Alya yang sadar Dimas telah pergi, gegas mengejarnya. "Mas, tolong tambahkan seratus lima puluh juta lagi!" mohonnya.
Dimas tak menoleh malah terus berjalan.
"Saya butuh uang yang sangat besar, tolong tambahkan sedikit saja!" Alya mengejar hingga ke pintu ruangan Dimas.
Lala yang sadar Alya mengejar atasannya sekaligus pria incarannya menarik tangan wanita itu secara kasar hingga terjatuh.
"Auww!" pekik Alya.
Dimas berhenti lalu menoleh ke belakang, matanya tertuju pada Alya yang sudah terduduk di lantai.
"Anda tidak bisa memasuki ruangan kerja atasan kami!" Lala memarahi Alya.
"Saya hanya ingin berbicara padanya," ucapnya lalu berdiri.
"Silahkan berbicara kepada karyawan kami yang lainnya," ucap Lala.
"Saya ingin nego harga lagi," ujar Alya.
"Keputusan saya tetap bulat, jika kamu mau perusahaan kami hanya mampu membeli dengan harga segitu," ucap Dimas.
Alya menarik nafasnya lalu berkata, "Baiklah saya mau menjualnya dengan harga segitu."
"Lala, arahkan dia kepada Laras," titah Dimas.
"Baik, Pak."
Dimas menutup pintu ruangannya kerjanya.
"Mari ikut saya!" ketusnya.
Alya mengikuti Lala.
-
Tak sampai 30 menit, Alya keluar dari showroom berjalan ke parkiran mobilnya memandangi kendaraan itu lalu mengelus bagian kepala dengan wajah sedih.
"Semoga kamu baik-baik saja dengan pemilikmu yang baru, selamat tinggal!" Alya berbicara dengan mobil lalu mengecupnya.
Karyawan yang berada di dekatnya mengernyitkan dahinya.
Sementara itu, Dimas yang berada di ruangannya lantai atas memasuki kedua tangannya di saku samping celananya memperhatikan sikap yang ditunjukkan Alya dari jendela.
"Dasar aneh!" gumamnya.
Alya melangkah meninggalkan halaman parkir lalu keluar menaiki ojek online.
Ponsel Dimas kembali berdering.
"Halo, Pa."
"Apa Alya telah pulang?"
"Sudah baru saja," jawab Dimas.
"Apa kamu memberikan uang sesuai yang dimintanya?"
"Tidak, Pa. Tapi, dia menerima uang yang ku tawarkan."
"Berapa harga mobil yang kamu beli?"
"Tujuh ratus juta."
"Kenapa murah sekali?"
"Pa, kita lagi jual beli mobil bukan yayasan sosial. Harga mobil bekas memang segitu, jika aku beli dengan harga tinggi kita harus menjual berapa lagi? Aku yakin mobil itu akan menjadi penghuni tetap di showroom milik kita bertahun-tahun."
"Dimas, dia menjual mobil itu untuk biaya kepulangan papanya dari luar negeri," ungkap Ivan.
"Aku tidak peduli, Pa. Penawaran harga yang ku beri cukup tinggi jika dia menjual ke toko lain mungkin dia hanya pulang dengan membawa uang jauh dari harga yang ku beli."
"Dimas, apa salahnya kita membantunya?"
"Pa, ini showroom mobil milikku dan aku yang bertanggung jawab jika papa ingin membantunya silahkan saja."
"Ya sudah Papa tidak akan memprotes tentang harga mobil itu lagi, semoga saja uang itu cukup membantunya," harap Ivan.
"Hemm.."
***
Keesokan harinya....
Malam harinya, kedua anaknya Ivan telah berkumpul. Mereka menikmati makan malam bersama. Tak ada pembicaraan serius sama sekali.
Ivan telah selesai menikmati makan malam masakan sang istri. "Papa tidak jadi ke Amerika."
"Kenapa, Pa?" tanya Mawar.
"Klien ingin melakukan pertemuan di sini, katanya dia belum pernah ke Indonesia," jelas Ivan.
"Oh, begitu," ucap Mawar. "Jadi Papa tak jadi menjenguk Pak Joshi dong?" tanyanya lagi.
"Tidak, Ma. Karena Pak Joshi akan kembali ke tanah air," jawab Ivan.
"Loh, kenapa? Apa sudah sehat?"
"Belum, tapi keluarganya tidak sanggup membiayai pengobatannya di luar negeri jadi mereka memutuskan mengobatinya di sini. Putrinya baru kemarin menjual mobilnya," jelas Ivan.
"Ya ampun," ucap Mawar tak tega.
Dimas hanya mendengar.
"Papa bilang tadi putrinya menjual mobilnya, itu artinya dia menjualnya di showroom Kak Dimas?" tebak Tria.
"Iya," jawab Ivan.
"Bagaimana wajahnya, Kak? Apa dia cantik?" Tria penasaran.
"Biasa saja."
"Aku jadi penasaran wanita yang akan dijodohkan dengan Kak Dimas," celetuk Tria.
"Tidak ada perjodohan," ucap Dimas.
"Papa takkan menjodohkanmu, tenang saja!" ujar Ivan.
-
-
Menjelang tidur Ivan dan istrinya merebahkan tubuhnya di ranjang, ponselnya Ivan berbunyi. Ia bergegas mengangkatnya, "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, Pak Ivan."
"Ada apa, Arsan?"
"Pak Joshi meninggal dunia, Pak. Beberapa menit yang lalu, putrinya mengabari saya," jawab seorang pria sebaya dengan Dimas dari ujung telepon.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun, saya akan ke sana malam ini juga," ucap Ivan menutup teleponnya.
"Siapa yang meninggal, Pa?" tanya Mawar.
Ivan menyibak selimutnya, "Pak Joshi."
"Papa mau ke rumahnya?" tanya Mawar seraya melihat jam dinding menunjukkan pukul 9 malam lewat 30 menit.
"Iya, Ma."
"Mama ikut, Pa!" Mawar bergegas turun dari ranjang.
Keduanya berganti pakaian dan bersiap melayat.
Ivan mengetuk kamar putranya, tak menunggu lama pintu pun terbuka.
"Ada apa, Pa?"
"Temani kami ke rumah temannya Papa," jawab Ivan.
"Mau apa Papa dan Mama malam-malam begini ke sana?"
"Pak Joshi meninggal jadi tolong temani kami melayat," jawab Ivan.
"Hemm, baiklah. Tunggulah sebentar," ucap Dimas.
Tepat jam 10 malam, ketiganya berangkat ke rumah Alya. Begitu sampai, gadis itu duduk di samping tubuh papanya meratapi kepergiannya.
Mawar mendekati Alya dan memeluknya, memberikan kata-kata menghibur hati.
Sementara Dimas duduk tak jauh dari keduanya, ia memandangi gadis itu yang tampak begitu menyedihkan.
Meskipun ia membenci perjodohan namun dirinya merasa kasihan dengan Alya yang harus kehilangan kedua orang tuanya.
Mama Alya lebih dahulu pergi setahun lalu karena sakit dan kini papanya juga menyusul.
Dimas duduk bersebelahan dengan papanya mendengarkan cerita tentang keluarga Pak Joshi dari rekan sejawat Ivan.
Pukul 12 malam, ketiganya meninggalkan kediaman rumah Alya.
Diperjalanan pulang, Ivan berkata, "Besok pagi kamu mau ikut kami kembali ke rumah Alya?"
"Tidak, Pa."
"Ya sudah, biar kami dengan Pak Yo," ucap Ivan.
****
Keesokan paginya selepas sarapan, Ivan dan istrinya kembali pergi ke rumah orang tuanya Alya.
"Sepertinya Papa sangat akrab dengan Pak Joshi," ujar Tria.
"Ya, mereka pernah satu kampus," jelas Dimas.
"Oh, begitu."
"Oh, ya Kak. Tadi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan papa dan mama, katanya kamu akan dipaksa menikah dengan gadis itu," ucap Tria.
"Jangan memberikan berita yang tidak jelas begitu."
"Kak, aku dengar. Kita lihat saja nanti, pasti Kak Dimas akan dipaksa menikah," ucap Tria.
"Sampai kapanpun Kakak tidak akan menerima wanita itu!" Dimas mengakhiri sarapannya lalu berangkat kerja.
Sementara itu, Alya masih terus menangis disamping papanya.
Ivan dan istrinya telah tiba di kediaman keluarga Alya.
Pukul 10 pagi, mereka berangkat ke tempat pemakaman. Lagi-lagi Alya kembali menangis ditumpukkan tanah bertabur bunga-bunga.
"Papa, dengan siapa nanti aku tinggal?" tangisnya.
Beberapa teman perempuan dari kedua orang tuanya, memeluk belakang tubuh Alya menguatkannya.
"Alya, kamu boleh tinggal di rumah kami," bisik Mawar ditelinganya.
-
Alya dan beberapa keluarganya telah kembali ke rumah orang tuanya.
Begitu sampai rumahnya, beberapa keluarga dari pihak papanya mengajak Alya duduk bersama-sama di ruang tamu.
"Papa kamu 'kan sudah pergi, kami harap kamu segera angkat kaki dari sini!" ucap wanita merupakan adik angkat dari Joshi yang pertama.
"Tante tidak salah, ini 'kan rumah milik kedua orang tuaku," ujar Alya.
"Memang iya, tapi rumah ini sebagai jaminan karena kedua orang tua kamu memiliki utang kepada Tante sebesar lima ratus juta," ucapnya lagi.
"Aku akan membayarnya, Tante."
"Kamu mau bayar pakai apa? Gaji kamu sebagai karyawan di perusahaan itu sangat kecil, mobilmu juga telah dijual."
"Ya, aku akan mencari caranya," ucap Alya.
"Kamu mau menjual diri?" Adik perempuan angkat Joshi yang kedua ikut merendahkannya.
"Astaghfirullah, walau miskin aku tidak akan menjual diri demi sesuap nasi," ucap Alya.
"Kami akan menjual rumah ini," ujar adik angkat Joshi pertama.
"Dan sisanya kamu tidak perlu takut, kami akan memberikannya kepadamu!" timpal yang lainnya.
"Lalu aku harus tinggal di mana?" tanya Alya masih dengan mata sembab.
"Itu bukan urusan kami!" jawab adik angkat Joshi kedua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Kinay naluw
cuma adik angkat aja sok kuasa.
2023-02-25
1