Terryl
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Prolog....
...“Hallo siang. Aku sedang memandang indah purnama yang sepi. Berharap kamu segera kembali. Bisa berikan sedikit harapan?”...
...“Hallo malam. Aku tidak sanggup memandang bentuk Surya. Tapi langit mengabarkan hari ini sangat cerah. Aku bisa menunggumu di sini”...
Tere menatap gerak daun dari bangunan tua yang sudah puluhan kali direnovasi.
Menyegarkan laman ponsel yang sudah lama tak berbalas. Tere telah menghapusnya sejak lama. Ternyata semua memang sudah selesai begitu saja.
Waktu berputar, sedangkan Tere merasa terhenti dialur gerak yang seolah sama. Rasanya seperti menghilang setelah sempat merasakan hal yang berbeda. Kapan tepatnya saat itu?. Sayangnya Tere memang mudah melupakan sebuah kisah.
Memori telah memudar ketika tahun bergulir dengan cepat. Kenyataan memang membuat cerita lampau tak terlalu sering dikisahkan kembali, atau inilah arti dari ruang waktu dan ruang tempat yang sedang saling tarik-menarik? Ya, rasanya Tere memang sudah merelakan masa lalu yang terlalu jauh melampaui waktunya.
Tere bahkan telah memulai kebiasaan memandang hatinya sendiri. Tere baru menyadari bahwa ia mulai sering mengkhayal hal yang tidak-tidak tentang pelabuhan hati. Khususnya pada pria di hadapannya yang sedang melirik.
"Deadline Re, Deadline!" tukas pria di hadapannya seraya mengintip layar komputer di hadapan Tere meminta hasil pekerjaan Tere.
Tere menoleh setelah menghela nafasnya sesaat. Ia tersenyum kuda mengisyaratkan permohonan penambahan waktu untuk melanjutkan tulisannya.
"Pending rapat bisa kan?" tanya Tere mulai tersenyum.
Pria di hadapan Tere tersenyum lebar.
"Luar biasa! oke! 15 menit masuk surel atau PHK"
"Tega!" tukas Tere.
"Memang" singkat pria itu lalu pergi.
Tere mengubah gurat wajahnya setelah pria dihadapannya tersenyum kecut dan pergi.
Sudah berapa juta kali tepatnya kesempatan menyatakan sebuah rasa tak pernah sampai terpenuhi?!
Tere menghela nafas, lalu berdiri menghampiri Revan.
"Van!" singkat Tere.
Ponsel Tere berdering. Revan melirik.
Tere justru menghela nafasnya melirik Revan.
"Mungkin itu kabar pernikahan yang dibatalkan" singkat Revan.
Tere justru tersenyum lebar, tak menghiraukan ponselnya yang masih bergetar.
"Aku sedang dilarang pergi ya?" tanya Tere.
"Dilarang kenapa?" singkat Revan.
Pintu lift terbuka dan Revan mulai masuk. Tere justru menahan pintu lift.
"Oke, Intinya ada yang akan menyatakaan perasaannya padamu dalam waktu dekat" tukas Tere dengan serius seraya berbisik.
Revan terdiam lalu mulai tersenyum lebar.
"Sudah tau" singkatnya Revan.
"Dari siapa?" Tere justru bertanya dengan spontan.
"Kenapa balik bertanya?" tanya Revan heran.
"Ah, maksudku benarkah?! tanggap Tere terkejut.
Pintu lift terbuka, dan Revan tersenyum lebar seraya berjalan menjauhi Tere.
"Tau darimana Van?!!" panggil Tere lagi.
Revan berbalik lagi seraya berucap dengan cepat, "Besok akhir pekan! Jangan sampai terlambat dan jangan tunggu aku pulang! 15 menit surel selesai!" singkat Revan.
Kenapa pembicaraan mudah teralih dengan maksud yang berbeda lagi? Intinya bukan untuk itu!.
Itulah pengulangan kata yang kerap kali membuat Tere mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Ternyata kerumitannya masih sama. Terkadang Tere menaganggapnya wajar, tapi perasannya mudah berubah di beberapa saat kemudian.
Rasanya seperti ingin memecahkan balon, tapi tanpa harus memikirkan ledakan hebat yang membuat bising.
Bagi Tere, tak ada yang lebih merepotkan jika dibandingkan dengan menahan perasaannya untuk pria seperti Revan. Ia pria yang sangat dekat dengannya setelah dipertemukan dalam regu bela diri saat SMP. Sangat tidak mungkin menyatakan perasaannya secara terus terang pada pria yang belum pernah memiliki kekasih.
Revan tidak pernah menyatakannya dengan mudah, sedangkan Tere terlalu naif menyiratkan begitu banyak makna. Bagi Tere, kebaikan seseorang adalah persamaan yang selalu tampak kembar.
Tapi bagaiamana dengan kalimat penolakan?.
Bagaimana jika prinsip cinta Revan memang sangat aneh?. Pertanyaan terakhir adalah perusak nyali nomor satu.
Tere membuka pintu rumahnya, setelah bekerja tanpa hasil yang jelas soal pengakuan cintanya. Apa besok saja? Hanya kata itu yang kerap kali muncul, dan lagi-lagi masih dengan nyali krupuk yang sama jika semua soal Revan.
"Apa ini?! Tidak bisa-tidak bisa. Kopernya sudah berat" tukas Tere saat mendapati mamah dan adik perempuannya sedang membuka koper Tere dan memasukkan tambahan hadiah yang spesial.
"Memangnya dipanggul?! Harusnya memang aku saja yang bekerja, supaya lebih mudah menutupi pelitnya kakak sendiri" ucap adik Tere.
"Aha! Tepat sekali, kapan kuliahmu selesai kalau begitu?" singkat Tere.
Adik Tere mulai menekuk wajahnya.
"Yasudah di letakkan di koper papah saja. Papah putuskan untuk tetap mengantarmu besok!" tukas papah dengan spontan.
Semua mata menoleh. Mamah segera berjalan mendekati suaminya.
“Bukankah cutinya masih tetap untuk akhir tahun pah? Tere, tolong air hangat untuk papah mandi, dan makanan spesialnya juga disiapkan" singkat mamah tersenyum seraya mulai bersikap manja.
Adik Tere hanya terkekeh melihat kakak dan ibunya yang sedang mencoba menyebunyikan maksud dibaliknya.
Esok pun berganti, dan Revan benar datang lebih awal dari apa yang sebelumnya ia perkirakan. Papah Tere sudah tersenyum membukakan pintu, namun ia justru spontan mengubah gurat wajahnya dan berjalan terburu-buru kembali ke toilet.
Tere tersenyum lebar dan segera berpamitan.
"Paparazi mana yang mengikutimu sampai sini?" tanya Revan seraya terkekeh ditengah kebisingan orang-orang yang berlalu lalang di bandara.
"Aku harap tidak bertemu papah disekitar sini" ucap Tere seraya tersenyum lebar seraya melihat sekeliling bandara, dan menutupi wajahnya dengan topi.
Revan tertawa.
"Bisa saja secara tiba-tiba om akan membeli tiket yang sama dan duduk denganmu sampai kembali lagi ke bandara ini" ucap Revan dengan serius.
Tere menoleh, seraya melotot.
"Benar juga! Aku harus selalu waspada" singkat Tere dengan serius.
Revan tertawa.
"Aku pasti akan menjadi sepertinya juga, jika aku memiliki seorang putri" tukas Revan spontan.
Tere mulai memandang Revan.
"Hmm, harusnya,.. bukankah dimulai dari ibunya. ada kriteria khusus untuk ibunya??" tanya Tere lagi dengan serius.
Revan tersenyum menatap Tere dalam-dalam.
"Belum tau" ucap Revan.
"Yang benar belum tau?!" tanya Tere serius.
"Kenapa memaksa?!" tukas Revan.
"Tidak memaksa!" timpal Tere
Revan tersenyum lebar.
"Telpon aku saat sudah sampai. Aku akan menjemputmu saat pulang" jawab Revan dengan hangat.
Tere melambaikan tangan saat Revan tersenyum melepas sebuah penerbangan yang terasa panjang.
Yah, semuanya pasti akan kembali bermuara pada masalah kebiasaan, dan kembali ragu soal cinta. Sepertinya Revan memang berhasil menyihir setiap perasaan menjadi hal yang sangat membingungkan, ataukah pertarungan hati baru saja dimulai di momen yang sedang memaksa kembali?
Yah.. Setidaknya sesaat setelah berbincang soal penerbangan dan negeri yang lain,.. Ah, akhirnya Tere memang baru saja mengingat kisah lain dari drama yang sudah lama terlupakan.
Apakah akan ada jawaban yang lain dari masa lalu yang sudah lama hilang? Itu mustahil. Apakah mereka bisa setuju mengikuti alur kisah dari orang yang berbeda? Tere tidak yakin..
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🍭ͪ.ͩMυɳҽҽყ
cinta sendiri an ya tere
2023-01-26
0
Queen Bee✨️🪐👑
agak serem yaa
2023-01-23
0
taniratari
langsung PHK dong 🤣
2023-01-23
0