"Kenapa diam saja? Ayo jalan, Kak. Nanti kalau aku terlambat bagaimana?" imbuh Alamanda.
Elyaz menggelengkan kepalanya sambil membuka kaca jendela mobilnya. "Kita sudah sampai di depan gerbang sekolahmu, Manda. Dasar pemarah!" goda Elyaz.
Alamanda tersenyumsambil tersipu malu dan salah tingkah sendiri. "Hehehe! Terima kasih, Kak. Aku masuk dulu," ujarnya seraya membuka pintu mobil dan ke luar dari sana.
Elyaz hanya mencebikkan bibirnya, lantas tersenyum melihat tingkah lucu Alamanda. "Bahkan hanya melihatmu tersenyum saja, debar jantungku menjadi lebih dahsyat dari debur ombak," gumam Elyaz. Lantas, dia pun pergi menuju ke kampusnya.
Di dalam kelas, Alamanda duduk melamun di bangkunya. Dia masih terpikirkan akan sikap Elyaz tadi malam, yang membuat dirinya sempat ketakutan. Walaupun, keadaan tegang itu sudah mencair. Namun, tidak serta merta ingatannya lupa begitu saja.
"Manda, kamu sudah mengerjakan PR belum?" Lantang terdengar suara tanya dari Elina, sahabat sekaligus teman sebangku Alamanda.
Lamunan Alamanda buyar seketika. "Eeh, Elina. Kamu udah lama datang?" ujar Alamanda.
"Ya ampun, Manda. Kamu lagi kenapa, sih?" kata Elina sembari menyentuh dahi Alamanda dengan punggung tangannya.
"Iih, kamu itu yang kenapa, Elina? Aku tidak apa-apa," sangkal Alamanda sedikit ketus.
"Tidak apa-apa, tapi sejak tadi melamun saja. Aku tanya pun jawabnya tidak nyambung," imbuh Elina.
"Sudah diam. Guru kita datang, tuh!" peringati Alamanda. Lantas semua siswa dan siswi di kelas itu duduk dengan rapi dan mempersiapkan diri untuk belajar.
****
Sepulang sekolah, Alamanda kembali dijemput oleh Elyaz, yang ternyata sudah menunggunya sedari tadi. Gadis itu berjalan sembari menyimpulkan senyum menuju ke mobil Elyaz. Dan di dalam mobil itu, ada jantung yang berdegup sangat kencang di sana, di dalam dada Elyaz.
"Hai, Kak," sapa Alamanda sembari menyembulkan kepala dari pintu mobil yang sudah dia buka.
"Hmmm, cepat naik!" perintah Elyaz. Alamanda pun langsung naik tanpa menunggu lagi.
"Sudah makan?" tanya Elyaz seraya mengemudikan mobilnya.
"Sudah, waktu istirahat tadi. Aku makan di kantin sekolah bersama Elina."
"Makan apa?"
"Mie instant," jawab Alamanda singkat.
"Tidak baik makan mie instant terlalu sering," imbuh Elyaz dengan pandangan yang tetap fokus ke depan.
"Hidup Kakak sama sekali tidak asyik. Ini itu tidak boleh," komentar Alamanda sambil mengerucutkan bibirnya. Gadis itu tampak jengah dengan nasehat yang dilontarkan Elyaz padanya.
"Dasar pembangkang. Begitu saja marah. Aku 'kan hanya mengatakan yang sebenarnya," gerutu Elyaz.
"Hidup Kak El kaku seperti batang kayu," lanjut Alamanda mengolok Elyaz.
"Biar saja, yang penting selamat." Elyaz menjawab dengan santai.
Alamanda mulai lelah dengan perlawanannya sendiri. Kini, dia pun hanya diam. Hingga tidak terasa, mereka telah sampai di rumah.
Seperti layaknya seorang adik, Alamanda terhitung manja pada Elyaz. Tidak jarang secara tiba-tiba dia bergelayut, bahkan naik pada gendongan Elyaz. Seperti yang dilakukannya saat ini, tepat sejak keduanya ke luar dari dalam mobil.
Tidak ada siapa pun di rumah itu, kecuali seorang asisten rumah tangga yang bekerja. Mereka pun disambut ramah dengan salam selamat siang, dan dipersilakan untuk makan. Namun, saat itu keduanya belum lapar dan belum ingin makan.
"Manda, turunlah! Kakak tidak mungkin menggendongmu sambil menaiki tangga," titah Elyaz.
"Tidak mau! Pokoknya Manda ingin digendong. Ayolah, Kak. Kasihanilah adikmu yang kelelahan ini," rajuk Alamanda.
"Huuuft! Kamu tidak tahu saja, Manda. Kelakuanmu yang seperti ini membuat jantungku tidak aman," batin Elyaz merasa tidak berdaya.
Pemilik alis tebal itu mau tidak mau tetap menggendong Alamanda menuju ke kamarnya. Dengan napas yang sedikit tersengal, karena menaiki anak tangga yang lumayan banyak, Elyaz pun berhasil mengantarkan Alamanda.
"Terima kasih, Kakak," ucap Alamanda seraya melompat dari atas gendongan Elyaz tanpa aba-aba. Hal itu, tentu saja membuat Elyaz terkejut.
"Ya ampun, Manda! Kenapa tidak hati-hati? Bagaimana kalau kamu jatuh nanti, huh?!"
"Hehehe! Maka Kak El akan menyelamatkanku, benar 'kan?" jawab Alamanda dengan santainya.
"Anak nakal!" cerca Elyaz seraya menjewer telinga Alamanda.
"Awwkh! Sakit, Kakak," keluh Alamanda.
"Ini balasan untuk anak nakal sepertimu!" tandas Elyaz sambil berjalan menyurung Alamanda ke kamarnya.
Tanpa sengaja, kaki mereka saling bersandungan dan membuat keduanya jatuh dengan posisi saling bertindihan.
Elyaz yang kala itu menindih Alamanda, dengan segera mengganti posisi. Dia membalikkan tubuh Alamanda sehingga berada di atasnya. Sementara itu, Alamanda hanya diam dengan napas yang sedikit tersengal.
Cukup lama posisi itu membekukan mereka dalam tatapan yang beradu. Sebelum akhirnya, keduanya tersadar dan langsung bangkit dari rebah mereka. Lagi-lagi, detak jantung Elyaz berdegup bagai dentuman.
"Gara-gada Kak El, sih. Tanganku jadi sakit tertindih tadi!" rajuk Alamanda yang masih biasa saja. Dia tidak tahu Elyaz hampir mati menahan sesuatu yang mendesak di dalam dada dan bagian bawahnya.
"Ha? Apa itu sakit? Mana ... biar Kakak obati." Elyaz langsung panik mendengar keluhan Alamanda.
Alamanda menjulurkan tangannya yang sakit pada Elyaz. "Rasanya sedikit keram," ujar Alamanda lagi.
"Apa kita butuh krim pereda nyeri?" tanya Elyaz sembari mengusap-usap lembut lengan Alamanda tersebut.
"Tidak perlu, Kak. Sekarang sudah lebih baik kok."
"Baiklah, Kakak minta maaf, ya." Elyaz memberi usapan lembut di pipi Alamanda yang masih sedikit mendumal. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
"Kenapa Kak El masih di sini? Sana pergi ...." Alamanda menyurung pelan Elyaz hingga ke luar dari kamarnya.
"Iya, iya! Tidak perlu mendorongku juga. Aku bisa ke luar sendiri, Manda." Elyaz lantas berlalu dari sana.
Bersambung ....
Dukungannya jangan lupa, ya. ❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤🖤❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Yunita Indriani
tiap hari sport jantung tiap hari jatuh cinta pula ya El😁
2023-02-19
1