Matheus menangis haru saat Andressa menyelesaikan jahitan di tangan Aldan. Rasanya sungguh melegakan sekali melihat sang putra tidak perlu kehilangan tangannya.
"Aku akan meresepkan obat. Nanti tolong diminum obatnya dan jangan lupa pergi ke klinik Glory untuk membuka jahitannya nanti. Temui aku di klinik, jangan temui tabib lain karena mereka tidak tahu sama sekali soal masalah ini."
Andressa menuliskan resep obat untuk Aldan di sehelai kertas. Matheus mengangguk, dia masih menangis karena Andressa berhasil menyelamatkan putranya.
"Berapa biaya yang harus saya bayar?" tanya Matheus.
"Tidak perlu. Aku hanya ingin kau membuatkan pesananku tadi. Alat itu perlu bagiku untuk mengobati pasien."
Matheus menyeka air matanya. Dia merasa bersalah terhadap apa yang telah dia lakukan kepada Andressa sebelumnya.
"Baiklah, saya akan membuatkan pesanan Anda dan juga maafkan saya karena telah bersikap kurang ajar kepada Anda."
Matheus membungkuk memohon maaf atas kesalahannya. Andressa tidak marah sama sekali, justru dia mewajarkan permintaannya ditolak karena alat medis seperti ini belum ada di dunia tempatnya berada kini.
"Terima kasih. Nanti aku akan ke sini lagi."
Andressa menyerahkan gambar detail alat yang harus dibuat oleh Matheus. Benar-benar hari yang melelahkan bagi Andressa. Sekarang dia hanya perlu menunggu dengan sabar sampai alat medis pesanannya selesai dibuatkan.
"Sepertinya cukup untuk hari ini. Mari beristirahat sebentar karena besok aku harus kembali bekerja di klinik."
Pada keesokan harinya, Andressa berangkat pagi-pagi sekali menuju klinik. Namun, setiba di klinik, Andressa melihat seorang Ibu hamil tengah mengerang kesakitan.
"Di mana para tabib? Kenapa kalian tidak mau melayani kami?!"
Seorang wanita paruh baya yang menemani Ibu hamil tersebut terlihat marah besar kepada para tabib yang menolak kunjungan mereka. Padahal kondisi sang Ibu kala itu sudah mengalami pecah ketuban.
"Nyonya, di sini bukan tempat untuk rakyat jelata. Kami tidak mungkin menerima rakyat jelata melahirkan di klinik kami. Tolong pergilah dan cari klinik lain," ucap Niana.
"Apakah kau tidak tahu siapa kami? Kau—"
"Sudah, Martha. Kau jangan marah-marah lagi. Perutku semakin sakit, sepertinya aku akan segera melahirkan," ujar Junita — sang Ibu hamil.
Martha nama orang yang mendampingi Junita, dia senantiasa menemaninya untuk melahirkan di klinik ini. Akan tetapi, karena Junita tidak membawa uang, alhasil para tabib menolaknya untuk melahirkan di klinik ini.
"Tetapi, Nyonya, ke mana lagi kita akan mencari klinik? Anda tahu sendiri kan kalau hanya klinik ini yang mempunyai reputasi baik di antara para bangsawan. Seandainya saja uang kita tidak dicuri, kita pasti bisa melahirkan di sini."
Martha tampak mengkhawatirkan kondisi sang Nyonya. Dia hanya bisa menahan tangis melihat Junita diperlakukan seperti demikian.
"Niana, lagi-lagi kau ingin membunuh orang!" Andressa datang menghampiri Niana dengan emosi menggebu-gebu.
"Astaga, kenapa kau suka sekali ikut campur? Apa kau pikir klinik ini menerima rakyat jelata?! Dasar kau tak berguna! Kau urus saja Ibu hamil itu sendiri. Aku masih punya banyak pekerjaan lain."
Niana meninggalkan Junita dan Martha begitu saja. Andressa terpaksa meredam sejenak emosinya lalu mencoba berbicara dengan mereka berdua.
"Mohon maaf, Nyonya. Saya juga seorang tabib, saya akan membantu Anda melahirkan, tetapi sebelum itu kita harus mencari tempat kosong terlebih dahulu," tutur Andressa.
"Benarkah Anda akan membantu kami, Nona? Tetapi, kami tidak membawa uang," kata Martha, ia takut Andressa menolak membantu Junita sama seperti tabib sebelumnya.
"Tidak masalah. Kalian tidak perlu membayar saya, yang terpenting Nyonya bisa melahirkan dengan selamat. Tolong bantu saya membawa Nyonya ke penginapan terdekat di sebelah sana."
Andressa dan Matha memapah Junita ke sebuah penginapan. Untung saja pihak penginapan mengizinkan Andressa untuk menyewa sampai proses melahirkan selesai.
Kemudian Andressa membaringkan Junita di atas tempat tidur.
"Bisakah tolong ambilkan handuk dan air hangat? Aku segera memulai persalinannya."
Matha mengangguk, ia langsung turun membawakan seember air hangat dan juga handuk.
"Nona, anak saya pasti bisa selamat kan?" tanya Junita terengah-engah.
"Iya, Nyonya. Saya pastikan anak Anda bisa terlahir dengan selamat. Anda hanya perlu mengikuti arahan dari saya."
Junita bersusah payah melahirkan sang buah hati. Dia menahan rasa sakit yang seolah-olah mengoyak tubuhnya. Nyawanya berada di antara ambang kematian. Meski begitu, dia tidak sabar melihat wajah bayinya.
Hingga beberapa menit berselang, suara tangisan bayi menghiasi ruang kamar penginapan. Rasa sakit yang dirasakan Junita barusan mendadak menghilang ketika mendengar suara bayinya.
"Selamat, Nyonya. Putra Anda terlahir dengan sehat dan sempurna. Silakan Anda lihat wajah putra Anda. Dia sangat tampan, mungkinkah ketampanannya menurun dari suami Anda?"
Junita hanya tersenyum lega sembari memperhatikan wajah putranya dari dekat.
"Benar, suamiku sangat tampan persis seperti putraku. Terima kasih, Nona ... seandainya saja Anda tidak datang membantu saya tadi, mungkin anak ini takkan selamat," lirih Junita berlinang air mata.
"Jangan terlalu disesali, sekarang yang terpenting anak Anda selamat dan terlahir dengan sehat. Untuk sekarang tolong fokus saja terhadap pemulihan diri Anda, Nyonya."
Martha yang berdiri di samping ranjang Junita sangat terharu melihat Junita berhasil melahirkan anaknya. Mereka tidak tahu lagi harus berterima kasih seperti apa kepada Andressa.
"Nyonya, saya sudah menghubungi Marquess. Mungkin nati Marquess akan datang kemari," bisik Martha.
"Ya sudah. Kerja bagus, Martha. Sekarang kita tunggu Tuan datang untuk membicarakan imbalan seperti apa yang pantas kita berikan kepada Nona Andressa."
Tidak lama kemudian, seorang pria tiba-tiba datang menerobos masuk kamar.
"Junita! Bagaimana ini bisa terjadi padamu?"
Pria itu adalah Marquess Gael Gencio, salah seorang bangsawan terpandang di Kekaisaran Emilian. Siapa sangka kalau ternyata Junita adalah seorang Marchioness.
"Gael, akhirnya kau datang juga. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan sekarang. Lihat ini putra kita sudah lahir."
Timbul rasa bersalah mendalam di hati Marquess Gencio. Dia membiarkan sang istri pergi sendirian ke klinik untuk melahirkan. Lalu dia mendapat kabar kalau Junita diperlakukan tak beradab oleh para tabib di klinik Glory.
"Iya, aku tidak perlu khawatir sekarang. Oh iya, siapa tabib yang membantumu melahirkan? Apakah dia masih ada di sini?" tanya Marquess Gencio.
"Dia sudah kembali ke klinik Glory. Namanya Nona Andressa, kita harus menemuinya lagi nanti. Kalau bukan karena dia, mungkin aku dan bayiku sudah mati. Dia tabib yang baik, jadi tolong persiapkan hadiah besar untuknya."
"Baiklah. Nanti aku akan persiapkan hadiah untuk penyelamat kita. Kau sekarang istirahatlah terlebih dahulu. Nanti kita akan pulang ke mansion. Ayah dan Ibu juga tidak sabar ingin bertemu putra kita," pungkas Marquess Gencio diangguki Junita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 358 Episodes
Comments
Singgih Sunaryo
dasar klinik glory mata duitan
2024-01-15
1