Mulutku asyik mengunyah makanan tapi hatiku sibuk berpikir siapa laki-laki yang pantas kubawa keacara wisuda nanti?
Huft! Aku menghembuskan nafas dengan kasar.
" Kenapa Zah..?" Tanya mama heran.
" Enggak papa ma." Jawabku singkat.
" Kamu bingung mikirin tantangan sama papa?" Mama mendekatkan wajahnya ke hadapanku.
" Mama lama-lama kayak Detektif aja." Elakku sambil menggeloyor pergi.
Jangan sampai mama dan papa tahu masalahku. Bisa di ketawain habis-habisan aku.
Susah banget ya uda tua. Batinku ribut sendiri sampai ngatain aku uda tua segala.
Aku berjalan masuk kekamar. Mengambil handphone dan mau nelpon Putri. Satu hari aja gak ketemu Putri, sahabat solehaku yang bersuara cempreng dan paling alim rasanya rindu banget seperti satu tahun gak ketemu. Hehehhe... Lebaynya aku.
Tut...tut...tut...
(Halo assalamu'alaikum sahabatku yang cantik..)
Kujauhkan telingaku dari loud speaker handphone.
Dasar Putri, emang gak bisa ya nurunin volume suara gumamku.
( Jangan kencang-kencang suaranya, telingaku sakit.) Jawabku ketus.
( Pengen nelpon tapi jawabannya ketus. Aku tutup ya.)
Idih ngancam vanget nih anak.
( Jangan sombong dong... Aku lagi butuh teman curhat nih...) Jawabku cepat.
( Mau cerita apa? Jangan hari ini ya.. aku ada janji sama seseorang. Gak enak orangnya ada dihadapan ku) suaranya berbisik.
( Gaya banget sih? Ya udah deh. Assalamu'alaikum)
Kuputus panggilan di telpon.
Tiba-tiba masuk pesan dari mas Erik, (tolong mas Zah! Satu kali ini aja pinjam duitnya dua juta, seminggu lagi mas balikin."
Akhirnya dengan berat hati aku kembali mengirim uang ke nomor rekening mas Erik. Aku mengirimkan bukti transfer kepada mas Erik namun belum ada balasan. Mudah-mudahan saja dia bukan lelaki hidung belang yang hanya memanfaatkan seorang wanita ucap batinku dalam hati.
Ya Allah liburan kok malah membosankan.
Aku kembali mengontak- ngatik handphone ku dengan membuka logo biru.
Rata-rata teman seusiaku sudah menikah. Apakah mereka bahagia dengan menikah muda? Batinku sibuk menerka-nerka.
Tok..tok..tok..
Pintu kamarku di ketuk,
" Masuk.."
Wajah mama menyembul dari balik pintu.
" Cari baju buat wisuda kamu yuk..!" Ajak mama."
" Serius ma?" Tanyaku tak percaya.
" Iya, siap-siaplah mama tunggu di depan ya." Jawab mama sambil berlalu dari kamarku.
Aku mengganti pakaianku. Celana kulot dipadukan dengan kemeja jauh lebih nyaman bagiku. Tak lupa jilbab, tas dan sepatu dengan warna senada agar tampilanku lebih menarik. Tak lupa wajahku dipoles dengan riasan ringan agar lebih segar.
Setelah merasa oke, aku pun keluar kamar.
" Yuk ma!" Ajakku.
" Uda?" Tanya papa.
Aku mengangguk, " papa ikut?"
" Iya." Jawab mama santai.
Akhirnya kami bisa jalan lagi bertiga setwlah sekian lama papa dan mama selalu sibuk.
Aku duduk di belakang sementara mama dan papa duduk di depan berdampingan.
Saat sampai di lampu merah mobil kami berhenti tepat di belakang mobil sport hitam.
Aku menegakkan posisi dudukku. Sepertinya aku mengenal mobil sport hitam ini. Aku melihat plat yang terpasang di belakang mobil. Bodoh! Kenapa alu tidak pernah memperhatikan plat mobil mas Erik. Aku menepuk jidat ku sendiri. Menyadari kebodohan yang kulakukan.
" Kenapa Zah? Main tepuk jidat, nanti anemia loh..." celetuk papa.
"Amnesia papa..!" Mama berteriak sedikit kencang membetulkan ucapan papa.
Aku terkejut bukan main. Karena trlalu fokus memperhatikan mobil sport didepan. Aku jadi lupa kalau sedang bersama mama dan papa.
Lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Mobil perlahan mulai melaju. Mobil yang kami kendarai masih berada di belakang mobil sport. Jantungku ikut berdetak. Perasaanku mengatakan bahwa itu benar mobil milik mas Erik, tapi bagaimana aku bisa yakin? Sementara aku hanya melihat kesamaan warna dan merk. Mataku tak pernah lepas mengawasi mobil sport hitam itu. Hingga sampai di sebuah pertigaan, mobil tersebut masuk kedalam hotel berbintang lima yang ada di sebelah kiri di pinggir jalan.
Spontan aku menurunkan kaca jendela mobil. Aku ingin melihat jelas siapa pemilik mobil Sport hitam itu. Tapi nihil sampai mobil kami menjauh pemilik mobil itu tak juga turun.
Huft! Aku menghela napas kasar. Hati seperti tidak tenang.
" Kenapa Zah? Gelisah banget nampaknya. Gak biasanya sampai nurunin kaca." Tanya mama heran.
" Gak papa ma tadi cuma kayak nampak Putri aja sekilas." Bohongku.
" Loh nampak Putri kok gak di panggil aja? Kan bisa di ajakin sekalian milih-milih baju." Tanya papa tanpa melihatku.
" E..ternyata bukan Putri pa.. makanya Zahra gak panggil." Jelasku.
" Oh... Gitu ya?" Tanya mama dan papa berbarengan.
" Iya." Jawabku singkat.
***
Kami sudah sampai di toko baju langganan mama.
Mama asyik memilih pakaian yang akan kami pakai di acara wisuda nanti.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Melihat pesan di aplikasi berlogo hijau. Belum ada balasan dari mas Erik. Tapi sebenarnya pedanku sudah terkirim karena sudah centang dua. Iseng-iseng aku mengirim pesan singkat pada mas Erik.
( Assalamu'alaikum mas, sedang apa?) Terkirim, namun tidak terbaca. Mungkin mas Erik sedang sibuk. Aku tidak boleh berburuk sangka padanya.
" Zah?" Panggil mama mengagetkanku.
" Eh..iya ma." Aku mencoba bersikap biasa agar mama tak curiga.
" Tamu undanganmu mau di kasih ukuran apa?" Tanya mama.
" Tamu undangan siapa ma?" Aku balik bertanya. Bingung. Aneh deh mama, batinku kesal.
" Loh katanya kamu mau ngundang calon suami kamu?" Tanya mama tanpa basa basi.
Sontak ucapan mama membuat pemilik toko beserta karyawannya ikut tertawa tak terkeculi papa.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Wajahku terasa panas, mungkin sekarang sudah memerah bak kepiting di rebus.
" Ketahuan ya... Masih jomblo?" Celetuk papa mengejekku.
" Kasih ukuran L aja ma!" Sahutku tanpa basa basi.
Mood ku berasa hilang. Rasanya aku sudah ingin pulang dan menelungkupkan wajahku di balik bantal.
Aku tidak tahu, apakah nanti mas Erik bisa hadir di acara wisudaku. Tapi yang terpenting saat ini tetap memesankan satu kemeja untuk mas Erik.
Kami sudah berbelanja baju, sekarang sedang menuju ke toko sepatu yang juga menjadi toko langganan mama.
Aku memilih sepatu kesukaan dengan model sederhana namun tampak mewah.
Hingga tiba akan membayar," kamu bauar sendiri kan sepatunya Zah?" Tanya mama.
Aku menggeleng," bayarin dulu ma, nanti satu minggu lagi Zah ganti." Jawabku meyakinkan mama.
Tanpa banyak tanya mama membayar semua barang belanjaan kami.
" Uda siap belanjanya?" Tanya papa.
" Sudah pa. Eh pa, papa belum transfer uang bulanan sama Zahra ya? Tanya mama serius.
" Ya sudahlah ma, tepat setiap tanggal dua puluh lima. Gak pernah telat sekalipun." Jelas papa dengan santai.
Mama memandangku tajam dengan penuh selidik.
Aduh..apa yang harus kulakukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments