Hari terakhir angkatan Ciya melaksanakan MOS, namun meski begitu rasanya hari-hari Ciya sama saja. Tak ada yang berubah sedikitpun, hanya saja kini matanya mengitari setiap sudut sekolah untuk mencari sosok yang sangat ingin dia temui.
Selama MOS, Ciya mendapatkan banyak teman baru. Tak hanya Daania, kini juga ada Beyza. Mereka kompak mengejar Ciya yang sedari tadi mengelilingi sekolah.
“Ciya! Udahlah besok lagi aja,” ucap Beyza.
“Gak bisa Za, Ciya harus ketemu kakak ganteng hari ini terus Ciya mau minta nomor ponselnya juga,” jawabnya.
Napas mereka memburu saling beradu, namun berbeda dengan Ciya yang hanya celingukan mencari pujaan hatinya.
“Ketemu!” Sontak Beyza dan Daania mengikuti arah pandang Ciya. Mereka semua penasaran seperti apa sosok yang sangat dikagumi temannya itu.
Lagi-lagi Ciya berlari menghampiri pria yang tengah berjalan melintasi lapang bersama seorang temannya. Semua tindakan Ciya tak luput dari perhatian Daania dan Beyza. Alih-alih menghampiri Ciya, teman-temannya itu hanya menyaksikan tingkah Ciya dari kejauhan.
“Kakak! Yang kemarin Ciya siram kan?” tanya Ciya tanpa berpikir. Bahkan napasnya masih terengah saat ini.
Axel menaikan sebelah alisnya saat sadar siapa yang saat ini tengah ada di hadapannya. Sementara teman Axel terdiam sejenak sebelum akhirnya gelak tawa terdengar menggelegar di sudut lapangan itu.
“Lo disiram, Xel?” tanya temannya itu.
Pria dengan badan lebih tinggi daripada Axel, dia adalah Dhavin Alvaro. Terkenal dengan keceriaan dan keusilannya. Contohnya seperti saat ini, jika semuanya akan menutup mulut karena takut pada Axel dalam keadaan seperti ini, dia malah dengan sengaja menggoda temannya itu.
“Berisik!” bentak Axel. Seketika suasana menjadi sepi.
“Mau apa lo?” tanya Axel pada gadis kecil di hadapannya itu.
Senyum Ciya mengembang saat sadar jika Axel mau berbicara padanya. Hal sepele namun mampu membuat kupu-kupu di perut Ciya berterbangan.
“Kakak kan kemarin udah maafin Ciya, sekarang Ciya mau kenalan sama Kakak, boleh kan?” ucap Ciya semangat.
Tangan Ciya terulur ke arah Axel berharap pria itu bersedia menjabat tangannya. Sudah terhitung beberapa menit setelah Ciya menyodorkan tangannya, namun Axel tak kunjung membalasnya.
Dengan kasar Axel melewati Ciya begitu saja dan sedikit menabrak bahu Ciya. Senyum Ciya luntur saat mendapat kenyataan bahwa niat baiknya itu ditolak.
“Maafin teman saya ya adek manis,” ucap Dhavin. Mereka berjalan melewati Ciya dan pergi dari sana.
Ciya menundukkan kepalanya dan menurunkan tangannya. Dia gagal mengetahui nama pujaan hatinya.
Temannya yang melihat Ciya ditolak mentah-mentah segera menghampiri Ciya dan berusaha menghiburnya.
“Kenapa kakak ganteng gak mau kenalan sama Ciya ya? Ciya jelek ya?” tanyanya pada Bezya dan Daania.
“Enggak, lo cantik. Mungkin emang dia belum mau kenalan sama lo,” jawab Beyza dan sedikit menggelengkan kepalanya.
Ciya mengangguk percaya dengan apa yang diucapkan Beyza.
“Ciya akan coba lagi,” ucapnya.
“Iya dong, lo kan orangnya pantang menyerah jadi masa baru segini udah nyerah.” Daania berusaha memanasi keadaan agar Ciya kembali semangat dengan niatnya.
Ciya mengeraskan rahangnya, tangannya terangkat dan mengepal di udara.
“Semangat!” ucapnya pada dirinya sendiri.
***
“Xel, siapa yang tadi?” tanya Dhavin. Bukan Dhavin namanya jika tak bawel dan selalu ingin tahu dengan urusan orang.
“Gak kenal,” jawabnya singkat.
“Bohong lo, gue tahu lo kenal sama tuh cewe.” Dhavin terus saja menggoda Axel sepanjang jalan menuju kantin.
Axel tak menanggapi ucapan Dhavin, dia memilih diam dan terus berjalan menuju kantin mengingat perutnya belum diisi sejak kemarin sore.
“Apa nih?” tanya Dylan. Salah satu teman Axel yang kini sudah berada di kantin dengan makanan di hadapannya.
“Tadi ada cewe yang nyamperin nih anak,” jelas Dhavin.
“Terus?” tanya Dylan.
“Dicuekin dong.” Dhavin tertawa kencang di tengah keramaian kantin.
“Udah biasa,” ucap Dylan.
Dylan dan Axel berteman cukup lama, jadi dia tahu bagaimana sifat Axel. Begitulah sifatnya, hanya pada orang-orang tertentu saja sifatnya melunak.
Entah karena apa Axel menjadi seperti itu, setahunya dulu pria jangkung itu tak sedingin sekarang. Tapi sekarang sangat jauh berbeda dengan Axel dimasa lalu.
Axel mendengus kesal mendengar kedua temannya bergosip ria tentangnya, namun Axel memilih mengabaikannya dan melanjutkan memesan makanan.
“Kak Axel?!” Pria yang merasa terpanggil itu menolehkan kepalanya ke arah orang yang memanggilnya.
“Lah cewe tadi, kok dia udah tahu aja nama lo, Xel?” tanya Dhavin. Axel juga heran dengan itu, netranya terus saja memandangi gadis yang baru saja datang ke hadapannya itu.
“Ciya tahu sekarang nama Kakak, hebat kan?” bangga Ciya. Tanpa meminta ijin sang tuan, Ciya mengambil tempat duduk di samping Axel dan menopang dagunya, sementara tatapannya hanya tertuju pada wajah Axel.
“Lo apaan sih?!” ucap Axel merasa risih dengan pandangan Ciya.
“Ciya lagi lihat pemandangan yang indah banget,” ucapnya semangat.
Axel memutarkan bola matanya kesal. Dia masih saja terfokus pada makanannya dibandingkan menanggapi bocah aneh itu.
“Kak Axel kelasnya di mana?” tanya Ciya.
Tak ada niatan bagi Axel menjawab pertanyaan Ciya, sementara itu sebuah suara menginterupsi pertanyaan Ciya.
“Heh bocah, dari mana lo tahu nama dia?” tunjuk Dhavin. Dylan yang memang bersifat acuh itu memilih menyaksikan percakapan orang-orang aneh di hadapannya itu.
“Oh itu, tadi Ciya tanya-tanya sama orang di sekolah. Katanya kak Axel gak suka ngomong ya? Jadi dia gak jawab pertanyaan Ciya tadi.” Gadis itu menyampaikan informasi yang dia dapatkan dari orang-orang yang dia tanyai.
“Iya dia gak suka ngomong,” jawab Dhavin.
“Eh, Daania sama Beyza ke mana ya?” tanya Ciya pada dirinya sendiri. Pandangannya berputar mencari sosok teman yang tadi ada di belakangnya.
“Ciya ... gila lo! Cape tahu ngejar-ngejar lo!” ucap Daania yang baru saja datang. Napasnya terengah dengan keringat bercucuran di sekitar pelipisnya.
“Maaf maaf. Daania sama Beyza mau minum? Ambil aja, nanti bayar,” ucapnya polos. Dhavin dan Dylan yang mendengar penuturan Ciya hanya melongo dengan mulut terbuka lebar.
Sementara Daania dan Beyza tidak peduli dengan perkataan Ciya, mereka tetap mengambil minuman dingin yang langsung tandas seketika. Untuk bayar, biarlah nanti mereka mendesak Ciya.
“Tuh kan Ciya jadi lupain Kak Axel. Kakak, Ciya boleh ya minta nomor hp Kakak,” Ciya memandang Axel dengan mata berbinar. Gadis itu kembali berharap agar Axel bersedia memberikan nomor ponselnya.
Ciya mencoba mendekati Axel dengan mempersempit jarak antara mereka. Axel yang merasa risih dengan perlakuan Ciya padanya segera bangkit dari posisi duduknya.
“Siapa lo berani-beraninya minta nomor hp gue?! Segitu pentingnya lo buat gue, hah?” bentak Axel. Wajahnya memerah menahan amarah. Ciya yang lagi-lagi mendengar bentakan badannya sontak bergetar hebat dengan wajah memucat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments