Angga selesai mengantarkan kedua saudaranya ke sekolah. Setelah sampai ia melihat berkas perkara pembunuhan berantai terhadap satu keluarga.
"Sepertinya, ada yang janggal dalam foto ini!" Angga menatap sebuah foto jadul yang berada saat pembunuhan berlangsung.
Sebuah pintu diketuk.
Tok ... tok ... tok ...
"Iya, masuk"
"Ini, maaf pak ada seorang gadis mencari bapak?" Angga bingung, siapa yang mencarinya.
"Iya, suruh masuk!" Ternyata Nilam.
"Kamu, kenapa kesini!" Angga terbangun dari duduknya, dan menghampiri Nilam.
"Hmm ... aku khawatir sama kamu! Makanya aku nyusul"
"Ya ampun! Aku, kan udah bilang, aku bisa jaga diri. Kamu kok bisa tahu arah kesini?" Tanyanya lebih heran lagi.
"Kan, aku udah bilang, aku bisa mencium aroma kejahatan, dan juga bisa tahu tempat orang yang perlu aku ikuti, gimana aku benarkan seorang peri?" Ia mendekati Angga dengan senyuman manis.
Angga menutup mulutnya.
"Stt ... nanti kedengaran orang! Oke, aku percaya sama kamu. Sekarang kamu pulang ke rumah, bisa kan? Aku pulang pasti malem, sedangkan sekarang baru jam sembilan pagi. Aku nyuruh supir disini buat anterin kamu!"
"Tapi, aku mau sama kamu? Aku khawatir sama kamu?" Mulai memelas.
"Aduh, gak bisa, udah ya, aku janji aku pulang dengan selamat ya. Sekarang kamu pulang dulu, siapin makan siang buat Dika dan Aldo, aku nanti bawa makanan malam buat kalian" Angga berusaha untuk menyakinkan.
"Hmm, ya sudah! Aku bisa pulang sendiri!" Nilam tampak kecewa.
Angga menyuruh salah satu anak buahnya untuk mengantarkannya pulang. Saat sore, Dika dan Aldo pulang.
"Kalian sudah pulang? Sini duduk!" Mereka berdua duduk mengikuti arahan dari Nilam.
"Emang ada apa?" Tanya Aldo heran.
Nilam menyodorkan sebuah buku dan pensil.
"Kami di suruh menulis?"
Nilam menggelengkan kepalanya dengan tersenyum manis. Ia mulai membuat gambar makanan. Tiba-tiba saja gambar tersebut berubah menjadi nyata. Dika dan Aldo tersenyum kagum. Mereka berdua melompat kegirangan.
"Nah, ini baru bukti kalau kamu adalah peri sungguhan!" Dika langsung antusias. Mereka berdua mencoba untuk memegang makanan tersebut.
"Wow, keren! Ini asli, coba?" Aldo menyuruh Dika untuk memakannya.
Meskipun ragu, Dika tetap mencobanya dengan hati-hati. Saat mencoba ia langsung terdiam membisu.
"Gimana Dika, enak gak? Loe, gak keracunan kan?" Aldo menepuk pundaknya.
"Wah, sumpah ini, kue enak banget!" Aldo langsung mencobanya dan mereka tertawa bersama.
"Gimana bisa makanan seenaknya ini! Tapi, ngomong-ngomong kok bisa buat gambar kue di bumi, gimana ceritanya?" Dika merasa heran.
"Aku, tadi lihat buku? Ada gambarnya, kalau di dunia peri, semua wajib bisa menggambar agar bisa menggunakan sihir. Seperti ini, tadi aku lihat, aku menyentuhnya dan menyerap semua ilmu yang ada dalam buku tersebut!" Dika dan Aldo saling bertatapan dengan wajah penuh rencana.
"Berarti, kamu pinter dong! Gimana, kalau kamu sekolah sama kita? Aku, yakin kita pasti bisa jadi pinter berkat kamu?" Ucap Aldo dengan antusias.
"Iya, sekolah. Sepertinya umurmu juga tidak beda jauh dengan kami?" Dika dengan yakin berbicara seperti itu. Karena, wajah Nilam yang babyface.
"Emang umur kalian berapa?" Nilam penasaran.
"Umur, kita ya pasti samalah, enam belas tahun!" Mereka berdua menjawab dengan penuh keyakinan.
"Hmm, umurku sudah seratus tahun!"
Mereka berdua langsung tersedak dan bengong.
"Apa?" Mereka tidak percaya.
"Ah, pasti bercanda nih? Gak mungkin! Masa, kamu nenek-nenek! Tapi, gak ada ciri-cirinya tuh?" Dika merasa tidak yakin dengan pernyataan Nilam.
"Peri kan memang abadi, kami hanya bisa mati, jika kami di panah oleh perak. Dan panah perak putih hanya dimiliki oleh para pemburu. Tapi, wajah kami tidak akan berubah?"
Mereka hanya melenan ludah, mereka merasa tidak percaya, namun bukti bahwa ia seorang peri telah mereka lihat.
"Tapi, sudahlah tidak jadi masalah! Yang penting kamu bisa sekolah dengan kami?" Dika terus memaksa.
"Aku mau, tapi, gimana caranya?"
"Tenang, biar kami yang atur! Asal kamu mau?" Dika dan Aldo tersenyum lebar.
"Akhirnya kita bisa pinter lewat Nilam" Mereka berdua berbisik bahagia.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Nilam menunggu dengan cemas. Sementara Aldo dan Dika bermain game online.
Sementara Angga masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Pak, kami pulang duluan ya?" Beberapa staf kantor mulai pulang.
"Iya, sebentar lagi saya juga pulang!"
Angga begitu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia lupa waktu
"Aku, masih heran dengan kasus pembunuhan berantai satu keluarga ini, siapa sebenarnya pembunuhnya? Ya ampun, ternyata ini sudah jam sebelas malam, sebaiknya aku pulang" Angga bersiap-siap untuk pulang. Angga menaiki mobil dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba saja, mobilnya mogok ditengah jalan yang sepi. Angga keluar dari mobilnya dan mengecek mesin.
"Sepi, mana ada bengkel! Montir juga pasti tidak ada jam segini?" Angga memegang kepalanya, ia bingung harus bagaimana. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.
"Pak, maaf. Bisa saya bantu?" Angga sempat terkejut dan berbalik badan.
'Kenapa, firastku tidak enak! Apakah yang dikatakan Nilam benar? Jika ada seseorang yang datang padaku, dengan memakai baju serba hitam, tapi nampaknya sudah tua, bagaimana bisa dia berbuat jahat padaku!' Angga berpikir sejenak.
"Pak, gimana? Saya, tidak minta bayaran, yang penting bisa membantu bapak?" Bapak misterius itu menawarkan dengan wajah yang sangat menyakinkan. Angga merasa tidak enak jika harus menolak permintaan bapak tersebut.
"Baiklah, maaf sedikit merepotkan!"
"Tidak apa-apa. Pak Angga kan, detektif yang terkenal itu, jadi wajar saja jika saya membantu bapak!"
"Oh, bapak tahu tentang saya?" Angga sedikit membantu memberikan tang dan obeng.
"Tentu saja, saya tahu, semua tentang bapak"
"Jangan panggil saya bapak! Panggil saja saya, Angga" Bapak itu hanya tersenyum, dan menutup bagasi mesin.
"Sudah pak! Silahkan naik lagi hati-hati!" Bapak itu tersenyum, Angga merasa tidak enak.
"Terimakasih banyak atas bantuannya! Mari saya antar pulang, rumah bapak dimana? Angga merogoh kantong, dan memberikan uang dengan jumlah tiga ratus ribu!" Bapak itu tampak menolak dengan mendorong tangan Angga yang menyodorkan uang.
"Tidak usah, saya ikhlas membantu bapak. Oh, tidak usah, rumah saya dekat sini, bisa jalan kaki, terimakasih banyak pak" Bapak itu berjalan.
Saat Angga mengejar bapak itu, tiba-tiba saja ia diserang , oleh bapak tersebut. Angga dipukul dengan kayu di bagian kepala depan. Angga berbalik melakukan perlawanan dengan memukul wajahnya.
Bapak itu langsung kabur, saat salah satu rekan kerja Angga kebetulan lewat.
"Pak, gimana? Tidak apa-apa kan?" Roni adalah teman setia Angga saat bertugas, mereka seperti saudara kandung.
"Tidak!" Angga memegang kepalanya yang sedikit terluka.
"Mau, saya antar?" Angga hanya tersenyum tipis.
"Tidak, ini cuma lecet sedikit! Kamu, pulang saja, ibumu pasti sudah menunggumu, saya baik-baik saja!" Angga berjalan menuju mobilnya dan pergi tanpa menghiraukan panggilan Roni, karena Angga tidak ingin merepotkan orang lain.
"Pak, pak ..! Yah, dia pergi" Roni pun melanjutkan perjalanan pulang.
Angga terdiam di teras rumah, ia berpikir kenapa, bapak itu tiba-tiba saja menyerangnya, padahal sebelumnya tidak terjadi perdebatan atau hal yang lain. Dan benar saja, perkataan Nilam menjadi kenyataan.
Nilam merasa gelisah, ia keluar untuk mengecek apakah Angga sudah kembali. Ia mengintip dari balik jendela, ia melihat Angga yang sedikit termenung di kursi teras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments