Chris merasa tertantang oleh kepercayaan diri Andressa. Dia percaya bahwa Andressa tidak mungkin bisa melakukan hal yang menurutnya mustahil. Terlebih lagi, jika terjadi sesuatu yang buruk, maka Andressa akan terkena teguran dari pihak klinik atau bisa saja dia dipecat jadi tabib.
Hanya saja, Andressa tahu resiko seperti apa yang akan dia dapatkan ketika dirinya salah. Namun, dia tetap percaya bahwasanya kemampuan tangannya takkan pernah salah. Apalagi Andressa telah ratusan tahun hidup sebagai tabib, Dokter, dan healer.
"Baiklah, mari kita taruhan. Apabila tidak terbukti teknik operasimu itu berhasil, maka kau yang harus bersujud dan mencium kakiku," ujar Chris.
Andressa menyeringai seraya mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Ya, mari lakukan seperti itu. Aku harap kau tidak menyesal mengiyakan taruhan ini."
Chris menerima jabatan tangan Andressa.
"Seharusnya yang berkata seperti itu padamu."
Selepas itu, mereka menyudahi pertemuan tersebut. Chris membawa seluruh tabib bersamanya untuk kembali lagi ke klinik. Sedangkan Andressa melanjutkan pekerjaannya untuk memeriksa para kesatria yang menderita luka ringan.
Seusai pekerjaannya selesai, Andressa kembali pulang ke rumahnya. Dia merebahkan badan sejenak sembari berpikir panjang soal keanehan yang baru saja dia alami.
"Kenapa bisa ada mana di sini? Bukankah ini adalah dunia tanpa sihir? Aku tidak bisa memikirkannya dengan baik."
Andressa bangkit dari tempat tidur. Tidak ada yang bisa dia lihat di rumah itu selain dapur kecil, kamar mandi, serta kamar tidur.
"Mana hijau, ini adalah mana khusus untuk para healer. Aku tidak tahu alasannya mengapa bisa ada mana, hanya saja ini sedikit membantuku dalam melakukan operasi serta mendeteksi penyakit pasien."
Andressa menghela napas panjang. Kepalanya berdenyut memikirkan hal yang terus menerus menjadi keanehan.
"Ya sudah, sekarang aku harus membuat beberapa alat medis. Pada akhirnya, aku harus menjadi seorang Dokter, bukan seorang tabib."
Gadis itu meraih kertas kosong dan sebilah pulpen. Dia menuliskan beberapa alat medis yang dia perlukan ke depannya untuk mengobati pasien.
"Stetoskop, gunting bedah, scalpel, dan pinset. Aku rasa cukup segini dulu aku buat. Sekarang aku harus pergi ke penempa."
Tidak lupa pula Andressa membuat rincian gambar dari alat-alat yang dia butuhkan. Sesudahnya, Andressa langsung pergi ke tempat penempa senjata. Hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa dia andalkan membuat alat-alat medis.
"Permisi, apakah ada orang di sini?"
Andressa masuk ke dalam sebuah tempat yang dipenuhi dengan aroma senjata. Udara di sana juga sedikit panas dan diselimuti suara berisik dari para penempa yang menciptakan sebuah senjata tajam. Kebanyakan dari senjata yang mereka buat ialah pedang, belati, serta tombak.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" Seorang pria paruh baya menghampiri Andressa. Pria itu adalah Matheus, pemilik dari tempat penempa senjata ini.
"Aku ingin memesan beberapa alat. Bisakah kau membuatkan yang serupa dengan gambar ini?"
Andressa menyerahkan kertas dengan gambar alat yang dia inginkan. Matheus mengamati cukup lama gambar tersebut.
"Apakah Anda yakin menyuruh saya membuatkan alat seperti ini? Bentuknya kecil dan detail. Memangnya Anda gunakan untuk apa alat ini?"
Matheus menatap tajam Andressa. Gadis itu tampak keheranan dengan ekspresi Matheus.
"Untuk mengobati pasien. Aku membutuhkannya karena aku seorang tabib. Tolong buatkan, aku akan membayar berapa pun itu jumlahnya," ujar Andressa.
"Nona, apakah Anda bisa membodohi saya? Tidak ada tabib yang menggunakan alat seperti ini. Maafkan saya, saya tidak bisa membuatkan alat yang tidak jelas kegunaannya ini."
Matheus menolak permintaan Andressa. Cukup mengecewakan karena gadis itu sangat memerlukan alat medis ini secepat mungkin. Namun, apa daya, Matheus enggan membuatkan sesuatu yang tidak dia ketahui kegunaannya.
'Apakah dia serius menolak permintaanku? Sialan! Aku harus cari penempa ke mana lagi? Aku tidak mau pergi terlalu jauh dari wilayah kediamanku,' batin Andressa.
Kala Andressa hendak berbalik badan, seketika dia terkejut mendengar suara jeritan seseorang dari dalam ruang para penempa bekerja. Salah seorang pekerja berlarian ke luar menemui Matheus.
"Tuan, gawat! Tangan Aldan terkena mesin pengasah!"
Matheus syok, Aldan adalah anaknya yang ikut bekerja bersamanya di toko penempa senjata ini. Dia langsung berlarian masuk untuk melihat kondisi sang putra.
"Aldan!"
Betapa terkejutnya Matheus ketika melihat tangan Aldan bersimbah darah dan terluka parah. Terdapat luka sepanjang satu jengkal melintang di tangan Aldan. Kondisi lukanya benar-benar mengerikan.
"Ayah ...." Aldan berusaha menahan rasa sakit yang mencabik-cabik tangan hingga membuat sekujur badan nyaris kehilangan kesadaran.
"Apa yang harus aku lakukan? Lukanya seperti ini, tidak mungkin para tabib dapat memulihkannya."
Matheus panik bukan main, dia kehilangan kewarasan sesaat menyaksikan Aldan tak lagi berdaya.
"Bolehkah aku memeriksanya?"
Semua orang di sana terkejut ketika Andressa tiba-tiba sudah berada di belakang mereka.
"Anda bilang Anda tabib kan? Tolong periksa anak saya," pinta Matheus disertai ekspresi memohon pertolongan Andressa.
"Baiklah, aku akan memeriksanya. Bawa dia ke atas ranjang terlebih dahulu biar aku lihat seberapa dalam lukanya."
Matheus langsung menggotong putranya ke atas tempat tidur. Andressa mengecek dalam luka Aldan. Ternyata lukanya memang sangat dalam dan tulangnya nyaris terlihat.
"Apakah anak saya bisa disembuhkan? Tangannya tidak perlu dipotong kan?" Matheus tidak bisa menunggu Andressa memeriksa Aldan lebih lama lagi.
"Tenang saja. Aku bisa menyembuhkannya, bahkan lukanya yang ternganga ini bisa aku pulihkan kembali. Namun, prosesnya akan sedikit sakit. Apa anakmu bisa menahannya?"
Aldan mengangguk lemah di sela kesadaran yang sangat tipis.
"Saya akan menahannya, tolong sembuhkan saya."
Andressa langsung mengeluarkan jarum untuk menjahit luka Aldan.
"Apa yang Anda lakukan dengan jarum dan benang itu?" tanya Matheus.
"Aku akan menjahit lukanya."
"Menjahit? Tidak masuk akal! Tidak mungkin kulit manusia bisa dijahit seperti kain."
Andressa menghela napas panjang lalu menoleh ke arah Matheus.
"Lalu apakah kau mau membiarkan anakmu hidup tanpa tangan? Jika kau sanggup menyaksikan hidup anakmu menderita, maka silakan kau pergi ke tabib lain dan aku yakin para tabib langsung mengamputasi tangan anakmu," tekan Andressa.
Matheus tak mampu membayangkan hidup putranya hancur karena masalah ini. Pada akhirnya, Matheus pun memutuskan untuk menyerahkan kesembuhan Aldan kepada Andressa.
"Baiklah, saya serahkan kepada Anda. Tolong sembuhkan putra saya."
Andressa mengangguk. Segera ia menggerakkan tangannya secara cepat. Aldan meringis kesakitan kala jarum itu menyatu di kulitnya. Rasanya seperti terkoyak, tetapi Andressa sangat santai menjahit kedua sisi kulit Aldan yang teriris dan ternganga.
Seluruh mata yang memandang menatap tidak tega terhadap Aldan. Namun, mereka tidak punya pilihan lain selain membiarkan Aldan diobati oleh Andressa.
"Sudah selesai. Tanganmu tidak perlu diamputasi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 358 Episodes
Comments
komentar terbaik
itu kenapa pasiennya waktu dijahit, ngga disuruh gigit kain gitu, biar aman, daripada teriak-teriak, nanti lidahnya bisa kegigit
2024-04-28
0
@ꪶꫝ༄©h€®®¥༄💕🇵🇸
huhhhj, deg deg degan
2023-07-15
2