Masih dalam keadaan yang tegang, Alamanda seperti kebingungan. Antara ingin bertanya, tapi takut Elyaz akan semakin menunjukkan kemarahan. Hingga akhirnya, gadis itu berdiri. Namun, tanpa sengaja dia berbarengan dengan Elyaz yang hendak duduk, sehingga kepala Alamanda membentur ke dagu Elyaz.
"Akkhh!" Elyaz mengaduh.
"Kakak! Kakak tidak apa-apa?" tanya Alamanda cemas.
Elyaz masih tidak menjawab, tapi dia malah fokus memperhatikan wajah Alamanda dengan raut khawatirnya. Ada yang menghangat di dada Elyaz. Rupanya dia senang mendapat perhatian dari Alamanda.
"Aku tidak apa-apa, Manda. Kembalilah ke kamarmu dan tidur. Besok kamu sekolah, jangan sampai bangun kesiangan dan terlambat datang," usul Elyaz.
"Iy-ya, Kak," gagap Alamanda, lantas dia pun pergi dari sana menuju ke kamarnya.
Setibanya di kamar, Alamanda melangkah gamang menuju tempat tidurnya. "Kenapa Kak El begitu? Apa dia marah padaku? Tapi kenapa?" gumamnya penuh tanya.
"Huuuft! Sepertinya aku bercerita di waktu yang tidak tepat. Kurasa, kali ini Kak El lebih menakutkan daripada ayah dan ibu." Alamanda merebah di atas kasur dengan perasaan yang tak tenang.
Di sisi lain, Elyaz sedang tak kalah gundahnya. "Kenapa aku berperilaku bodoh seperti tadi? Kenapa aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesal dan cemburuku setiap kali mendengar ada pria yang ingin dekat dengan Manda?" ucap Elyaz merutuki dirinya sendiri.
Malam semakin larut. Cahaya gemintang tak jua muncul menyapu kegelapan. Yang ada hanya gulita pekat, berhias hati yang nyaris sekarat. Ya, Elyaz tengah berada dalam siksa cinta yang entah kapan akan bermuara.
****
"El! Manda! Cepat turun, Nak. Sarapan sudah siap." Lagi, Kania memanggil kedua anaknya.
"Biarkan sajalah, Bu. Kebiasaan sekali mereka. Apa susahnya duduk di meja tanpa harus dipanggil-panggil dulu," timbrung Emir yang sudah sibuk dengan sarapan di piring hidangnya.
"Ya, namanya juga anak-anak, Yah. Kalau tidak rajin mengingatkan, mereka akan semakin lalai." Kania memberi pembelaan.
Tidak lama berselang, Elyaz dan Alamanda tiba di sana. Lalu, mereka menarik kursi dan mulai duduk. Tampak wajah canggung Alamanda tersirat pada setiap matanya menatap Elyaz. Mungkin, kejadian semalam masih membekas dalam ingatannya.
"Manda, cepat habiskan sarapannya. Hari ini Ayah ada meeting di awal waktu, jadi tidak bisa mengantarmu. Kamu diantarkan Kak El dulu, ya," ujar Kania mengingatkan.
"Emmm, Manda bisa berangkat sendiri kok, Bu," jawab Alamanda yang ragu.
"Elyaz akan mengantarnya, Bu. Jangan khawatir." Tiba-tiba saja Elyaz menyetujui titah Kania.
"Nah, begitu dong. Ibu 'kan jadi senang kalau melihat kalian akur," cetus Kania seraya tersenyum.
Emir sudah menyelesaikan sarapannya. Kania mengantarkannya sampai ke depan pintu sambil membawakan tas dan memasangkan jasnya. Sementara itu, Alamanda masih tampak salah tingkah dan takut untuk menatap Elyaz.
"Kalau kalian sudah selesai, berangkat saja, ya. Biar Bi Nari yang rapikan semuanya. Ibu ada arisan di rumah teman pagi ini."
"Baik, Bu," jawab Elyaz. Sedangkan Alamanda hanya menganggukkan kepalanya pelan.
Detik kemudian, keduanya sudah mengarah ke sekolah Alamanda. Di dalam mobil, Gadis berkulit putih itu hanya diam seribu bahasa. Dia enggan dan sekali lagi masih merasa takut pada Elyaz.
Elyaz melirik Alamanda dengan ekor matanya. "Kenapa diam saja? Apa tidak ingin bicara lagi pada Kakak?" lontar Elyaz secara tiba-tiba.
Alamanda mendongak, jauh menatap ke dalam mata Elyaz. "Memangnya Kakak tidak akan marah lagi kalau aku ajak bicara?" jawab Alamanda dengan polosnya.
Elyaz menyeringai geli. "Jadi, sejak tadi kamu diam saja, karena takut aku marah?" katanya.
"Iih, dasar aneh. Siapa yang tidak takut melaihat mata Kakak yang merah menyala seperti tadi malam?" imbuh Alamanda sembari mendumal.
"Aku tidak marah. Hanya saja, aku tidak suka mendengar anak kecil pacaran segala," elak Elyaz.
"Ihh, Kakak ... aku 'kan sudah 17 tahun. Aku sudah bukan anak kecil lagi," protes Alamanda tidak terima.
Elyaz menghentikan mobilnya secara tiba-tiba, sampai Alamanda terperanjat kaget. "Apa seragam ini tidak cukup menjelaskan bahwa dirimu masih anak kecil," kata Elyaz sambil menarik kerah baju Alamanda sampai wajah mereka nyaris beradu.
"Menyebalkan! Iya, iya. Baiklah, aku memang masih berseragam SMA, walau aku sudah bukan anak kecil lagi!" desis Alamanda sembari menepis pelan tangan Elyaz yang mencengkram kerah bajunya itu.
Alih-alih marah, Elyaz justru tampak sangat menikmati sutuasi tersebut. Situasi di mana posisi dirinya nyaris tidak berjarak dengan Alamanda. Walaupun saat itu, Alamanda bersikap sangat ketus padanya.
Bersambung ....
Jangan lupa dukungannya, gangs! 🗡🗡🗡🗡🗡🗡🗡
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Yunita Indriani
k bab selanjutnya
2023-02-19
1