Hari sudah sore. Suara motor bebek terdengar memasuki pekarangan rumah. Pak Parman turun dari motor tuanya yang masih terawat seraya menenteng kantong plastik berwarna hitam.
"Assalamu'alaikum! Bapak pulang!"ucap Pak Parman seperti biasanya dengan senyum di bibirnya. Pulang ke rumah dan bertemu anak istri membuat rasa lelah Pak Parman hilang.
"Wa'alaikumus salam,"sahut tiga orang perempuan dari dalam rumah.Bu Lastri keluar dari dapur, sedangkan Wulan dan Ayana keluar dari kamar.
Ketiganya langsung mencium punggung tangan Pak Parman bergantian. Hal yang tidak pernah dilakukan Ayana di rumah. Ayana tidak pernah tahu kapan kedua orang tuanya pergi dan pulang. Tidak seperti Pak Parman yang selalu mengucapkan salam saat pulang ke rumah dan selalu membawa makanan. Walaupun makanan yang dibawa pulang Pak Parman tidak mahal, tapi entah mengapa Ayana selalu penasaran dan senang saat Pak Parman membawa pulang sesuatu untuk mereka bertiga. Berbeda jauh dengan orang tuanya yang hanya mentransfer uang. Ini memang bukan masalah murah atau mahalnya makanan yang di bawa pulang oleh Pak Parman. Tapi masalah arti makanan yang di bawa Pak Parman. Walaupun makanan yang di bawa Pak Parman bukan dari supermarket apalagi dari restoran mewah, tapi dari setiap makan yang di bawakan Pak Parman itu memiliki arti perhatian dan kasih sayang yang tulus dari Pak Parman untuk mereka yang tidak pernah Ayana rasakan dari orang tuanya.
Duduk bersama Pak Parman, Bu Lastri dan Wulan sambil memakan makanan yang mungkin di beli Pak Parman di pinggir jalan dengan harga yang mungkin tidak seberapa bagi Ayana. Kemudian memakannya sambil berbincang ringan dan bersenda gurau bersama keluarga. Semua itu tidak pernah Ayana rasakan dalam keluarganya. Keluarganya terlalu sibuk mencari uang. Entah untuk apa kedua orang tuanya mati-matian mencari uang. Jika hanya untuk mencukupi kebutuhan hidup, Ayana merasa mereka sudah lebih dari berkecukupan. Lalu apakah tujuan kedua orang tuanya hidup hanya untuk mencari uang? Ayana juga tidak tahu.
"Bapak bawa apa?"tanya Wulan mengambil kantong plastik yang di bawa Pak Parman.
"Rambutan. Makan rambutannya jangan banyak-banyak, ya! Nanti bisa diare kalau makan terlalu banyak,"ujar Pak Parman memperingati seraya duduk di kursi ruang tamu bersama Bu Lastri, Wulan dan Ayana yang mulai memakan rambutan. Melepaskan rasa penatnya setelah seharian bekerja.
"Iya, Pak!"sahut ketiga perempuan itu bersamaan. Mulai memakan rambutan yang dibawakan Pak Parman.
"Loh, itu, kenapa siku Ayana biru?"tanya Pak Parman yang tidak sengaja melihat siku Ayana karena gadis itu hanya memakai baju lengan pendek dan celana sebatas lutut.
"Eh, masa iya? Kok ibu nggak tahu?"tanya Bu Lastri segera memeriksa siku Ayana.
"Kok, kamu nggak bilang kalau siku kamu memar, Ay?"tanya Wulan yang juga tidak tahu kalau siku Ayana memar.
"Cuma memar saja, kok. Ini karena aku jatuh di kelas tadi,"sahut Ayana yang selalu merasa terharu dengan perhatian yang diberikan oleh keluarga Wulan.
Dari sekian banyak rumah teman-temannya yang pernah Ayana jadikan tempat menginap, hanya di rumah Wulan inilah Ayana merasa betah, senang dan nyaman. Di rumah Wulan, Ayana merasa memiliki keluarga yang sesungguhnya. Saudara dan kedua orang tua yang selalu memperhatikan dan menyayangi dirinya. Tidak seperti dirumahnya yang mewah dan megah, tapi tidak pernah merasakan kehangatan keluarga. Sibuk dengan urusan masing-masing. Menganggap uang lebih penting.
"Kok bisa sampai jatuh?"tanya Bu Lastri seraya mengambil salep untuk memar dari laci, kemudian mengoleskannya pada siku Ayana.
"Ayana tadi ketiduran di kelas, Bu. Pas aku bangunin nggak bangun -bangun. Sekalinya bangun, malah kaget dan jatuh dari kursi. Mana ketimpa kursi dan jadi bahan tertawaan satu kelas lagi,"jelas Wulan menghela napas panjang mengingat insiden yang terjadi pada Ayana tadi pagi.
"Tuh, 'kan, Bu! Bapak bilang juga apa? Jangan masak nasi goreng untuk sarapan anak-anak. Salah satu anak gadis kita jadi korban nasi goreng ibu itu,"ujar Pak Parman menghela napas panjang.
"Maaf, Pak, Ay! Lain kali ibu nggak bakal bikin nasi goreng untuk sarapan kalau nggak pas hari libur,"ujar Bu Lastri merasa bersalah.
"Ibu tidak perlu minta maaf! Ini bukan salah ibu. Aku memang selalu ketiduran saat jam pelajaran biologi, tidak ada hubungan nya dengan sarapan nasi goreng buatan ibu,'sahut Ayana sambil menyengir.
"Benar, Pak, Bu. Ayana memang selalu ketiduran saat jam mata pelajaran biologi,"sahut Wulan membenarkan perkataan Ayana.
"Hah? Masa iya? Kok bisa?"tanya Pak Parman nampak tidak percaya.
"Aku juga nggak tau, Pak,"sahut Ayana menyengir bodoh seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dirinya juga penasaran, kenapa setiap jam pelajaran biologi dirinya selalu tertidur.
"Apa gurunya jelek?"tanya Bu Lastri yang penasaran dengan sosok guru biologi putri mereka. Bisa saja, 'kan, seorang murid malas mengikuti pelajaran karena gurunya jelek. Itulah yang ada di otak Bu Lastri.
"Jangan salah, Bu! Guru biologi kami itu orangnya ganteng, hidungnya mancung, kulitnya putih. Tingginya sekitar 167 centimeter. Tubuhnya proporsional. Orangnya juga ramah dan tidak pemarah,"jelas Wulan panjang lebar.
"Wah, sedap di pandang mata teryata. Tapi kenapa Ayana malah ketiduran saat dia mengajar? Apa caranya menerangkan materi pelajaran tidak enak, bertele-tele dan susah dimengerti?"tanya Bu Lastri lagi, masih penasaran dengan penyebab Ayana selalu tertidur di jam mata pelajaran biologi, sedangkan menurut Wulan, gurunya itu sedap di pandang mata.
"Nggak juga, Bu. Cara Pak Buang menjelaskan materi tidak bertele-tele, kok. Penjelasan nya juga mudah dimengerti,"sahut Wulan lagi.
"Eh, siapa nama guru biologi kalian?"tanya Pak Parman nampak tidak yakin dengan pendengarannya tadi.
"Pak Buang, Pak,"sahut Ayana dan Wulan bersamaan.
"Pak Buang? Apa namanya nggak salah?"tanya Pak Parman merasa aneh mendengar nama itu.
"Iya, masa ganteng-ganteng namanya Pak Buang? Aneh gitu di dengar telinga. Jangan-jangan, dulu waktu masih kecil pernah di buang,"asumsi Bu Lastri.
"Emang kayak gitu namanya, Pak, Bu. Dulu kami juga merasa aneh mendengar namanya. Tapi lama-kelamaan kami terbiasa mendengar nama itu,"sahut Wulan.
"Orangnya ganteng dan menyenangkan. Tapi namanya aneh? Masa iya, Ayana selalu tertidur di jam mata pelajaran biologi hanya karena nama gurunya aneh? Tidak mungkin, 'kan?"gumam Bu Lastri masih penasaran.
"Nggak, Bu. Bukan masalah nama. Aku juga nggak ngerti, kenapa setiap Pak Buang mengajar aku selalu mengantuk,"ujar Ayana yang juga merasa bingung dengan dirinya sendiri.
"Ya sudahlah! Tidak usah dipikirkan! Bapak mau mandi dulu. Badan bapak sudah terasa lengket, nih!"ujar Pak Parman seraya bangkit dari duduknya.
"Ya sudah, bapak mandi sana! Bapak sudah mencemari udara, ini. Bau asem!"tukas Bu Lastri.
"Bapak bau asem? Ya enggak lah, Bu! Nggak salah lagi maksudnya,"sahut Pak Parman kemudian terkekeh. Membuat Wulan dan Ayana membuang napas kasar.
"Bapak.. bapak!"ujar Bu Lastri menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan banyak-banyak makan buah rambutan nya! Bapak nggak mau ada yang sakit di rumah ini!"ujar Pak Parman memperingati.
"Iya,"sahut Bu Lastri, Wulan dan Ayana kompak. Sedangkan Pak Parman bergegas menuju ke kamar mandi.
...🌸❤️🌸 ...
.
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 264 Episodes
Comments
Waris panca Kumala
Ini ga ada note knapah nama guru biologinya pak buang...sulit di mengerti soalnya jika tidak memiliki arti :v
2023-07-25
2
KOHAPU
Aku berarti lebih tinggi dari pak buang. Jadi nggak ngerasa pendek 🤭
2023-02-11
4
yesi yuniar
ditempatku jg ada beberapa kok kak orang yg namanya buang 😊
2023-02-08
5