04

Damar yang baru selesai mandi, sedang menatap tubuhnya di depan cermin besar, dia hanya mengenakan handuk yang menutupi bagian bawahnya saja. Dari pantulan cermin, menampilkan bentuk tubuhnya yang bidang, namun ada beberapa bekas luka masa lalu yang selalu saja membuat dia ingat akan perlakuan Ibunya. Walau menjadi seorang model, Damar tidak peduli orang lain mengetahui tentang bekas lukanya. Tapi tentang dari mana luka itu Damar dapatkan, hal itu menjadi rahasia Damar.

Saat sedang fokus pada pantulan dirinya di cermin. Ponselnya kembali berdering, entah sudah ke berapa kalinya ponsel Damar berbunyi dari orang yang sama, orang tersebut terus saja coba menghubungi Damar karena Damar tidak menghiraukannya. Padahal orang yang sedang harap-harap cemas menunggu Damar datang itu sudah hampir gila karena tingkah Damar.

"Ada apa?" tanya Damar ketika dia menggeser tombol hijau di layar ponselnya.

"Kau sedang di mana? Ha!!" Bentak orang yang begitu pusing menunggu Damar yang sudah telat 2 jam dari janji temu dengan klien, orang itu siapa lagi kalau bukan Rio.

"Kecilkan suaramu. Kau membuat telingaku sakit. Apa kau itu tidak bisa bersabar," jawab Damar dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Bagaimana aku bisa sabar jika kau tidak juga datang," sahut Rio. Dia begitu kesal dengan sikap Damar yang harusnya segera menemui Rio, namun Damar tak kunjung datang.

"Aku akan datang atau kau mau aku tidak datang jika kau terus mengganggu ketentraman diriku?" tanya Damar. Dari caranya menjawab, Damar tahu jika apa yang dikatakan itu tidak akan Rio setujui.

"Tidak! Jangan! Kau harus datang. Ini acara penting. Aku bisa dibunuh banyak orang jika kau tidak datang." Rio berharap Damar segera datang.

"Aku malas jika kau terus saja menekanku," ucap Damar dengan santai walau dia merasa kesal dengan Rio yang sejak tadi mencoba membuatnya pergi.

"Oke, maafkan aku. Sekarang bisakah Anda datang, Tuan Damarlangit yang tampan?" tanya Rio dengan begitu lembut. Dia tidak bisa membuat Damar berubah pikiran dengan tidak datang. Karena karir Rio juga di pertaruhkan.

Tanpa menjawab, Damar dengan tidak sopan mematikan panggilan suara dari Rio yang sudah hampir gila karena tingkah Damar yang tidak kunjung datang saat ada acara penting.

Setelah selesai bersiap, Damar segera melajukan mobil sportnya meninggalkan rumah megahnya ke tempat di mana acara akan dimulai. Dengan kacamata yang ada di hidungnya, Damar terlihat begitu tampan. Tidak aneh jika dia menjadi seorang model terkenal. Bakat yang dimiliki Damar menuntunnya menjadi sekarang ini. Meski ada luka dalam hatinya, dia tetap melakukan apa yang sebenarnya bukan keinginannya.

Dalam perjalanan ke tempat tujuannya. Ponsel Damar kembali berdering. Awalnya dia enggan untuk menjawab nya, karena dia pikir yang menghubunginya Rio. Namun, Damar salah. Itu Sarita, Ibu Damar.

Damar menarik nafas panjang sebelum menjawab telepon dari ibunya. Hal yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang, tangan yang mulai berkeringat karena panik, dan nafas yang berat. Hal yang selalu saja Damar rasakan saat Sarita bicara padanya.

Damar memilih menepikan mobilnya sebelum menjawab telepon dari ibunya.

"Ada apa?" tanya Damar ketika dia menjawab telepon dari Ibunya. Walau sangat enggan untuk menjawab, namun dia masih saja menjawab telepon dari Ibunya.

"Kau sudah kirimkan uang yang Ibu minta?" Bukannya menanyakan kabar karena lama tidak bertemu, tanpa basa-basi Sarita langsung menanyakan tentang uang pada Damar.

"Aku sudah kirimkan 2 hari yang lalu. Apa itu tidak cukup untukmu?" tanya Damar. Dia harus tenang meladeni Ibunya yang selalu meminta uang padanya. Akan percuma juga jika Damar membantah apa yang Ibunya katakan.

"Uang kemarin sudah habis dan aku butuh uang lagi sekarang. Kau harus kirimkan uang lagi, jika tidak aku akan meminta pada Papamu itu," ucap Sarita. Selalu saja Brata menjadi ancaman untuk Damar. Sebenarnya tidak masalah untuk Brata, tapi Damar malu jika terus saja Sarita meminta uang kepadanya dengan mengatasnamakan Damar.

Sudah baik Brata mengangkat Damar menjadi putranya. Tidak tahu diri, jika Damar akan terus menyusahkan Brata yang begitu baik padanya. Apalagi yang orang lain tahu, Damar memang putra tunggal dari Brata Sumarno, seorang PD terkenal dan pengusaha dibalik layar. Pemilik PH dan juga pemilik sekolah modeling. Siapa yang tidak mengenal Brata Sumarno. Banyak orang yang mengenalnya. Damar beruntung Brata sudah membantunya. Haruskah Sarita terus memeras nya untuk memenuhi kepuasannya.

"Jangan harap Ibu memintanya lagi pada Papa. Ibu harusnya malu, karena beliau, aku bisa seperti ini. Haruskah–"

"Kau membantah Ibu? Ingat, kau seperti ini juga karenaku. Kau harus membalas kebaikanku ini," ucap Sarita. Dia bahkan memotong ucapan Damar yang ingin menjelaskan jika Sarita harusnya tidak selalu meminta uang pada Brata.

"Ibu tidak mau tahu. Kirimkan uang 50 juta sekarang juga. Aku tunggu sampai siang ini. Jika tidak, aku akan meminta pada Brata." Ancaman Sarita selalu membuat Damar tidak bisa berkutik.

Dengan tangan yang menggenggam erat kemudi, Damar melampiaskan emosinya. Melempar asal ponselnya setelah sambungan telepon dari ibunya dimatikan.

"Akh!" teriak Damar. Tangannya bergetar, tekanan demi tekanan selalu Sarita berikan pada Damar. Dan Sarita seperti tidak punya hati, dia tidak peduli Psikis putranya terganggu karena ancaman demi ancaman yang dilakukan.

Walau dengan perasaan yang tidak enak, Damar melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi ke tempat tujuan. Dia coba untuk tidak peduli dengan apa yang Sarita katakan, dia hanya ingin melawan traumanya.

***

Sesampainya di tempat acara, Rio yang sudah menunggu kedatangan Damar segera membawa modelnya itu ke ruang make up karena dia sudah terlambat beberapa waktu untuk acara yang sudah dimulai.

"Kau baik-baik saja?" tanya Rio ketika Damar terlihat tertunduk karena kepalanya tiba-tiba sakit karena trauma itu datang lagi.

"Ya, aku baik-baik saja. Pegang ponsel ini." Damar memberikan ponselnya pada Rio agar dia tidak terganggu ketika ibunya terus menelepon.

"Kenapa layarnya bisa pecah seperti ini. Haruskah aku memperbaikinya?" tanya Rio. Dia melihat jika ponsel milik Damar pecah dibagian layarnya, memang tidak terlalu parah tapi jelas terlihat.

"Tidak perlu. Buang saja, aku tidak membutuhkannya," jawab Damar ketus. Dia benar-benar tidak mau menjawab telepon dari Ibunya. Karena dia tidak ingin mengirimkan uang yang ibunya minta.

"Tapi–"

"Bisakah kau cukup mendengarkan ucapanku saja daripada kau terus membantah!" tegas Damar yang tampak sedang menahan emosi. Matanya merah dengan tangan yang bergetar karena takut. Namun, dia tidak bisa meninggalkan tempatnya karena ini acara penting.

Hal seperti ini biasa Rio dapatkan, dia juga mengerti jika Damar sudah merasa tertekan, Damar pasti akan bersikap kasar. Dan itu yang membuat Rio khawatir, karena itu tandanya Damar sedang merasakan traumanya. Rio paham betul, jika diam akan membantu Damar untuk tetap tenang.

***

Acara dimulai. Damar yang coba untuk tenang sedang mengikuti jalannya acara. Brand besar mengundangnya untuk menjadi salah satu modelnya dan ini pencapaian yang bagus untuk Damar. Hal ini bukti jika Damarlangit memang supermodel papan atas.

"Tuan, Anda sudah datang," ucap Rio pada Brata yang memang datang untuk mengecek acara berjalan lancar.

"Ada apa?" tanya Brata.

"Anda bisa melihatnya sendiri." Rio menatap Damar ketika mengatakannya. Dan Brata tahu jika itu bukan kondisi baik untuk Damar.

Walau begitu, Damar menahan semuanya sampai acara selesai. Dia tidak mengatakan apapun pada Rio. Dia hanya ingin pulang lebih awal.

"Ada apa, Nak?" tanya Brata pada Damar yang sedang bicara dengan Rio agar memperbolehkan dirinya pulang lebih dulu.

"Tidak. Damar hanya lelah," sahut Damar. Dia mengelak dari apa yang sebenarnya dia rasakan.

"Tapi kamu terlihat tidak baik-baik saja. Kamu pulang bersama Papa." Merasa khawatir putranya sedang tidak baik-baik saja, Brata ingin mengajak Damar pulang bersamanya.

"Tidak. Damar ada urusan sebentar sebelum pulang. Oh ya, Pa. Nanti jika nanti Ibu menemui Papa, jangan berikan apapun yang dia minta." Dengan nafas yang berat, Damar menjelaskannya pada Brata. Jujur saja dia ingin segera keluar dari tempat itu.

"Apa Ibumu, menekanmu lagi?" tanya Brata. Dia memegang bahu Damar dan menatap mata Damar lekat.

"Tidak." Damar mengalihkan pandangannya. Itu artinya Damar sedang menutupi sesuatu dari Brata. Dia memang tidak bisa membohongi Brata.

"Biarkan Damar pulang sendiri. Damar tidak akan melakukannya. Damar bersumpah. Damar hanya ingin sendiri," tutur Damar. Dengan penuh keyakinan, Damar membuat Brata mengizinkannya untuk pulang.

"Tapi, Nak–"

Damar tidak mendengarkan apa yang Brata katakan, dia berjalan meninggalkan Brata dan Rio. Dia hanya ingin menenangkan diri sekarang. Berada di acara yang begitu banyak orang, membuat traumanya semakin membuatnya tersiksa.

Ketika berjalan ke baseman Hotel, Damar yang berjalan dengan nafas berat dan pandangan yang mulai hilang, dan segera memegang dinding di sampingnya agar tidak terjatuh. Tempat acara berada di salah satu hotel bintang 5. Damar memilih turun menggunakan tangga darurat agar lebih cepat karena menunggu lift begitu lama. Belum lagi ada banyak fans Damar di sana.

"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya seorang wanita yang segera membantu ketika melihat Damar terduduk dengan nafas yang berat. Wanita itu duduk di depan Damar.

Damar menatap wanita itu tapi tak begitu jelas siapa wanita yang ada di depannya, sampai pandangannya kian menghilang dan Damar pingsan di depan wanita itu.

"Tuan ... hai ...." Damar jatuh dalam pelukan wanita itu. Membuat wanita itu semakin khawatir melihat kondisi Damar yang pingsan di depannya.

TBC

Terpopuler

Comments

adilia

adilia

damar

2023-07-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!