"Sampai di rumah, mari kita bicarakan semuanya baik-baik. Aku akan berusaha menutupi ini semua dari papamu."
Anna melajukan mobilnya untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, ayah Violetta sudah pulang. Lelaki itu tengah bersantai di ruang keluarga seraya menonton berita.
"Dari mana kalian?" tanya Jhonson seraya tersenyum lembut.
"Tadi ... mobil Vio mogok di jalan. Dia memintaku untuk menjemputnya." Anna terpaksa berbohong untuk menutupi kesalahan putrinya itu.
"Ah, baiklah. Cepat mandi, sebentar lagi jam makan malam." Jhonson kembali menatap layar televisi di hadapannya.
Anna dan Vio pun akhirnya naik ke lantai atas. Mereka masuk ke kamar Vio dan menutup pintunya rapat. Anna juga mengunci kamar sang putri, agar tidak ada orang lain yang tiba-tiba masuk.
"Duduklah!" perintah Anna kepada Vio.
Vio pun langsung mendaratkan bokong ke atas ranjang. Perempuan itu mengusap wajah kasar kemudian menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Kepalanya terasa hampir meledak karena memikirkan bayi misterius yang kini mulai tumbuh di rahimnya.
"Mama tanya sekali lagi ... siapa ayah dari bayi itu?"
"Ma! Aku sudah bilang, aku tidak tahu! Aku selalu memegang janjiku kepada ibu! Aku belum pernah melakukan hubungan intim dengan siapa pun termasuk Mathew! Kenapa kalian tidak percaya padaku!"
Vio berteriak frustrasi. Perempuan itu bahkan beberapa kali membenturkan kepala pada dinding. Selain itu Vio juga memukul kepalanya sendiri dengan kepalan jemari.
Melihat sang putri terlihat frustrasi, membuat hati Anna tersayat. Vio si gadis ceria, kini berubah menjadi sosok orang lain. Dia terlihat begitu kalut dan putus asa.
"Vio, tenanglah. Tatap mata Mama!" Anna mendekati Vio, lalu, merangkum wajah mungilnya, serta menatap sang putri sendu.
Vio masih mengeluarkan isak tangis. Matanya yang basah menatap Anna yang mulai berkaca-kaca. Anna mengusap lembut pipi Vio seraya tersenyum lembut.
"Maafkan Mama, Vio. Mama percaya kamu perempuan yang baik. Mama akan bantu kamu. Cepat minum obat yang kuberikan tadi," ucap Anna kemudian melepaskan jemarinya dari pipi sang putri.
Vio pun membuka ritsleting tasnya kemudian mengeluarkan satu strip cytotec dari dalam. Perempuan itu mengambilnya satu butir. Anna menyiapkan segelas air putih untuk Vio.
Tak lama kemudian, Vio memasukkan obat tersebut ke dalam mulutnya. Akan tetapi, ketika hendak meminum air putih, tiba-tiba rasa mual menyerangnya. Sontak Vio berlari ke kamar mandi dan kembali memuntahkan pil tersebut.
"Vio, kamu baik-baik saja?" Anna menyusul Vio ke kamar mandi, kemudian menepuk lembut punggungnya.
Napas Vio masih terengah-engah. Tak ada apa pun yang keluar dari mulutnya. Dia hanya memuntahkan pil yang belum sempat ditelan tersebut.
Setelah rasa mual tersebut reda, Vio kembali menangis histeris. Suara tangis perempuan berusia 23 tahun itu terdengar begitu menyayat. Anna pun segera membawa putrinya ke dalam pelukan.
"Mari coba lagi nanti. Sebaiknya kamu makan dulu, kemudian beristirahat. Ibu akan mencoba cara lain untuk mengeluarkan bayimu secepat mungkin."
Mereka berdua pun akhirnya berganti pakaian, kemudian menyusul Jhonson yang sudah duduk tenang di meja makan. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak ada perbincangan berarti di sana.
Sepanjang makan malam, Vio berusaha memasukkan makanan yang ada di atas piring ke dalam perutnya. Rasa mual kembali hadir hanya karena mencium aroma yang sebenarnya tercium sangat sedap itu. Terlebih lagi, juru masak keluarga itu telah menyiapkan makanan kesukaannya untuk makan malam.
Akan tetapi, hal itu tidak membuat napsu makan Vio bangkit. Rasa mual justru menyerangnya bertubi-tubi. Keringat dingin mulai mengucur membasahi hampir seluruh tubuh Vio.
"Vio, kamu tidak apa-apa? Kamu terlihat pucat," tanya Jhonson santai seraya memasukkan potongan steik sapi ke dalam mulutnya.
"Aku baik-baik saja, Pa."
Baru saja selesai dia menjawab pertanyaan sang ayah, Vio yang sudah tidak tahan dengan rasa mual yang menyerang akhirnya menyerah. Dia langsung berlari ke kamar mandi dekat dapur, kemudian mengeluarkan semua isi perutnya ke dalam kloset. Anna dan Jhonson pun bergegas mengikuti sang putri.
"Ayo bawa dia ke rumah sakit!" seru Jhonson panik karena melihat Vio sudah lemas tak berdaya di atas lantai kamar mandi, dalam posisi bersandar pada dinding.
Anna mengangguk. Jhonson pun menggendong tubuh mungil Vio dan berlari ke arah garasi. Dia segera melajukan mobil secepat mungkin menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, lengan Vio langsung dipasang jarum infus. Dokter menjelaskan bahwa dia mengalami dehidrasi parah karena morning sickness. Semua penjelasan dari dokter membuat Jhonson melongo. Jhonson terduduk di depan IGD seraya menatap Anna yang sedang tertunduk lemas.
"Kamu sudah mengetahui hal ini, Anna?" tanya Jhon dengan suara dingin.
"A-aku juga baru mengetahuinya hari ini, Sayang. Tadi Judith menghubungiku karena Vio mendatangi kliniknya untuk melakukan aborsi." Suara Anna bergetar ketika menjelaskan apa yang telah terjadi hari ini.
"Jadi, kalian bersekongkol untuk menyembunyikan hal ini dariku?" Suara Jhon kini meninggi.
Darah lelaki itu seakan mendidih ketika mengetahui dua wanita yang disayangi hendak menipunya. Dia tak habis pikir dengan sikap Anna dan Vio. Rasa kecewa serta marah bercampur menjadi satu sehingga emosi lelaki itu bergejolak.
"Aku pulang dulu. Jika aku tetap di sini, bisa-bisa menimbulkan kegaduhan di rumah sakit." Jhon beranjak dari kursi, kemudian kembali ke rumah.
Anna menatap punggung sang suami hingga hilang dari pandangan. Dia mengembuskan napas kasar. Tak lama berselang, Anna berdiri dan berjalan ke dalam IGD.
Di dalam ruangan tersebut, Vio terlohat sedikit lebih baik. Akan tetapi, pipinya sudah basah dengan air mata. Meski isak tangis tidak keluar dari bibir Vio, hati Anna sangat teriris mendengar putrinya yang terlihat sangat frustrasi.
"Vio, papamu sudah tahu semuanya. Maaf, Mama tidak mampu menutupi semua ini." Mata Anna kembali basah ketika teringat bagaimana Jhon terlihat begitu kecewa akan sikapnya.
Vio tidak merespons. Dia justru memiringkan tubuh membelakangi Anna yang kini duduk di samping brankar. Anna terus membujuk sang putri agar mau menatapnya.
Anna berusaha menguatkan sang putri. Memberinya beberapa nasehat. Keputusannya yang mendukung Vio untuk borsi mendadak berubah. Sekarang Anna meminta sang putri agar tidak melakukannya.
"Tetap rawat janin itu. Mama rasa, dia memang ditakdirkan untuk hidup. Bukankah kamu sudah melakukan berbagai usaha untuk mengeluarkannya? Semua usahamu gagal, bukan?" Anna berusaha meyakinkan Vio untuk mempertahankan bayi itu.
"Papamu sudah tahu. Mama rasa dia akan melarangmu untuk aborsi. Tapi, sepertinya akan ada hukuman yang diberikan papa untukmu. Semoga dia masih memiliki belas kasihan." Anna menatap nanar punggung Vio yang kembali bergetar karena tangis.
"Mama akan membantumu sebisa mungkin sampai bayi itu lahir. Jika perlu, Mama akan mencari dokter pengganti untuk klinik dan fokus merawatmu selama masa kehamilan hingga melahirkan nanti."
Mendengar ucapan dari sang ibu membuat tangis Vio pecah. Dia kecewa pada kondisinya sekarang. Janin dalam kandungannya, tidak hanya membuat dia berpisah dengan Mathew.
Bahkan ibunya rela meninggalkan bisnis yang telah lama dibangun, demi mendukung Vio. Perempuan itu akhirnya tersentuh dengan ucapan Anna. Dia balik badan, berusaha duduk, lalu memeluk erat tubuh ibu tirinya tersebut.
Keesokan harinya, Vio dan Anna kembali ke rumah. Vio bergegas masuk ke kamar untuk beristirahat. Namun, ketika masuk ke ruangan itu, perempuan itu terbelalak.
"Apa-apaan ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
auliasiamatir
sabar yah vio
2023-02-05
1
auliasiamatir
anak mu hamidun pak
2023-02-05
1