Flashback
Ciya tetaplah Ciya. Gadis itu terus saja berusaha mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Seperti saat ini, Ciya gagal mengetahui nama kakak seniornya itu, namun dia tetap mencari sumber untuk mengetahuinya.
"Permisi, Kak. Kakak tahu nama kakak yang tadi ada di tengah lapang sama Ciya gak?" tanyanya pada seorang perempuan yang baru saja lewat di hadapannya.
"Yang mana? Gue gak lihat!" jawab orang itu ketus.
"Yah ... ya udah gak apa-apa." Ciya berlarian mencari mangsa baru. Dia benar-benar tak akan menyerah untuk yang satu ini.
"Kak!" Ciya memanggil seorang pria yang penampilannya terlihat sedikit urakan.
"Hmm apa?" Pria itu menoleh dengan wajah dinginnya. Anting hitam yang tersemat di telinga kanannya menjadi perhatian Ciya.
"Kakak gak dimarahin pakai anting ke sekolah?" tanya Ciya dengan mata membulat.
Sementara pria yang ditanya itu menaikan salah satu alisnya tak mengerti dengan pertanyaan gadis di hadapannya itu.
"Ah bukan-bukan. Bukan itu yang mau Ciya tanyain." Ciya mengibas-ibaskan tangannya, lengkap dengan kepala yang menggeleng-geleng.
"Kakak tahu kakak yang tadi di lapangan gak?" lanjutnya.
"Yang berdua bareng temannya itu loh, yang tadi Ciya tanya," jelas Ciya.
Pria beranting itu terlihat berpikir sejenak sebelum raut wajahnya kembali seperti semula.
"Oh Axel, tahu. Kenapa?" tanyanya. Bagaimana dia tak tahu, orang itu adalah teman sekelasnya walaupun mereka tak terlalu dekat.
"Jadi, namanya kak Axel?" tanya Ciya memastikan.
"Hmm," jawab pria itu.
"Yaudah, Ciya pergi dulu ya Kak. Makasih. Dadah." Ciya melambaikan tangannya pada orang yang baru saja Ciya tanya.
Flashback End
Pucuk kelapa yang melambai tertiup angin terlihat jelas dari balkon kamar Ciya.
Gadis itu menggeliat dalam tidurnya saat suara burung masuk dalam indera pendengarannya.
Walau begitu, sang tuan sepertinya enggan membuka netranya hanya untuk melihat jam kecil di nakas samping tempat tidurnya.
"Ciya, Sayang bangun!" teriak sang bunda dari luar kamar putrinya.
Wanita berumur yang terlihat cukup muda itu melangkah menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar putrinya.
"Kamu gak ke sekolah? Mau bolos, baru juga beberapa hari kamu sekolah," bisik bunda Ciya saat Ciya sudah ada di hadapannya.
"Eemm, lima menit lagi, Bunda," erang Ciya. Gadis itu malah menaikan selimut merah mudanya hingga menutupi wajah.
"Ya udah, kamu berangkat sendiri nanti. Bunda sama Ayah mau berangkat duluan aja." Bunda Ciya berusaha mencari alasan agar anak gadisnya itu mau bangun.
"Ish Bunda ngeselin banget. Ciya gak mau berangkat pake ojek lagi. Abangnya bawel, nanya-nanya mulu," kesalnya. Ciya menyibak selimutnya hingga terpampang wajah bantal Ciya dengan rambut acak-acakannya.
Tangan sang bunda secara otomatis terulur untuk membereskan anak rambut yang berhasil menutupi wajah manis putrinya.
"Makanya bangun, habis itu mandi. Bunda tunggu di bawah buat sarapan, ya," bujuk sang bunda lembut.
Ciya mengangguk dengan bibir sedikit maju. Gadis itu masih ingin terlelap, namun keadaan sungguh tak memungkinkan.
Dengan piyama unicorn-nya, Ciya berjalan menuju kamar mandi yang ada di kamarnya. Semua itu tak luput dari perhatian sang bunda.
Bahkan, gadis kecil itu hampir menabrak pintu kamar mandi jika sang bunda tidak mengingatkannya.
"Dasar anak kecil,"desis sang bunda.
***
"Pagi Ayah," sapanya ceria. Gadis itu adalah Ciya. Dengan seragam sekolah ditambah kardigan merah muda yang dia kenakan membuat penampilannya semakin manis. Jangan lupakan juga rambut yang dia ikat ekor kuda hingga memperlihatkan leher jenjangnya.
"Pagi, Sayang." Ayah Ciya tersenyum dan menutup koran yang semula dia baca.
"Bunda gak disapa?" tanya bundanya.
"Engga, Ciya lagi kesel sama Bunda." Ciya mendudukkan dirinya di kursi depan bundanya.
"Kesel kenapa?"
"Bunda tadi bangunin Ciya, padahal Ciya lagi ngantuk banget." Ciya menjawab seraya mengambil roti yang ada di hadapannya.
"Bunda juga pake ngancam Ciya," lanjutnya.
Sang bunda tak ambil pusing dengan itu, dia tahu Ciya akan kembali seperti biasa beberapa menit kedepan.
Ayah Ciya juga hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah istri dan putrinya.
"Ya udah gak apa-apa. Nanti Bunda mau beli bakso di depan kompleks." Lagi-lagi bujukan seperti itu yang bundanya keluarkan.
"Tuh kan, Bunda emang suka banget goda Ciya," kesalnya.
"Udah-udah, kalian ini ribut terus. Kapan makannya?" tanya sang ayah.
Suasana seperti ini memang wajib bagi mereka mengingat keluarganya hanya memiliki tiga anggota.
Akhirnya, berkat leraian sang ayah mereka sarapan dengan tenang tanpa suara sedikitpun.
***
Ciya kembali sekolah dengan semangat baru. Dia diantar oleh bunda dan ayahnya.
Sepanjang perjalanan mereka bernyanyi ria dengan musik yang mereka putar di mobilnya.
Entah karena terlalu semangat bernyanyi atau cuaca memang sangat panas, kini keringat bercucuran di dahi Ciya.
"Ciya tunggu!" Ciya membalikan badannya saat dirasa ada orang yang memanggilnya dari arah belakang.
Netranya menangkap sosok yang dia kenal. Mungkin orang pertama yang dia kenal saat masuk ke sekolah ini.
Ciya melambaikan tangannya meminta temannya itu untuk segera menghampirinya.
"Naik apa lo ke sekolah?" tanya gadis itu. Ya, gadis itu adalah Daania. Gadis yang terlihat sedikit tomboy namun baik hati itu dengan suka rela bersedia menjadi teman Ciya yang polos tak ada duanya.
"Mobil, sama bunda, ayah juga," jawabnya. Mereka mengobrol sambil terus melangkahkan kakinya menuju kelas mereka.
Tenang, sekarang mereka tak perlu berputar mengelilingi sekolah lagi untuk mencari kelasnya. Mereka sudah hapal di luar kepala di mana letak kelas mereka.
"Daania sama siapa ke sekolah?" tanya Ciya.
"Naik bus,"jawab Daania.
"Bry, tuh kakak kelas yang kemarin, kan?" tanya Daania saat netranya menangkap sosok pria yang dikejar-kejar oleh Ciya.
"Ih iya!" Ciya melompat-lompat semangat.
"Ciya ke sana dulu ya, Daania ke kelas duluan aja." Tanpa menunggu jawaban dari Daania, Ciya segera berlari menghampiri pujaan hatinya.
Sambil berlari, gadis itu merogoh susu kotak dalam tasnya.
"Kak Axel!" teriak Ciya.
Axel memejamkan matanya jengah. Dia sudah sangat hapal dengan suara cempreng ini. Pria itu menambah kecepatan berjalannya diikuti dua orang temannya.
"Tunggu!" Ciya menghadang jalan yang akan dilalui Axel dengan merentangkan kedua tangannya.
Teman Axel, Dylan dan Dhavin saling berpandangan sebelum kemudian Dylan menepuk pundak Axel dan berkata ...
"Kita duluan," ucapnya. Tak ada jawaban, Axel hanya diam sementara netranya menatap lurus gadis di hadapannya.
"Ini buat Kak Axel." Ciya menyodorkan sekotak susu pisang ke hadapan Axel, namun tanpa di duga Axel menghempaskan tangan Ciya hingga susu kotak itu juga ikut terlempar.
"Gue gak suka!" bentaknya. Kini susu pisang itu sudah tumpah di samping kaki Ciya berkat hempasan kuat Axel.
Ciya masih tersenyum, mungkin kak Axel-nya memang tak suka susu pisang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments