Seorang model sedang berpose di depan kamera yang menyoroti dirinya sejak pagi, dengan berbagai gaya yang dia lakukan, membuat Photografer begitu bersemangat untuk mengambil fotonya.
Ini sudah di tempat ke 3 untuk hari ini, jadwalnya begitu padat karena dia memang super model. Siapa yang tidak kenal dengan Damarlangit Dewandaru. Seorang pria berusia 28 tahun yang sangat diidolakan banyak wanita walau pekerjaannya hanya seorang model. Tak jarang wajahnya terpampang di berbagai blackboard dengan mengenakan brand terkenal.
"Damar, kau tidak bisa terus memaksa tubuhmu. Kau tidak tidur sejak kemarin. Biarkan ini kita lanjutkan besok saja, kau akan sakit nanti. Jika itu terjadi, Tuan Brata akan sangat marah padaku," ucap Rio, Manajer yang merangkap sebagai asisten Damar.
Damar tidak menjawab, dia hanya memejamkan mata dan berbaring di kursi. Kepalanya sudah terasa pening karena dia memaksakan diri.
Kemarin malam, Sarita datang menemui Damar. Walau sekarang Damar tinggal sendiri, tapi Sarita tetap akan datang untuk meminta uang. Damar tidak bisa untuk tidak memberikan uang pada sang Ibu. Damar selalu memberikannya uang, bisa dibilang apa yang Damar sekarang hanya habis untuk kepuasan Sarita saja. Jika, Brata tahu hal ini, biasanya dia akan sangat marah. Karena Sarita hanya akan membuat Damar kembali merasakan traumanya. Seperti yang sekarang terjadi. Damar tidak bisa tidur sejak semalam. Padahal hari ini jadwalnya sungguh padat.
"Damar, ayo pulang atau kau mau aku menghubungi Papamu?" Ancam Rio saat Damar tidak memperdulikannya bicara. Damar biasa memanggil Brata dengan sebutan Papa. Karena dia, Damar bisa menjadi sekarang.
"Kau itu berisik sekali," jawab Damar ketus. Dia coba untuk duduk dan bersandar. Kepalanya semakin sakit.
"Kita istirahat sekarang," sahut Rio.
Damar yang tidak ingin lagi mendengar omelan manajernya, segera bangkit dan berjalan pergi. Mungkin memang sebaiknya dia istirahat, tubuhnya begitu lelah. Dengan tubuh tinggi semampai, wajah tampan berkharisma, siapa yang tidak akan takluk dihadapan Damar. Tapi dia tidak pernah peduli dengan itu, yang penting untuk Damar, bekerja dan menghasilkan uang.
Sesampainya di rumah besar yang didapat dari hasil kerja kerasnya itu, Damar langsung masuk ke dalam kamar. Meletakkan semua barang bawaannya sebelum dia masuk kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Damar masuk ke dalam bathup yang dia nyalakan kran itu agar baknya cepat terisi. Dia memposisikan tubuhnya agar terasa nyaman.
Dengan mata yang terpejam, Damar ingat ucapan Ibunya kemarin. "Kau ingat, kau harus membayar hutang budimu padaku. Jika kau memang putraku."
"Jika aku tidak mau memberikan uang itu pada Ibu. Apa aku bukan putramu?" tanya Damar.
Plakk
Tamparan keras mendarat pada pipi Damar karena Sarita yang melakukannya. "Sudah lakukan, kau tidak ingin aku membuangmu kan?" Entah kata itu selalu membuat Damar takut. Dia tidak mau Ibunya pergi seperti Ayah Damar yang membiarkan Damar hidup dengan wanita seperti Sarita.
Tak terasa air dalam bathup sudah mulai terisi penuh, Damar benar-benar tidak peduli dengan itu. Dia membiarkan tubuhnya semakin basah karena air yang terisi penuh. Tubuhnya bahkan perlahan merosot, membuat tubuhnya tenggelam dalam air. Dalam mata yang terpejam, tubuh Damar sepenuhnya tenggelam begitu saja.
"Apa yang kau lakukan, Nak," ucap seseorang paruh baya yang sengaja tinggal bersama Damar walau hanya sesekali saja. Pria itu menarik tubuh Damar dan membawanya keluar dari bathup. Nafas Damar seketika berat. Sedikit banyak, air sudah masuk melalui hidungnya. Membuat dia terbatuk karena itu.
"Apa yang kau lakukan, apa kau ingin mati," bentak pria itu.
"Biarkan aku mati saja, Pa. Biarkan aku pergi," jawab Damar pada pria yang dipanggil Papa.
"Jangan gila! Sadarlah!" bentak yang tak lain, Brata, papa angkatnya.
Saat trauma Damar datang, Brata tidak membiarkannya sendiri. hal seperti ini bukan pertama kalinya untuk Damar. Sering kali Damar melakukan ini, bahkan terakhir kali, saat itu Damar sampai dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya kritis.
Setelah membantu Damar ke atas tempat tidurnya, Brata masih menatap pria yang sudah dianggap sebagai putranya itu. Kesedihannya tidak pernah bisa hilang, sebab Damar masih tidak mau melepaskan kegundahan hatinya.
Berapa kali Damar meminta bantuan Psikiater ataupun Psikolog untuk menyembuhkan traumanya. Namun, tetap saja. Damar semakin dalam kondisi yang buruk.
"Apa dia bertemu dengan Ibunya lagi?" tanya Brata pada Rio yang datang beberapa menit setelah Brata menemukan Damar yang berusaha mengakhiri hidupnya.
"Iya, Tuan. Dan dia memaksa untuk mengisi jadwal hari ini saat dia tidak tidur seharian," jelas Rio.
"Ke mana lagi kita bisa membuat traumanya itu hilang," ucap Brata yang sudah bingung dengan cara apalagi Damar bisa lupa dengan traumanya. Setiap kali Damar merasa tertekan, trauma itu akan datang.
Damar bukan sedang keras kepala, dia hanya ingin lupa dengan traumanya dengan cara menyibukkan diri dengan bekerja. Walau trauma itu tetap dia rasakan, tapi Damar tetap ingin bekerja dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.
"Apalagi yang ingin kau lakukan? Sebaiknya kau istirahat, jika tidak Papamu akan membunuhku," pinta Rio. Kesekian kalinya Damar membuatnya kesal hari ini, tapi bukan Damar jika tidak keras kepala.
"Biarkan aku sendiri. Aku tidak akan mencelakai diriku sekarang, jadi sebaiknya kau tinggalkan aku," sahut Damar yang tak peduli dengan ucapan Rio. Dia tetap ingin pergi.
***
Damar datang ke sebuah bar, duduk di depan bartender yang menyajikan minuman untuk dirinya. Dia tidak bisa melupakan kata-kata Ibunya. Tapi kenapa Damar begitu takut ketika ibunya ingin meninggalkannya, padahal itu harusnya bagus untuk Damar, karena ibunya tidak akan menekannya. Namun, itu bukan Damar. Bagaimanapun juga Sarita tetap ibunya, walau sering kali Sarita mengatakan jika Damar anak yang diambil dari panti, tapi Damar tidak percaya itu.
"Lepaskan tanganmu dariku!" tegas seorang wanita yang tidak jauh dari tempat Damar duduk. Sepertinya dia sedang berdebat dengan pria yang bersamanya.
"Ayolah, kau dibayar untuk melayaniku. Kenapa kau marah saat aku bilang dirimu murahan, jika kenyataannya seperti itu," jawab pria itu.
"Jika kau anggap aku begitu, aku pergi. Berapapun uang yang kau beri padaku, ketika kau tidak bisa menghargaiku, aku tidak sudi melayanimu," tegas wanita itu.
"Sombong sekali. Aku bilang ayo layani aku." Pria itu menarik lengan wanita yang bersamanya, tapi wanita itu berhasil lepas dari dekapan pria itu dan berjalan pergi.
Walau Damar mendengar perdebatan mereka, tapi dia enggan untuk ikut campur dengan apa yang didengar. Yang penting untuknya sekarang adalah ketenangan diri. Tidak peduli jika orang sekitar membutuhkan bantuan atau tidak.
"Dia cantik sekali. Sayangnya, dia hanya wanita penghibur," ucap Rio yang memaksa ikut saat Damar ingin sendiri. Dia hanya tak ingin Brata memarahinya saat tau Damar pergi sendiri.
"Lantas kau ingin merayunya? Bayar dia, pasti dia akan mau denganmu," jawab Damar. Dia kembali meneguk minuman yang ada dihadapannya.
"Benar juga. Kenapa aku tidak memikirkan itu," timpa Rio tanpa rasa bersalah.
"Sudahlah, aku ingin pergi. Jangan ikuti aku, jika kau mengikuti aku jangan harap kau bertemu denganku besok," ujar Damar pada Manajernya itu.
"Mau ke mana?" tanya Rio pada Damar yang sudah beranjak dari tempat duduknya, kemudian berjalan pergi meninggalkan Rio tanpa menjawab pertanyaan managernya.
Di dalam mobil, Damar tidak langsung pergi. Dia menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata. Sakit kepala itu tidak hilang, bagaimana bisa hilang ketika Damar tidak bisa melepaskan traumanya. Sejenak dia merasakan rasa sakit itu terus berdenyut.
Plakk
Suara tamparan terdengar sampai ke telinga Damar ketika dia merasa di area parkir sendiri. Diikuti teriakan seseorang dari depan mobil Damar yang masih terparkir. Damar menatap ke sekitar dan melihat dua orang yang sedang berdebat.
"Lepaskan aku," teriak seorang wanita.
"Siapa suruh kau melawanku. Ini akibatnya jika kau menolakku."
Plakk
Kembali tamparan keras mendarat di pipi wanita yang sudah tidak berdaya itu. Dari dalam mobil, Damar yang sebenarnya tidak ingin peduli dengan apa yang sedang mereka lakukan tiba-tiba keluar dan berjalan ke arah mereka dengan wanita yang sudah tergeletak karena perlakuan kasar dari pria itu.
Tanpa pikir panjang, Damar menendang tubuh pria itu hingga tersungkur. Bagaimana seorang pria tega menganiaya seorang wanita yang harusnya diperlakukan dengan baik.
"Kurang ajar sekali. Siapa kau!" teriak pria itu pada Damar.
"Kita pergi dari sini," pinta Damar pada wanita itu. Ternyata itu wanita yang sama, yang tadi berdebat di dalam Bar. Damar tidak memperdulikan pria itu yang berusaha bangun dan menghampirinya.
"Lancang sekali kau. Dia wanitaku!!" tegas pria itu lagi.
"Jika dia wanitamu. Harusnya kau memperlakukan dengan baik, bukan sebaliknya. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menelpon polisi untuk menyeretmu pergi dari sini," jawab Damar dengan tatapan serius, dan menggandeng tangan wanita yang dia tolong itu.
Damar berjalan dengan tetap menggandeng tangan wanita itu. Namun, pria itu tidak mau kalah. Dia menghampiri Damar dan menendang balik tubuh Damar hingga hampir terjatuh.
"Lepaskan, dia itu wanita ku," gertak pria itu.
Damar menghela nafas sebelum dia melepaskan genggamannya dan langsung mencekik pria itu, menyudutkan ke dinding yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Aku sudah katakan padamu. Pergi," tegas Damar.
"Siapa kau ingin menolongnya," ucap pria itu dengan terbata-bata karena cekikan yang Damar lakukan.
"Dia kekasihku. Jika kau memaksanya, aku yang akan membunuhmu," jawab Damar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ramochaaa
semangat thorrr
2023-07-17
1