"Nilam, kamu kenapa?" Nilam, mulai berbicara dengan nada sedih. Ia bangun dan menyentuh lokasi kejadian berlangsung. Ia berbicara sambil berjalan menuju lokasi kejadian, dari pintu masuk.
"Pagi itu sekitar pukul 10.00, ada enam orang remaja yang mendatangi rumah ini, satu anak perempuan yang masih SMP, dan lima anak laki-laki yang masih SMP kelas tiga! Aku, melihat wajah mereka yang tidak asing bagi korban, sepertinya mereka anak tetangga sebelah, korban mengintip dari balik pintu tengah yang dimana terdapat sebuah kaca untuk melihat siapa diluar. Korban menanyakan sebelum membuka pintu"
"Ada perlu apa?"
"Ini, Tante. Kami ada tugas sekolah, perlu sedikit bantuan! Ada wawancara tentang pekerjaan Ibu rumah tangga, bolehkah kami masuk?" Korban membuka pintu.
"Mari silahkan masuk!" Pintu pun tertutup kembali. Salah satu pelaku memukul kepala belakangnya, hingga tersungkur ke lantai. Kemudian pelaku mengambil tali untuk mengikat tangan dan kaki korban. Dan memasukkan korban ke dalam air didalam bak mandi.
"Sepertinya, dia sudah mati! Ayo kita geledah rumah ini, barangkali ada benda berharga! Kita akan punya uang banyak untuk berpoya-poya!" Mereka menggeledah barang berharga, seperti emas, uang juga benda lain seperti handphone. Saat mereka sedang sibuk menggeledah rumah, korban kembali bangun, ternyata ia hanya pingsan, apa yang membuatnya terbangun dari bak mandi yang berisi air.
Nilam terdiam, menahan sesak di dadanya.
"Saat, mereka berpikir bahwa korban sudah meninggal, mereka salah seorang ibu bisa dengan mudahnya terbangun hanya untuk menyelamatkan anak lelakinya yang berusia tiga tahun! Ini, sungguh kejam!" Nilam menangis tersedu-sedu. Angga menenangkan.
"Kalau kamu sudah tidak sanggup lagi! Sebaiknya, biar aku yang terus mencari pelakunya!"
"Tidak, masih terus berlanjut!" Nilam kembali menuju kamar anak lelaki itu.
"Tolong, dimana anakku? Tolong, kalian ambil saja apapun itu, asal jangan bunuh anakku! Dimana anakku, dia masih kecil! Saya, pikir kamu orang baik, ternyata saya salah?"
"Bro ... dia tidak mati!" Roy, kembali mengambil pisau dapur yang sangat tajam. Kemudian ia menusukkan pisau itu tepat di perut korban berkali-kali hingga korban mengeluarkan darah segar yang sangat banyak.
"Eh, nih! Jangan, gue doang, ini loe juga!" Lalu salah satu temannya ikut menusukkan pisau. Korban benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Lalu, mereka melangkahkan kakinya menuju kamar anak lelaki yang masih berusia tiga tahun. Kemudian Roy bertanya kepada anak itu.
"Kamu kenal dengan Om?" Anak itu tersenyum dan mengangguk.
"Wah, gawat! Dia, kenal sama loe! Kalau dia ngomong sama orang, pasti kita semua bakal dipenjara! Mending, sikat aja!" Roy, tersenyum sinis. Lalu, ia mengambil sebuah Gucci dan memukulkan ke arah kepalanya. Anak itu tersenyum melihat wajah ibunya dari kejauhan. Sebelum ia benar-benar tidak bisa melihat wajah ibunya lagi. Darah mengalir dari kepalanya.
"Mama ...!" Itulah kata terakhir yang terucap dari mulut kecilnya yang pilu.
Semua orang menangis mendengar cerita tentang kejadian itu. Termasuk Aira.
"Terimakasih banyak sudah menceritakan kronologi pembunuhan istri saya! Meskipun menyedihkan tapi saya tetap semangat demi Aira!" Saat suasana sedang bersedih, Ucok datang dengan laporan baru.
"Pak, pelaku sudah ditemukan tapi hanya satu orang! Kita bisa memancing yang lainnya?" Angga segera ke kantor untuk menemui para pelaku. Roy, adalah dalang di balik sebuah pembantaian sadis itu, ia tengah duduk di kursi didalam ruangan yang berisi dengan pembatas kaca-kaca. Angga, menghampiri Roy. Ia, duduk berhadapan. Roy, hanya tertunduk diam.
"Hmm ... ternyata kamu masih muda! Apa yang menyebabkan kamu melakukan tindakan sejahat itu?"
Roy, hanya terdiam membisu. Ia, tampak ketakutan.
"Seorang pembunuh sadis, bisa takut juga? Bagaimana bisa! Kamu, masih muda sudah melakukan tindakan sekeji itu!" Roy, mulai menangis. Ia, bersimpuh di kaki Angga.
"Pak, maafkan saya?" Angga, tersenyum sinis.
"Maaf, kamu bilang maaf! Bagaimana, apakah maafmu itu bisa mengembalikan kedua nyawa yang telah kau ambil paksa? Apakah, maafmu bisa membuat mereka kembali hidup?" Roy, hanya tertunduk diam.
"Lihat ... disana ada seorang Kakak yang kehilangan Adiknya yang ia sayangi! Lihatlah, wajahnya yang lugu, dimasa seperti ini ia juga harus merasakan kehilangan seorang Ibu yang ia cintai! Apa, kamu tidak punya hati!"
"Pak, tolong maafkan aku? Aku, akan mengakui semuanya! Tolong, telepon Ibuku, aku akan mengakui semuanya? Dan, aku akan menelpon semua teman-teman yang terlibat dalam kasus ini! Tapi, jangan hukum mati!" Roy, menangis sambil memohon maaf. Angga, berdiri dengan tegak, ia mendekati wajah Roy yang tengah menangis akan penyesalannya.
"Kita, lihat saja nanti! Apa, hukum untuk anak dibawah umur seperti kamu, akan sama dengan pembunuh lainnya!" Angga, pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Tolong, telepon ibunya, agar datang kesini?"
"Baik, siap laksanakan!" Ucok, langsung menelpon kediaman Roy. Dan, setelah datang, Roy, mengakui semuanya, yang dibicarakan oleh Nilam, sama persis dengan kejadian aslinya.
'Ternyata, Nilam benar! Ia, mengetahui persis kejadian itu'.
"Pak, hukum saja. Anak saya seberat-beratnya, karena ia membuat saya gagal menjadi orang tuanya!" Ibu, Roy menangis. Ia, sangat menyayangkan sikap Roy yang telah menghilangkan nyawa yang tidak bersalah demi sebuah uang. Tidak lama, Roy menelpon teman-temannya. Dan, akhirnya mereka semua berkumpul.
"Roy, apa yang membuatmu melakukan tindakan tersebut?" Ucok, langsung bertanya dengan nada yang sedikit santai.
Roy mulai menceritakan kronologi kejadian itu.
***
Pagi itu, mereka semua berkumpul.
"Hey, bro ... duit kita sudah menipis nih! Gimana, dong!" Alex berbicara dengan merangkul tangan Roy.
"Eh, gue ... punya ide cemerlang! Tetangga gue, ada seorang Ibu rumah tangga dia kerjaan cuma dirumah dan ngasuh anaknya yang masih tiga tahun, anak pertama dia sekolah, suaminya kerja, kayanya sih dia banyak duitnya deh! Gimana, kalau kita jarah rumahnya aja, kalau pagi kan gak ada orang, gimana tuh?" Roy, berbicara dengan nada penuh rencana jahat. Semua temannya tersenyum manis, mereka menyetujui rencana Roy yang jahat itu.
Mereka datang ke rumah korban dengan alasan tugas sekolah. Korban benar-benar tidak menyangka bahwa itu adalah hari terakhirnya untuk hidup. Itulah seyum terakhir yang menghiasi wajahnya di pagi hari.
"Walah ... sejahat itu demi uang kalian rela membunuh korban! Kalian, itu seharusnya banyak belajar, bukan main-main apalagi dengan nyawa orang lain! Sungguh, terlalu ...! Masa muda itu, harusnya menjadi masa yang indah, berteman dengan orang yang baik, agar kebawa baik, ini temenan dalam kejahatan!" Ucok menggelengkan kepalanya.
"Kamu, seorang gadis ...?" Angga bertanya kepada salah satu tersangka. Yang menutupi wajahnya dengan masker, dan topi. Gadis remaja itu menunduk malu, terdengar isak tangis kecil.
"Hmm ... kalau sudah begini, bagaimana lagi, walaupun kalian dibawah umur, mau lelaki atau perempuan kalian telah melakukan tindakan kriminal! Bukannya, kalian tahu jika seseorang bersalah dan melakukan tindakan kejahatan, maka ia akan dihukum dan dipenjara! Kalian, sudah menyia-nyiakan masa remaja kalian! Lihatlah wajah orang tua kalian! Sedih, kecewa dan sangat menyesal. Mereka, berharap banyak pada kalian, tapi apa? Yang mereka dapatkan hanyalah sebuah kekecewaan dan air mata!" Angga, menegaskan anak-anak tersebut. Anak-anak itu, bersimpuh meminta maaf. Mereka sangat menyesali. Dan mereka semua menangis histeris. Memeluk orang tua mereka.
"Meskipun, kalian semua menangis, itu tidak akan pernah mengubah apapun, kejahatan yang kalian lakukan harus kalian pertanggung jawabkan!" Angga, mengusap kepala mereka.
"Saya, harap kalian menyesali semua yang telah kalian lakukan! Sehingga, tidak akan mengulangi kesalahan yang sama! Dan, berhenti untuk mengecewakan orang tua kalian!" Mereka semua benar-benar menangis.
"Kakak, terimakasih sudah membantu memecahkan kasus Ibu dan Adikku!" Aira, memeluk Nilam.
"Sama-sama sayang!" Ia membalas pelukan gadis kecil yang malang itu.
"Kakak, sama polisi ganteng itu cocok banget! Kalian pacaran?" Aira, dengan polosnya menanyakan hal tersebut. Ayah, Aira langsung menggendongnya. Seketika, wajah Nilam berubah menjadi merah. Angga hanya tersenyum dari kejauhan.
"Aduh, jangan banyak tanya! Kasihan, jadi malu Kakaknya!" Ayah Aira berpamitan pulang dan mengucapkan banyak terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments