"Apakah nanti Papa akan menjemput aku?" Tanya Alice saat dalam perjalanan menuju ke sekolahnya.
"Aku tak tahu." Jawab Kevin sambil menengok ke bangku belakang, tempat di mana Alice duduk.
Gadis kecil itu terdiam sejenak saat mendengar jawaban Kevin.
Kevin menjadi merasa bersalah, dia tak tega melihat raut sedih yang tergambar di wajah gadis kecil itu.
Meski, Kevin masih belum yakin bahwa gadis kecil itu adalah putrinya. Namun, dia bukanlah sosok lelaki yang tega melihat anak kecil terlihat sedih, apalagi mendengar rengekan dan tangis anak kecil, Kevin tak kan tahan menghadapi itu.
"Baiklah. Pukul tiga, bukan?" Ucap Kevin sambil tersenyum menatap Alice.
"Yey... Hore... Terima kasih, Papa!" Alice bersorak girang, sambil memeluk lengan Kevin dan mencium pipinya.
Seketika Kevin terkejut dengan perlakuan gadis kecil itu.
Ada rasa hangat mengalir dalam dadanya. Ia tak bisa menjelaskan dengan kata kata perasaan itu. Untuk sesaat ada rasa bahagia terpancar di wajahnya.
Joe tersenyum melihat kejadian itu. Itu pertama kali interaksi secara dekat dengan anak kecil yang dilakukan oleh Kevin.
Dia sangat paham dengan atasannya ini. Joe merupakan sahabat, sejak kecil, menjadi teman sekolah, hingga kuliah, meski mengambil jurusan yang berbeda, mereka tetap sering bertemu. Hingga Kevin menawarkan pekerjaan menjadi asistennya. Karena malas mencari orang untuk menjadi kepercayaannya.
Joe tahu, Kevin tidak terlalu menyukai anak anak, apalagi dengan tingkah polah mereka.
Kevin pernah menghadiri acara pameran teknologi untuk sekolah dasar, di sana Kevin hanya berbicara sebentar untuk menjelaskan produk yang sedang dipamerkan itu, lalu pada sesi tanya jawab, dia hanya membatasi tiga pertanyaan, setelah itu dia pergi dengan alasan ada kegiatan lain, padahal sebenarnya dia tidak tahan dengan keriuhan yang dibuat oleh anak anak.
Joe memarkir mobil tepat di pintu masuk, Alice mengambil tas ranselnya yang ada di jok, lalu menaruh di punggungnya.
"Sampai jumpa lagi nanti, Pa. Terima kasih Om Joe, bye!" Alice membuka pintu, lalu melambaikan tangan pada Kevin dan Joe.
Joe melajukan kembali mobil, menuju ke kantor, setelah itu.
"Aku tak yakin dia putriku!" Ucap Kevin saat dalam perjalanan.
Joe hanya tersenyum mendengarnya.
"Bagaimana bisa, selama tujuh tahun, ibunya tidak mencariku untuk meminta pertanggungjawaban? Atau ibunya bukan wanita baik baik, yang sering gonta-ganti pasangan, sehingga dia pun tak yakin itu anakku. Lalu saat sedang mengalami kesulitan ekonomi, menyuruh anaknya untuk datang padaku." Gumam Kevin.
"Joe, apakah kamu ingat dengan wanita dalam foto itu?" Kevin menoleh ke arah Joe.
Joe yang sedang fokus menyetir hanya melirik saja.
"Marry?"
"Ya, mungkin itu namanya. Ibu dari Alice? Apa kamu mengingatnya?" Tanya Kevin lagi.
Joe menghela napas panjang, sambil berusaha mengingat kembali.
"Sepertinya itu foto diambil saat kamu berulang tahun ke-25. Saat itu kamu mengadakan pesta di villa milik keluargamu yang di tepi pantai itu. Banyak yang datang di sana. Teman teman kita, gadis gadis. Terutama usai keluargamu pulang, kita benar-benar party di sana. Banyak juga gadis gadis bayaran yang datang untuk menghibur kita saat itu." Joe mencoba mengingat kembali kejadian itu.
"Aku tak ingat dengan rupa dan wajah Marry saat di acaramu waktu itu. Namun, sepertinya aku pernah melihat wajah wanita itu." Lanjut Joe sambil menatap ke arah Kevin yang masih terlihat bingung.
"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Kevin pelan, sambil membalas tatapan Joe.
Joe hanya menaikkan bahunya, sambil terus fokus mengemudikan mobil.
*
Kevin bekerja seperti biasanya di kantornya. Dengan kesibukan meeting dan beberapa kerjasama dengan perusahaan, atau instansi pemerintahan, pendidikan, bahkan militer.
Usai meeting dia menghabiskan waktunya dengan duduk melamun di kursi kerjanya yang empuk, menatap gedung pencakar langit lain di depannya lewat jendela ruangannya, sambil memainkan pena.
"Marry? Tujuh tahun yang lalu saat ulang tahunku ke-25. Hmmm mengapa aku sama sekali tidak ingat? Apa aku terlalu banyak minum malam itu? Lalu dia bisa berfoto denganku, dan aku merangkulnya! Mengapa bisa bisanya aku tidak ingat? Arrgggh!!" Kevin meletakkan pena dan mengusap wajah dengan tangannya.
Kevin berdiri, mendekati jendela. Menatap ke arah luar, menerawang.
Cek lek!
"Bos!" Panggil Joe. Tak ada respon dari Kevin, yang masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil menatap ke arah luar.
"Bos! Kevin!" Kali ini Joe mengeraskan volume suaranya, dan sukses membuat Kevin tersadar.
"Oh, ya. Ada apa?" Tanya Kevin, lalu menatap Joe.
"Barusan ibumu menghubungi, mengajak makan siang bersama. Apakah bisa? Karena katanya dia telah menghubungimu, namun, tak ada respon sama sekali. Dia pikir kamu sedang sibuk. Makanya dia menghubungiku." Ucap Joe.
"Apa jadwalku siang ini?" Tanya Kevin.
Joe mengutak-atik tab yang dibawanya.
"Jam dua, meeting bersama perwakilan universitas Stanford untuk membahas beberapa penerapan teknologi di universitas itu." Ucap Joe menatap Kevin.
"Kamu bisa makan siang bersama keluarga, siang ini." Joe memberi saran.
Kevin menghela napas sejenak.
"Baiklah. Mari kita pergi makan siang!" Kevin mengambil jas yang ia letakkan pada kursi kerjanya, mengenakan, lalu mengambil ponselnya dan menatapnya.
Rupanya ada tiga panggilan tak terjawab dari ibunya.
Joe menyetir, membawa Kevin ke restoran yang berada di sebuah hotel milik keluarga Mars. Restoran berbintang, memiliki penghargaan sebagai restoran dengan pelayanan terbaik dan chef yang handal, dengan menu yang lezat. Pelanggannya adalah para pesohor, pejabat, sosialita, artis, dan kebanyakan orang kaya. Untuk hotelnya, merupakan hotel berbintang kelas dunia, dengan fasilitas yang bukan kaleng kaleng.
Vicky Mars, ibu Kevin tersenyum lebar saat melihat putranya datang menuju ke arah ruangan khusus yang memang hanya untuk keluarga. Bukan untuk tamu atau pelanggan restoran.
Vicky Mars menyambut kedatangan Kevin, memeluk dan mencium putranya dengan sayang.
"Apa kabarmu? Hampir sebulan kita tidak bertemu." Ucap Vicky, sambil menggandeng putranya, dan mengajaknya untuk masuk ke ruangan.
"Aku baik baik saja, Mam." Sahut Kevin sambil tersenyum.
Kevin memeluk Papanya, lalu dia memeluk kakak perempuan juga yang ikut makan siang bersama.
Joe mengambil tempat bersama keluarga Mars juga, setelah mereka semua duduk di meja makan.
"Mengapa kamu tidak menjawab panggilan Mama?" Tanya Vicky sambil menatap Kevin.
"Aku tidak tahu, Mama menghubungi. Ponselku aku letakkan di laci."
"Untung, mama menghubungi Joe. Kamu memang asisten yang baik." Puji Vicky. Joe tersenyum.
"Terima kasih, Nyonya." Sahut Joe, sambil mengangguk dengan hormat.
"Aku dengar perusahaanmu mendapat proyek besar dari beberapa perusahaan besar." Sela Tuan Morgan kemudian.
"Ya. Beberapa hasil pengembangan teknologi, untuk memudahkan pekerjaan pabrik, ternyata dilirik oleh perusahaan di negara berkembang. Bahkan beberapa negara yang membuka cabang di negara berkembang, akhirnya memboyong teknologi itu untuk dipasang di sana." Kevin mulai menceritakan tentang kesibukannya.
Tuan Morgan tersenyum dengan bangga menatap putranya.
"Apa kabarmu, Kak?" Tanya Kevin, menatap Emily, kakaknya.
"Emily ini juga hampir sama denganmu. Mulai susah dihubungi sekarang. Alasannya sama, sibuk! Jika tidak mama datang ke rumah sakit, mungkin dia tidak akan menjawab panggilan Mama." Sela Vicky sambil mendengus kesal, sebelum Emily menjawab pertanyaan Kevin.
"Mama ke rumah sakit?" Tanya Kevin heran.
"Papamu mengeluh sesak tadi pagi, makanya Mama langsung memeriksakan kondisi papa kalian ke rumah sakit. Untung bertemu dengan Emily, dan dia sedang tidak sibuk." Jawab Vicky.
"Papa jangan terlalu sibuk dan capek. Harus banyak istirahat." Ucap Emily sambil mengelus punggung tangan papanya.
"Kapan kalian berdua akan mengenalkan pasangan kalian pada Papa dan Mama?" Tanya Tuan Morgan tiba tiba, yang sontak membuat Emily dan Kevin hanya saling berpandangan.
"Uhuk..uhuk..!" Joe tersedak juga saat mendengar pertanyaan Tuan Morgan pada anak anaknya.
"Jika Joe sampai tersedak, pasti ada yang kalian sembunyikam dari kami!" Vicky menatap Joe, Kevin, dan Emily bergantian dengan tatapan penuh selidik.
"Joe tahu apa tentangku! Dia tidak bekerja denganku." Celetuk Emily.
Joe hanya mengangguk, setuju dengan Emily.
"Aku sibuk dengan proyek pekerjaan. Tak ada waktu untuk memikirkan perempuan." Sahut Kevin.
"Lalu Brenda?" Cecar Vicky.
Kevin terkekeh mendengar pertanyaan ibunya.
"Kami hanya bersenang-senang, Mam. Tak usah terlalu dipikirkan. Lagian Mama pasti tidak suka dengan kehidupan artis seperti Brenda." Sahut Kevin.
"Makanya, carilah pasangan yang baik. Jika artis atau model, cari yang tidak banyak sensasi. Kamu bisa gunakan teknologi yang kamu miliki untuk mencari tahu masa lalu setiap wanita untuk calon pasanganmu." Ujar Emily sambil bergurau pada Kevin.
"Nah..!" Kevin menatap kakaknya sambil menunjuk ke arah Emily.
"Teknologi untuk mencari tahu orang lain. Hampir mirip seperti data base yang ada di kepolisian dan militer. Menarik! Ide baru yang pasti bakal laris." Gumam Kevin.
Joe terkekeh mendengar Kevin. Lalu mereka sekeluarga ikut tertawa. Mereka menikmati makan siang dengan mengobrol penuh kehangatan.
Keluarga Mars adalah keluarga kaya, namun penuh dengan kehangatan. Mereka juga memiliki badan amal. Untuk di rumah sakit, mereka ada badan sosial, membantu anak anak dengan penyakit langka atau kanker yang tidak mampu.
Emily juga mempunyai rumah sakit khusus anak-anak untuk penyakit khusus. Dan laboratorium yang meneliti penyakit, proses penyembuhan, dan perawatan.
Hingga hampir pukul dua siang, Joe mengingatkan Kevin untuk segera kembali ke kantor, karena ada meeting.
Lalu mereka pun mengakhiri makan siang bersama mereka dan kembali ke aktivitas masing masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Defi
Apa Joe ada hubungan dengan Emily 🤭
2023-08-13
0
Defi
tes DNA rebes eh beres kan Kev
2023-08-13
0
LISA
Bagus jg nih ceritanya
2023-02-10
0