ke rumah. Saya berjanji akan menjaganya dengan aman” kata Kevin yang membuat Nabila tersentuh.
Nabila kembali mengusap pusara Ayahnya, gadis itu berpamitan untuk pulang. Dia juga mengatakan akan kembali seminggu lagi, dan membawakan bunga anyelir yang lebih harum.
“Lala pulang dulu, Yah..”
Gadis itu berjalan menghampiri Kevin yang tersenyum kearahnya. Kevin adalah satu-satunya orang yang peduli kepadanya ketika dia mengalami depresi berat, yang hampir saja membuatnya gila. Karena hal itu Nabila menjadi sangat bergantungan dengan seorang Kevin.
“Ayo pulang!” ajak Nabila.
“Pulang? Makan dulu lah, La. Aku lapar!”
Nabila mengernyit. “Kamu tadi pamit ke Ayah mau nganter aku pulang, lho! Bukan mau ngajak aku makan.”
“Yah.. kalau saya bilang mau ngajak anak cantiknya ini makan, nanti saya dimarahin beliau”
Jawaban Kevin berhasil membuat Nabila tertawa, pemuda ini memang sedikit humoris. Hal itu pula yang membuat Nabila merasa nyaman dengannya, dan mulai saling terbuka.
“Ok baik, tapi kamu yang traktir?”
“Siap Tuan Putri” sahut Kevin sembari memberi hormat.
Mereka berdua tertawa bersama dan berjalan menuju kearah mobil Kevin yang terparkir didepan pemakaman.
Sebenarnya keduanya sangat serasi satu sama lain, namun sayangnya Kevin sudah memiliki tunangan yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya. Karena itulah, hubungan mereka berdua hanya bisa sebatas sahabat yang saling melengkapi satu sama lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments