Dinginnya malam perlahan memasuki kamar. Kamar ini gelap hanya ada cahaya dari televisi yang menampilkan sebuah program berita malam.
[ Langsung ke kasus berikutnya. Adanya vampir. ]
"Vampir?" gumam sosok yang sedang duduk di sofa.
[ Sudah banyak beberapa bukti dengan adanya keberadaan mereka. ]
"Bajingan-bajingan itu."
[ Mereka di antara kita! Bahkan saat menonton sekarang. Pikirkan tentang orang-orang di sekitarmu, salah satunya mungkin adalah vampir. Berhati-hatilah dan selalu waspada di manapun kamu berada. ]
Layar televisi berubah hitam total, karena dimatikan pemiliknya.
Athlas. Sosok yang bersandar pada sandaran sofa, menenggelamkan wajahnya di jarinya yang solid.
"Pfft," menahan tawa dalam seringai, kedua bola mata berwarna merah menyala menyorot tajam, "Benar-benar membuatku kesal."
**
Tiga minggu kemudian.
Selama itu pula Zeline selalu mengawasi Athlas Aldridge. Dia benar-benar memperhatikan muridnya itu.
Seperti saat ini, Zeline sedang mengintip para murid yang sedang berdiri di depan lab bahasa dari balik tembok, lebih tepatnya mengawasi satu-satunya pemuda berkulit putih pucat.
"Kau akan bermain sepak bola dengan kelas di sebelah saat jam makan siang, bukan?" tanya seorang pemuda jangkung berkulit eksotis──Delano Lawrence.
"Benar! Jam ke 5 adalah pendidikan jasmani! Aku ingin melakukannya!" jawab Athlas semangat.
"Aku membeli sepasang sepatu bola baru, tapi aku punya lecet di tumit dan jari kakiku yang panjang. Itu akan sangat sakit jika memakainya, bukan?" keluh Delano.
"Duh... Itu akan sangat sakit," ucap Athlas menatap prihatin, "Apa kau masih bermain sepak bola?"
"Tidak ada yang bisa kulakukan. Aku akan senang mengotori sepatuku baruku saat bermain bola."
"Aku tahu agar tidak lecet."
"Apa itu? Beritahu aku."
"Tumit harus direkatkan..."
Salah jika Athlas akan mengalami kesulitan bergaul dengan murid lainnya. Dia justru sangat disukai semua orang. Bahkan sudah menjadi populer di sekolah ini. Tidak heran, dia pintar dalam belajar dan olahraga, ditambah wajah rupawan yang selalu tersenyum. Sempurna dalam segala aspek.
Jelas, orang dengan ketampanan mempunyai kepribadian yang lebih baik, dia selalu dicintai oleh orang lain. Jadi dia selalu berusaha menjadi lebih baik. Bagaimana dia bertindak dan berbicara, kepribadiannya, penampilan, dan segalanya.
Namun, kepribadian aslinya tidak pernah diperlihatkan karena Athlas menyembunyikannya begitu apik. Hanya Zeline yang tahu siapa sebenarnya pemuda itu dan betapa berbahayanya dia.
Zeline juga sudah memeriksa latar belakangnya. Yakni, seorang anak laki-laki yang terlahir dengan sendok berlian. Putra ketiga dari pemilik perusahaan global. Alasan Athlas pindah dari New Zealand tidak dijelaskan secara spesifik, karena dia tidak memiliki masalah apapun di sekolahnya dulu.
Memang tidak seharusnya Zeline mencari masalah dengan Athlas, dia tidak mungkin bisa melawan si tuan muda kaya raya.
Tapi masalahnya, Athlas adalah vampir.
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Zeline mengigit kuku jari.
Haruskah dia memberi tahu seantero sekolah bahwa murid baru yang populer adalah vampir?
Namun, siapa yang akan percaya?
Zeline tidak memiliki bukti apapun, dirinya tidak mungkin mengatakan jika bisa mendengar pikiran mengerikan Athlas.
Lalu, haruskah dia diam saja ketika tahu jika murid-murid, para guru, dan staf sekolah lainnya dalam bahaya?
Meski Zeline bertekad hanya perduli dengan hidupnya. Namun, dia tidak mungkin membiarkan mereka dimangsa vampir, dia tidak bisa menutup mata.
Terlebih Zeline tidak bisa memberi pengawasan setiap saat karena harus mengajar, sedangkan Athlas bisa memangsa kapan saja.
"Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa."
Sebuah tangan mendarat tepat di pundaknya tiba-tiba. Membuat Zeline terlonjak kaget dan langsung berbalik.
"E-eh?" respon Zeline gelagapan saat melihat Jenifer yang menepuk pundaknya dari belakang.
"Butuh saran dariku?" seloroh si guru sastra.
"A-apa? Saran apa?" gagap Zeline berkeringat dingin, dia sudah seperti penguntit yang tertangkap basah.
"Aku bisa memberimu saran tentang apa yang harus kau perbuat," ucap Jenifer, yang membuat Zeline mati kutu.
"Ah, tidak!" sangkal Zeline dengan cepat, lalu memutar otak untuk mencari alasan, "Aku hanya... Hanya sedang membutuhkan salah satu murid untuk membantuku."
"Oh, begitu," Jenifer mengangguk paham.
"Ya!" seru Zeline meyakinkan.
"Sayang sekali."
Zeline menatap bingung, tidak mengerti maksud Miss. Jenifer.
"Aku kira, alasan kau mengintip di sini karena sedang jatuh cinta dengan salah satu dari siswa tampan itu," seloroh Jenifer menunjuk di mana Athlas dan teman-temannya berada.
"Apa kau gila, Miss. Jenifer? Tidak mungkin aku memiliki perasaan terhadap muridku. Itu tidak bermoral!" Zeline mengelak sepenuhnya, sampai-sampai matanya melotot.
Jenifer tertawa, "Hanya bercanda."
Kenapa dia serius sekali? Responnya sangat berlebihan. Dasar aneh. Sikapnya sangat membosankan.
Zeline terdiam mendengar isi pikiran Jenifer. Wajahnya berubah muram. Pandangan dibuang ke lantai sambil jemarinya meremas satu sama lain.
Seharusnya dia sudah terbiasa, tapi tetap saja...
Menyakitkan.
**
Panas sekali.
Rambutnya yang berwarna hitam basah terkena keringat, sedangkan kakinya dengan sigap menggiring bola.
Ayo kita lewati.
Gerakan yang gesit melewati dua pemain sekaligus, dia membuat tanda-tanda akan mengoper bola karena terik matahari semakin membakar kulitnya. Manik kuning keemasan melirik orang yang berlari tidak jauh di samping kanannya.
Orang terdekat...
"Delano!"
Dari atas sini, tepatnya dari jendela di lantai dua, Zeline dapat melihat Athlas dengan jelas sedang mengoper bola dengan peluh keringat yang sebentar lagi akan menenggelamkannya. Bahkan dia bisa mendengar apa saja yang dipikirkan muridnya itu.
Napas ngos-ngosan dan wajah terlihat merah. Athlas menarik kerah bajunya yang benar-benar basah karena keringat.
Bajuku basah semua. Aku bahkan tidak membawa kaos, dan ini tidak nyaman.
"Delano! Di sini!"
"Bro, oper kemari!"
"Athlas!"
"Bagus!"
Kepala Zeline ditundukkan, lalu sekian detik kemudian mendongak, menatap janggal. Sampai tiga kali dia melakukan itu.
Kini, matahari di langit terlihat sangat panas, cahayanya menyilaukan. Jelas karena saat ini musim panas. Tidak ada yang aneh.
Namun, kenapa vampir bisa bermain bola di siang yang begitu menyengat ini?
"Bukankah di film-film vampir akan terbakar jika terkena sinar matahari?" gumam Zeline kebingungan, lalu menyeruput kopi miliknya.
"Permainan sudah berakhir, ayo bersihkan sekarang!"
Zeline yang mendengar jika permainan sepak bola sudah berakhir, sontak melihat jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Jam makan siang akan berakhir sepuluh menit lagi.
"Baiklah, aku sudah cukup mengawasinya hari ini. Ayo berhenti dan mulai mengevaluasi soal murid-murid."
Zeline kembali menyeruput kopi miliknya, lalu membuang gelas kopi itu ke tempat sampah dan berjalan menuju ruang guru.
Apa yang ingin dia bicarakan? Kenapa menghalangi jalanku?
Tapi baru tiga langkah, Zeline menghentikan langkahnya tatkala mendengar isi pikiran Athlas yang masih di dalam jangkauannya. Dia sontak menoleh.
Dari jendela terlihat Athlas dan seorang siswi berambut panjang bergelombang tengah berjalan beriringan, keduanya tampak ingin pergi bersama.
Aku sudah lama tidak minum darah.
Mendengar lagi isi pikiran Athlas, mata Zeline mengerjap lebar.
"Jangan bilang dia..."
_To Be Continued_
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
。.。:∞♡*♥
bikin deg-deg an banget nih athlas, jadi ikutan tegang juga, semoga miss zeline bisa membantu siswi itu
2023-02-16
1