Hiyola berjalan luntang lantung. Tidak ada niat untuk bekerja karena semua nya sia-sia saja. Rasanya seperti akan mati, tapi di paksa bernafas. Sepanjang jalan yang ia lalui terasa hampa. Semua nya terasa kosong.
Berkali-kali beberapa pengendara mobil bahkan motor, menegurnya karena membawa kendaraan dalam keadaan melamun, tapi tak di hiraukan. Dirinya seperti tak lagi punya tujuan hidup. Semua yang telah ia rencanakan hancur berantakan.
Pikiran akan kondisi sang bibi menghantuinya, tapi yang lebih dari itu adalah uang 158 jt yang entah dari mana akan ia dapatkan, semakin membuat nya bimbang.
Memikirkan uang sebanyak itu di gunakan untuk biaya operasi sang bibi membuat batin Hiyola bergejolak.
‘Apakah lebih baik untuk bibinya mati saja?’
Pertanyaan jahat itu sungguh terbesit di benak Hiyola. Di satu sisi ia menyalahkan dirinya yang kala itu menerima sang bibi untuk tinggal bersama mereka tapi, di sisi lain, dirinya pun merasa kasihan pada sang bibi.
Kenangan di tinggal eleh orang tersayang membuat Hiyola menerima nya tanpa berpikir panjang. Bukan nya jahat, hanya saja ia sudah tak sanggup menerima penderitaan orang lain lagi, sementara penderitaan nya sendiri tidak bisa ia tangani.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Matahari begitu terik menyinari bumi, namun Hiyola masih betah mengendarai motornya, tanpa menghiraukan teriknya panas yang semakin membakar kulit.
Sepanjang perjalanan Hiyola terus memikirkan cara cepat agar ia bisa mendapatkan pinjaman, namun tidak ada satupun yang terlintas. Dia sudah pengalaman meminjam uang di rentenir, dan ia takakan mengulangi hal bodoh yang hampir merenggut rumah nya kala itu. Dirinya juga tak mungkin meminjam uang pada Daniel, mengingat baru beberapa hari lalu pria itu curhat tentang saham keluarganya yang anjlok, bahkan rumah mereka yang hampir saja di sita bank, jadi satu-satu nya pilihan yang ada hanya suami bibi Alya. Pria itu harus bertanggung Jawab atas semua hal yang Hiyola derita selama ini.
***
Hope berhenti tepat di depan rumah berdinding setengah beton dan setengah papan, dengan halaman yang cukup luas. Di depan rumah terdapat beberapa pohon cabai yang tumbuh subur.
Dengan sedikit ragu-ragu, Hiyola akhirnya memantapkan hatinya untuk mengetuk pintu.
Pintu di ketuk, terdengar suara sahutan dari dalam rumah. Jantung Hiyola semakin berpacu tatkala seorang gadis yang tampak lebih muda dari nya membuka pintu.
Hiyola menatap wanita itu dari kepala sampai kaki. Tidak mungkin paman nya itu menikahi wanita semuda ini? Mungkin saja gadis ini putri dari wanita yang paman nya nikahi.
“Maaf, ada perlu apa?”
“Saya mencari paman Haris.”
Gadis di depan nya memicing. Aura tidak suka begitu terpancar dari wajah muda nya.
“Untuk apa kamu mencari mas Haris?”
Glek…
Hiyola menelan salivanya.
Mendengar jawaban gadis itu, sontak mata Hiyola membulat sempurna, gadis muda ini memanggil sang paman dengan sebutan mas?
Jadi, paman nya itu benar-benar menikahi wanita semuda ini? Mengetahui kenyataan di tambah balasan dongkol gadis ini, hati Hiyola semakin dongkol. Sepertinya gadis ini tidak tahu saat ini Hiyola sangat ingin menelan orang hidup-hidup.
“Maaf, urusan saya dengan paman Haris, saya tidak ada urusan dengan anda,” Balas Hiyola tak kalah ketus.
Sang Gadis tampak tidak suka, ia ingin membalas ucapan Hiyola namun kalah cepat dari paman Haris yang entah baru dari mana.
“Hiyola?”
Hiyola berbalik, dari depan pintu pagar, pria yang hampir 18 tahun ia kenal sebagai suami Bibi nya, berjalan mendekat.
“Ada urusan apa kamu kemari?”
“Aku perlu uang untuk biaya operasi bibi.”
“Operasi? Memangnya masalah apa lagi yang bibi mu itu timbulkan?”
Hiyola mengernyit, sama sekali tidak ada raut kesedihan ataupun khawatir di wajah sang paman yang menurut Hiyola jelek, tapi malah mendapatkan seorang gadis muda.
“Bibi kecelakaan dan harus segera di tangani. Kami butuh 158 juta untuk biaya rujukan sekaligus biaya operasi nya.”
Bukan nya menjawab, Haris spontan tertawa, tawa mengejek yang sangat Hiyola benci.
"Karena itu aku berpisah dngan nya. Wanita itu pembawa sial."
Bagaimana bisa bibinya hidup dengan pria sebrengsek ini?
“tertawalah sepuas paman, lalu berikan uang nya. Aku tak punya uang sebanyak itu!”
“Kau kira kami punya uang? Sepeser pun tak akan ku berikan.” Kali ini jawaban berasal dari belakang. Istri muda paman menyela. “Katakan pada Alya untuk lebih baik mati saja.”
Tangan Hiyola mengepal, ingin rasa nya ia menampar bocah bermulut besar ini, tapi dirinya tidak punya waktu. Lagi pula di lihat dari kondisi rumah yang semakin tak terurus, Hiyola memang tak punya harapan dengan berlama-lama di sini.
Dengan senyum menyindir, Hiyola langsung berjalan melewati paman dan istri barunya nya membuat pria itu tampak kesal.
“Apa maksudmu tersenyum seperti itu?”
“Oh tidak.” Hiyola memasang helm nya, sambil memutar motor. “Aku hanya bersyukur bibi Alya memilih meninggalkan mu, paman,” Sambung nya seraya menjalankan motor kemudian melesat pergi, tak mengacuhkan teriakan dan makian dari sang paman dan istri muda nya.
Sepanjang perjalanan Hiyola mengutuki kebodohan nya karena sempat berpikir untuk meminta pertanggung jawaban paman yang bahkan menelantarkan sang bibi hanya demi perempuan bau kencur.
“Arghhh… aku berjuang setengah mati, bahkan hampir mati untuk berada di detik ini tapi semuanya kembali lagi ke awal.”
Walaupun sempat terjeda tadi, stress Hiyola kembali lagi, kali ini dengan kadar yang lebih besar. Sepertinya Tuhan memang sudah meninggalkan nya. Saat tengah memikirkan rencana berikut nya, tiba-tiba ponsel Hiyola berbunyi. Panggilan dari perusahaan tempat nya bekerja.
Perasaan Hiyola jadi tak enak. Baru kali ini prusahan menelpon nya. Apa mungkin ada masalah? Apa mungkin Perusahaan tahu mengenai pemalsuan umurnya? Bagaimana jika mereka meminta ganti rugi untuk semua uang yang ia terima?
Pikiran-pikiran buruk kembali menghantui Hiyola. Sepanjang perjalanan Hiyola semakin takut. Jantungnya berdegup tak karuan, tangan dingin nya di penuhi keringat, sementara nafasnya mulai tidak teratur.
“Apa yang harus ku lakukan?”
***
Hiyola duduk dengan posisi sedikit tidak nyaman. Berkali kali ia menggosok kedua telapak tangan pada celana berbahan kain, untuk menghilang kan keringat yang semakin banyak bercucuran. Matanya bahkan terus melirik ke arah pintu kaca, sambil menunggu dengan tidak sabar.
Dalam hati Hiyola bersumpah, jika hal buruk yang ia pikirkan tadi benar-benar terjadi, maka dia akan langsung melompat lewat jendela kaca yang tepat berada di kanan nya.
Sudah lewat lima menit Hiyola menunggu, namun tak ada seorang pun yang datang. Jantungnya semakin berdegup kencang, rupanya mereka ingin ia jantungan baru mereka akan datang.
Lama memandangi ruangan dengan beberapa furniture mewah, tiba-tiba pintu kaca itu terbuka.
Seoang wanita cantik dan elegan berjalan masuk lebih dulu, di ikuti seorang pria berjas hitam. Wanita itu duduk di depan Hiyola, di batasi meja. Sementara pria bertubuh kekar, berjas hitam tadi berdiri tegap di belakangnya.
“Kamu Kimberly?” Tanya sang wanita.
“O..? Eh…?” Hiyola gelagapan. Tak tahu harus menjawab apa. Dia baru kembali sadar saat wanita itu mengernyitkan alisnya.
“Ah, iya. Saya Kimberly.” Jawab Hiyola terburu-buru. Ia baru sadar Kimberly adalah nama samara yang ia gunakan sat melamar dan juga nama samara yang ia gunakan di aplikasi Meet me.
“Perkenalkan, saya Violeta. Istri dari CEO perusahan ini.”
Mata Hiyola membelalak. Ia spontan berdiri lalu membungkuk hormat. “Salam kenal nyonya Violeta.” Ucapnya lantang.
Violeta sama sekali tidak bergeming. “Kita langsung ke inti saja. Kau bisa ber’akting?” Menyerah kan beberapa lembar kertas.
Berkas kini berada di tangan Hiyola. Berkas itu menunjukkan maksud dari pertemuan saat ini. Walau sempat merasa senang karena apa yang Hiyola pikirkan itu tidak terjadi, kecemasan itu masih tetap ada.
“Jadi maksud anda, saya akan di bayar untuk menikahi putra anda?” Tanya Hiyola sedikit tidak percaya. Bukankah hal ini sama saja dengan membelinya?
“Maaf nyonya. Tapi saya tidak bisa.” Balas Hiyola. Ia tidak ingin hal konyol ini semakin larut. Dengan langkah cepat Hiyola segera berdiri, tidak lupa membungkuk hormat. “Saya anggap kita tidak pernah bertemu.” Ucapnya lagi, lantang.
Tangan Hiyola sudah hampir menyentuh ganggang pintu, namun kalimat yang baru keluar dari mulut Violeta menghentikan langkahnya.
“Kamu pikir saya tidak tahu mengenai kecurangan mu saat mendaftar di perusahan ini, Hiyola?”
Akhirnya apa yang Hiyola takutkan terjadi. Ia mengepalkan kedua tangan nya, dan dengan langkah berat kembali mendapati Violet.
“Anda mengancam saya, sekarang?”
Violeta mengedikkan bahunya. “Jika di telinga mu terdengar seperti itu, maka benar.”
Hiyola mencengkram rambut, frustasi. Entah masalah apa lagi yang harus ia hadapi.
“Duduk dan kita akan mulai membahasnya.”
Dengan kesal, Hiyola akhirnya duduk menuruti perintah Violeta. Dirinya benar-benar sudah terjebak. Tidak ada jalan untuk lari. Habis lah sudah dirinya di sini.
“Petra,” Violeta mulai membuka sesi negosiasi. Petra mengeluarkan beberapa lembar foto, lalu memberikannya untuk Hiyola.
Dengan ekspresi tidak suka, Hiyola mengambil dan betapa terkejutnya dia, saat melihat lembar foto yang semuanya adalah gambar diri nya. Bahkan foto saat di rumah paman nya tadi juga ada. Pantas saja tadi Hiyola merasa seperti ada yang mengikuti.
“Apa maksud semua ini?”
“Kami tahu saat ini kamu sedang membutuhkan uang untuk operasi bibi mu. Oleh karena itu kami memberikan penawaran ini.” Tutur Petra. Menyerahkan selembar cek dengan nominal 200 juta dan diletakkan di atas meja tepat di depan Hiyola.
“Jika anda setuju menikahi tuan muda, maka dua ratus juta itu akan menjadi milik anda.”
Mata Hiyola membelalak. Walaupun ia cinta uang, bukan berarti dirinya bisa di beli begitu saja.
“Kenapa harus saya?” suara Hiyola semakin meninggi. Sudah tidak ada harapan lagi.
“Karena nama di aplikasi anda adalah Kimberly.” Sahut Petra.
Sejak awal Hiyola memang tidak ingin menggunakan nya, tapi karena kata Miona, nama Kimberly itu keren, Hiyola pun hanya menurut saja.
“Apa tidak ada pilihan lain?” tanya Hiyola dengan wajah memelas.
“Tidak ada! Jika anda menolak, Anda harus mengganti rugi semua uang yang telah di berikan perusahan.” balas Petra, kali ini sedikit ketus membuat nyali Hiyola semakin ciut.
“Pilihan ada di tangan mu.” ujar Violeta meletakkan kertas dan pena di atas meja di hadapan Hiyola.
“Lagi pula kau tidak perlu khawatir, pernikahan ini hanya akan berjalan selama setahun, setelah itu kau boleh pergi.”
Hiyola terkesiap. Ia tidak tahu jika pernikahan ini hanya akan berjalan selama setahun. Kalau di pikir-pikir, ia tidak akan mungkin mengumpulkan dua ratus juta hanya dalam setahun. Uang yang ia kumpulkan selama kurang lebih 6 tahun bahkan tidak sampai setengah tawaran mereka.
Hiyola mengernyit, tampak berpikir keras. Untuk pertama kalinya ia dilema antara uang dan harga diri. Meski pun cinta uang, selama ini Hiyola tidak pernah merendahkan harga dirinya.
Berkali-kali tawaran untuk menjadi wanita malam datang menghampiri, tapi selalu ia tolak. Meskipun sedikit berbeda, artinya tetap sama dengan menjual diri. Tapi, jika ia menerima tawaran ini, hidup mereka akan baik-baik saja. Miona bisa sekolah dengan baik, makan nya juga pasti baik. Sang bibi juga bisa di operasi, dan dirinya tidak perlu mengkhawatirkan uang ganti rugi. Semua masalah mereka akan selesai hanya dengan membubuhkan tanda tangan nya.
“Argh…” gerutunya. Lagi dan lagi, ia harus mengorbankan dirinya demi orang lain. Seperti nya memang sudah taka da pilihan lain. Hanya ini satu satunya cara menyelamatkan hidup Miona, Bibi Alya dan juga diri nya.
Sementara di seberang meja, Violeta semakin greget. Dia harus melakukan keahlian nya untuk mendapatkan Hiyola. Lagi pula menurutnya, Hiyola juga tidak buruk. Dia cantik dan tubuhnya tak kalah bagus dari Kimberly. Ingin mempercepat negosiasi, Violeta dengan satu gerakan cepat mencoba memancing dengan cara menarik kertas, tapi rupanya Hiyola telah memutuskan.
“Baiklah saya setuju.” Jawaban lantang Hiyola membuat Violeta menyunggingkan senyum puas.
“Baiklah. Sekarang juga, kau akan menikah.”
“Apa…?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments