Acara pemakaman sudah selesai. Para pelayat pun sudah tidak lagi berdatangan. Hari memang sudah cukup malam. Dan karena tidak memiliki sanak keluarga selain Nora yang juga sudah yatim piatu, rumah Emily Panorama Rukmana begitu sepi. Ketika seharusnya keluarga mendiang Emily bersedih hati, kenyataan berbeda justru terjadi. Tak ada lagi air mata sandiwara, tak ada lagi teriakan histeris karena duka palsu belaka. Baik Ronald maupun Nora sudah kembali ke diri mereka yang sedang berbahagia.
Hidangan-hidangan mahal sudah tersaji di atas meja. Beberapa botol wine berkualitas tinggi turut menemani. Bukan ruang makan, melainkan sebuah kamar megah bernuansa gold bercampur putih yang luas dengan segala macam fasilitas mewah. Ronald dan Nora akan menggelar pesta meriah di tempat itu, sebab mereka tidak ingin jika ada pelayan yang datang mengganggu.
“Ah, sayang sekali, kita tidak bisa makan malam di luar, Sayang,” celetuk Ronald. Ia menghela napas lalu berlagak menyesal. “Padahal aku sudah menemukan tempat yang sangat bagus untuk merayakan kemenangan telak kita.”
Nora menatap Ronald lalu tersenyum tipis. Detik berikutnya, ia menyodorkan sepotong daging untuk pria itu. Dan dengan senang hati, Ronald membuka mulut, serta langsung menyantap sesuap daging dari kekasihnya.
“Di sini pun tidak masalah. Benar-benar privasi. Lagi pula masih banyak reporter yang mengawasi, Ronald Rostian-ku sayang," sahut Nora. Selanjutnya ia justru menunjukkan raut masamnya. Telapak tangannya lantas memegang kedua kelopak matanya yang sembab. “Gara-gara harus menangisi Emily, mataku sampai sebesar ini. Kecantikanku menjadi berkurang, bukan? Ah, tampaknya aku terlalu menghayati sandiwaraku, sampai tidak sadar aku sudah menangis begitu histeris.”
“Hahaha!” Ronald tergelak keras. Ia memutuskan untuk mengambil tisu dan mengelap mulutnya. Selepas membuang tisu yang sudah kotor itu, Ronald lantas meneguk wine yang sudah ia tuangkan ke dalam gelas. Nikmat. “Percayalah, Nora, bahkan meski kedua matamu tampak membesar, kau masih tetap cantik dan menawan. Hihi.”
“Alah! Kau sedang mengejekku, bukan?” Alih-alih merasa senang setelah mendapatkan pujian, Nora justru memasang raut lebih masam. “Aku tidak percaya oleh kata-katamu, Ronald!”
“Perlukah aku membuktikan lagi bahwa ucapanku bukan sebuah kebohongan semata, Sayang? Bahkan demi dirimu, aku rela melenyapkan istriku.”
“Sejak awal kau adalah milikku, Ronald. Dan berkat aku, kau pun bisa menikmati harta istrimu juga, bukan?”
“Berkat cinta kita, Nora Marie Rusmana.”
Senyuman Ronald kiam melebar, meski barisan gigi-gigi putihnya tak sampai kelihatan. Wanita cantik di hadapannya itu sudah membuatnya agak kesal, setelah tidak memercayai pernyataan kecil yang ia katakan barusan. Dan demi membuat Nora sedikit kapok, tentu saja Ronald harus memberikan hukuman menyenangkan. Ia jamin Nora akan jejeritan di malam ini, bahkan sampai pagi hari telah tiba nantinya.
Nora menerima dengan pasrah setiap tindakan Ronald yang sudah meraih wajahnya, bahkan sampai membubuhkan kecupan-kecupan liar yang akan membuatnya gila. Rasa wine begitu kental. Segala aroma bercampur menjadikan suasana di kamar itu menjadi syahdu, hangat, dan nikmat. Sampai akhirnya Nora tidak bisa menahan gejolak di dalam dirinya yang kian meronta setelah mendapatkan hukuman menyenangkan yang diberikan oleh sang kekasih. Mereka hanyut di dalam permainan malam yang seharusnya tidak mereka lakukan, ketika pemakaman Emily baru berlangsung tadi siang.
“Aku ... aku akan membuat ... membuat surat wasiat palsu,” ucap Nora dengan napas yang terengah-engah di keadaan yang sedemikian rupa. “Aku ... aku a-akan merampas semuanya.”
Ronald tersenyum lalu tertawa. “Kita bahas nanti saja, sekarang fokus dulu, hihi.”
Pesta kecil, manis, dan penuh kegilaan di antara Ronald beserta Nora terus berlanjut. Semua hal yang terjadi di dalam kamar yang memang menjadi kamar Nora selama ini, hanya dirinya dan Ronald saja yang mengetahuinya. Namun, bisa saja Emily juga menyaksikan apa yang terjadi dari atas sana. Sayangnya, baik Ronald maupun Nora tidak ingin memedulikan kemungkinan keberadaan jiwa seseorang yang sudah tiada.
***
Di kamar hotel megah yang masih sama, saat ini Chelsea tengah berada. Dirinya begitu sibuk berjalan ke sana kemari. Dan beberapa kali ia menggigit ibu jarinya sendiri. Memang benar bahwasanya pemakaman atas raga aslinya yang ia saksikan tadi siang telah meningkatkan keinginan untuk mencari sebuah keadilan. Ia harus segera mencari cara agar bisa dengan cepat menggapai Ronald dan Nora. Jika ia hidup di tubuh seorang gadis dari keluarga konglomerat, mungkin hal itu mudah saja untuk ia lakukan. Namun kenyataan justru mengatakan bahwa saat ini ia hanyalah seorang Chelsea Indriyana yang miskin, bahkan sudah menjadi mainan konglomerat bengis.
“Bagaimana? Bagaimana? Bagaimanaaa?! Aaarrrggghhh!” Karena kesal, marah, frustrasi, dan segala macam perasaan menyebalkan lainnya berbaur menjadi satu di dalam hatinya, akhirnya Chelsea tidak bisa menahan diri untuk menggerutu dan berteriak. “Bagaimana jika mereka berhasil menguasai seluruh hartaku? Bagaimana jika aku tidak bisa melakukan semua rencanaku? Itu tidak akan adil! Tidak akan!”
“Uaaaarrrrggghhh!” Chelsea mencengkeram kepalanya, mengacak-acak rambutnya. Bingung hendak bagaimana, padahal ia sudah yakin untuk bisa melakukan semua rencananya sampai berhasil. “Kenapa pria bengis itu juga tak kunjung tiba?!”
Chelsea memikirkan soal Reynof yang sudah menerima penawarannya, tetapi sampai saat ini justru tak hadir lagi. Ia tidak mau mendapatkan harapan palsu, bahkan setelah merendahkan derajatnya di hadapan pria jahat itu.
“Tenang, tenang. Aku adalah Chelsea, bukan lagi Emily. Aku bisa mendatangi Ronald maupun Nora, tanpa ketahuan. Mereka ... tidak akan membunuhku lagi. Tenang ... tenang ....”
Chelsea berusaha menenangkan dirinya. Bahkan sampai memejamkan mata. Helaan napas begitu dalam pun sering ia lakukan. Sayangnya ... ketika baru membuka mata, sebuah vas bunga yang menjadi pemandangan pertama. Dua hari berada di kamar itu, Chelsea selalu berusaha mengabaikan benda tersebut. Namun saat ini perasaannya sedang berkecamuk, dan lantas membuatnya tidak mampu menahan diri pada kecemasan sekaligus ketakutan yang begitu besar.
Chelsea mengambil langkah begitu cepat. Detik berikutnya, ia meraih vas bunga—sebuah benda yang membuatnya mati sia-sia—itu. Dengan cepat serta keras, Chelsea melempar benda tersebut disertai teriakan penuh bara dendam yang amat besar. Vas bunga terlempar jauh, jatuh, dan hancur.
Sampai Reynof yang baru memasuki kamar itu harus terkejut. Ia nyaris terluka karena serangan mendadak dari sang penghuni kamar! Oh astaga! Mata abu-abu Reynof sampai melebar.
Rasa terkejut tidak hanya Reynof saja yang merasakan, melainkan juga Chelsea. Ia tidak tahu jika Reynof akan datang. Seluruh dirinya yang belum lama ini dipenuhi kemarahan kini menjadi bergetar. Dirinya merasa bodoh karena sudah membuat pria bengis itu marah. Dan sudah pasti, Reynof akan marah!
“Kau sudah benar-benar menjadi gila, ya?!” Benar saja, Reynof langsung melontarkan perkataan dengan nada tinggi. Ia pun segera memasuki kamar itu lebih dalam lagi. Namun alih-alih langsung menghampiri Chelsea, ia justru menghentikan langkahnya. Detik berikutnya, ia membungkuk dan mengambil pecahan vas yang paling besar dan tajam.
Masih di tempat yang sama, Chelsea menelan saliva. Perasaannya tak enak. Sebentar lagi, ia akan mati di tangan pria itu. Namun ... haruskah ia menyerah dan mati bahkan setelah mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup sebagai Chelsea Indriyana?!
Mati setelah hidup kembali tentu saja bukan hal yang Chelsea inginkan. Namun ia mulai pesimis ketika tiba-tiba saja Reynof berada di hadapannya. Pria itu langsung mengarahkan pecahan vas bunga yang tajam. Sial! Apakah sekarang Chelsea akan kembali mati karena sebuah vas bunga? Apakah kematiannya sebagai Emily akan kembali terulang?
“Tahu dirilah kau, Chelsea Indriyana. Kau itu hanya mainanku, peliharaan yang seharusnya menurut padaku. Tapi, bisa-bisanya kau justru menyerangku dengan benda berat itu? Aku sudah berbaik hati dengan menerima tawaran dan semua persyaratanmu. Seharusnya kau sadar diri dan menurut saja, Gadis Kurang Ajar!”
Bak tanpa belas kasihan, Reynof terus mendekatkan benda tajam itu ke leher Chelsea, hingga Chelsea terus melangkah mundur. Ekspresi di wajah Chelsea begitu membuktikan sebuah ketakutan yang sangat besar. Namun Reynof tidak peduli, ia masih ingin mengetahui sampai batas mana gadis itu begitu berani.
"Ma-maaf, to-tolong maafkan aku ...," ucap Chelsea diiringi setetes air mata yang menodai pipi kirinya. Dan memang benar, ia sangat ketakutan. Ia tidak mau mati untuk kedua kalinya, dan karena benda yang sama. "Maaf ... maafkan aku ... Tuan Reynof."
Reynof menyeringai. Entah mengapa dirinya dapat merasakan kepuasan tersendiri ketika melihat Chelsea tidak berdaya. Padahal gadis itu sangat pemberani dan memiliki harga diri cukup tinggi. Namun rupanya Chelsea masih takut untuk mati. Kenyataan yang membuat Reynof lantas tertawa begitu keras, dan pada akhirnya, ia menjauhkan benda itu dari sang gadis cantik.
Ketika sudah dilepaskan dari ancaman pembunuhan, tubuh Chelsea langsung terduduk lemas. Napasnya terengah-engah. Ada kelegaan yang menyisip ke dalam sanubarinya. Namun tubuhnya masih bergetar luar biasa.
"Bangunlah," ucap Reynof. Ia menghela napas ketika Chelsea tak kunjung berdiri. "Bangunlah! Kau masih belum tuli, 'kan?!"
Perlahan tetapi pasti, Chelsea mendongakkan kepalanya. Ia mengangguk dan lantas bangkit. Tubuhnya masih sempoyongan, apalagi kepalanya justru terasa sakit. Ah sial, sejak tadi pagi, ia memang belum makan. Namun untuk mengeluh lapar, sudah pasti tidak bisa ia lakukan.
"Ikut aku!" titah Reynof dan tanpa basa-basi lebih banyak lagi, ia meraih lengan Chelsea sekaligus menyeret paksa gadis itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments