Kalau waktu terus berputar. Artinya akan ada saja perubahan yang terjadi. Bumi, Masa, Bangunan, Manusia mereka akan berubah-ubah seiring waktu berjalan. Mataku sejak tadi menari-nari mencari keberadaan papan petunjuk.
Ojek gila!. Pikirku sambil menatap ke samping.
Jalanan aspal landai, kami lewati bersama sejak tadi. Ojek ini adalah adikku sendiri, Marsya. Kira-kira sudah ada tiga bulan dia berprofesi sebagai gojek. Sengaja memang aku pesan jasanya.
Selain nanti bisa di nego, bisa juga aku omeli dia nanti jika salah jalan. Marsya, dia juga sama bisa melihat hal-hal ghaib sepertiku. Ya, mau gimana? Sesepuh kami sejak dahulu seorang cenayang.
Semacam kepala adat di daerah ini. Banyak sekali ritual yang sering leluhur kami selenggarakan. Masyarakat juga tentunya akan ikut juga. Kami beragama Islam semua sekeluarga.
Tapi ilmu Kejawen masih tetap melekat pada kami sekeluarga. Ilmu ini turun temurun. Dan rata-rata turunan kami memiliki mata batin, peka terhadap hal-hal ghaib.
Sekarang aku dan Marsya dibekali tiga rantang makanan. Ibunda menyuruhku untuk mengantarkan ini ke rumah temannya.
Selain menjadi perias mayat juga yang memandikannya. Beliau juga meladeni request warga desa atau teman dari desa lain, jika ada permintaan dibuatkan makanan. Semacam usaha catering sederhana ala Ibunda.
Memang tidak selalu ada pesanan setiap hari. Tetapi jika ada, keuntungan yang Ibunda raup cukup banyak.
Ini hari Kamis malam Jumat. Kira-kira sudah sekitar dua setengah jam kami beroperasi di jalan setapak ini. Dulu kami pernah diajak kemari oleh Ibunda. Rasa-rasanya perjalanannya tidak sampai selama ini.
Seingatku dulu waktu kami berangkat bersama Almarhum Abah, hanya memakan waktu sekitar satu jam setengah. Tapi ini benar-benar lama.
"Mbak, ini bener, kan?" candaku kepada adikku sebab ini sudah mau petang dan sejak tadi hanya jalan setapak yang kami lewati, tak ada tikungan ataupun gapura.
Tak ada rumah-rumah ataupun warung. Rasanya seperti, cuma kami saja yang hidup di sini.
"Duh, Mbak! Perasaan ya, wis bener kok!" jawabnya kepadaku.
Mataku kembali memperhatikan pepohonan. Langit di atas sana tertutupi pohon-pohon besar. Lembayungnya terlihat tidak terlalu jelas, cahaya samar-samar itu masuk perlahan di antara hutan. Remang pencahayaan di sini. Bahaya jika saat malam datang kita masih di sini.
"Hp?" ucap Marsya lalu berhenti di pinggir jalan.
Dari dalam saku dia mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atik layar ponselnya dengan jarinya.
Jam di sana menunjukkan pukul lima sore. Artinya sebentar lagi magrib menjelang, purnama akan datang. Dan gelap akan semakin petang membutakan mata kami.
Bukan kegelapan yang kami takutkan, tetapi sesuatu yang ada di dalam kegelapan itu.
"Duh!" protes Marsya sambil celingukan menatap sekelilingnya.
"Ada apa?" tanyaku kepadanya, sepertinya akan ada berita buruk yang dia lontarkan.
"Sinyale gak ada!" jawabnya padaku.
Ya, jelas saja itu lumrah! Di hutan, bagaimana sinyal bisa ada. Sinyal ponsel akan habis ditambah kita sedang ada di ketinggian. Area desa yang kami tuju letaknya naik lebih ke atas daripada desa kami.
Tanjakan semakin curam. Belantaranya juga semakin rimbun. Suara-suara binatang hutan, tentu saja bersaut-sautan. Sunyi tidak ada siapapun di sana kecuali kita berdua.
"Gimana ini? Lanjutkah, apa pulang?" tanya Marsya padaku.
Aku hanya mampu membuang kasar nafasku. Dalam hati tentu saja aku mengumpat.
Lembayung kutatap dengan kedua mataku, lekat. Di sela-sela kesibukan kami yang tak jelas.
Seorang pria berpeci putih, berbaju kokoh putih, dan bersarung, sambil mengendarai motornya melewati kami. Sontak aku menunjuknya ketika dia sudah melewati kami.
"Sya, itu, ikuti itu! Barangkali ada jalan!" ucapku pada Marsya.
"Oke, oke!" jawabnya, lalu menghidupkan lagi mesin motornya.
Kami berdua berjalan santai mengikuti kecepatan motor Bapak berpeci itu. Anehnya jalanan yang kami ikuti semakin mengecil. Tetapi, jalanannya tetap bagus.
Biasanya apabila kami masuk ke dalam desa pelosok, jalanan bebatuan makadam akan sering kami temui. Tapi, ini tidak. Jalanan ini mulus sama sekali tak berlubang.
Langitnya semakin petang, hanya ada penerangan dari lampu motor kami. Kiri kanan kami pepohonan besar. Dan aku hanya mampu menunduk tidak berani menatap kiri kanan jalan.
Telingaku mulai mengenali tiap suara yang menggema di antara pepohonan itu. Suara mbak Kunti, adalah yang paling nyaring di sana. Bising, seperti konser saja rasanya di sini.
Rimbun sekali, petang, sesekali kedua mataku tak sengaja menangkap sepasang mata merah yang mengintai.
Tidak terasa, rupanya kami sudah mengikuti Bapak berpeci itu cukup jauh dan lama. Aku membuka ponsel milikku, lantas aku terbelalak ketika melihatnya. Di sana tepat pukul delapan malam.
"Tanjakan mbak!" seru Marsya padaku.
Kepalaku yang menunduk terangkat ketika mendengar seruannya. Benar, itu tanjakan.
Apa jalannya sudah berubah?. pikirku sambil menatap ke depan.
Ketika motor kami naik semakin tinggi menanjak ke atas, lalu turun kembali menemui jalan landai. Motor kami, mati saat itu juga beserta lampunya.
Dancuk!. Umpatku dalam hati. Bisa-bisanya motor ini mati dalam keadaan ini. Baik aku dan Marsya, kami berdua sama-sama syok.
Benar-benar gelap tidak ada apapun di sini. Hanya suara binatang-binatang kecil seperti jangkrik, burung hantu dan sebagainya.
Aku yang panik sontak menyalakan lampu flash ponsel, mengarahkannya ke arah depan. Takutnya, nanti ada mobil lewat lalu tidak menyadari keberadaan kami. Jujur saja, kami takut ditabrak!
"Kok mogok?" seru Marsya geram, dia turun dari motornya begitupun dengan aku.
Aku bersimpuh menatap ke arah motornya yang bermasalah. Memberi penerangan di sana untuk mencoba mencari masalahnya.
Benar-benar motor kurang ajar!. Pikirku, mengumpat lagi.
"Mbak, ini udah gak bener mbak! Panggil Nyai, Mbak!" perintah Marsya kepadaku.
Benar, apa yang dia katakan. Kenapa sejak tadi aku tidak memikirkan itu?
Di sana aku mulai memejamkan kedua mataku, mencoba memanggil Nyai. Sosok ratu yang menjaga keluarga kami. Tapi, nempelnya dia hanya padaku. Aku tidak begitu tau dan paham darimana asal muncul dia.
Nyai!. Batinku, aku memanggilnya hingga tiga kali. Tidak biasanya sosok itu serewel ini. Biasanya panggilan pertama saja dia pasti langsung datang.
Oke, ini sudah di luar nalar. Resiko memang menghantar makanan sore melewati hutan. Ditambah, aku dan adikku adalah manusia paham ghaib. Mereka pasti mengincar kami.
"Ora teko wonge!!!" pekik diriku murka kali ini.
Lalu Marsya menunjuk ke arah belakang tubuhku. Dengan mata yang membulat, mimik muka yang membeku ketakutan. Aku yang penasaran pun menoleh.
Opo-opoan iku!. Batinku, bulu kudukku berdiri seketika. Meriang rasanya aku di sana.
Kira-kira jaraknya sekitar sepuluh langkah dari tempat kami berdiri. Di antara gelapnya malam itu.
Berdiri satu sosok nenek tua, berpakaian compang camping. Surainya yang putih berantakan. Pandangannya tertuju ke bawah tidak melihat ke arah kami.
Aku menelan ludah seketika, lalu berbalik perlahan. Sosok nenek tua itu tidak bergerak, dia disana hanya berdiri mematung.
"Baca doa!" ucapku kepada Marsya ketika aku berbalik ke arah Marsya.
Bacaan doa kami ulangi beberapa kali. Kira-kira sekitar tujuh kali kami merapal ayat kursi beserta kalimat syahadat. Akhir bacaan ke tujuh kami, menyalakan lagi lampu motor beserta mesinnya seketika, ajaib bukan?
Betapa senang dan leganya kami saat itu. Baik aku dan Marsya, kami langsung naik lagi ke atas motor lalu tancap gas dari sana.
Beberapa detik pergi dari sana, aku yang penasaran pun menoleh ke belakang. Mencoba mencari sosok nenek tua tak berakhlak yang muncul di antara kegelapan itu. Tepat ketika mataku menatap area itu, nenek itu menghilang.
Pikirkan, bagaimana nenek bongkok itu bisa berbalik menaiki tanjakan itu secara cepat. Dia bukan Spiderman, yang memiliki kemampuan super merayap memanjat dinding.
"Wong medi mbak?" tanya Marsya padaku.
"Hu'um, udah biasa itu! Sekarang gimana kita pulangnya ini?" setelah menjawab pertanyaan Marsya, aku kembali bertanya padanya.
"Lah mbak yang punya, Nyai! Kemana dia, kondisi genting begini gak datang?" tanya Marsya lagi padaku dengan nada kesal.
Perjalanan semakin panjang rasanya tanpa ujung. Bensin kami mulai menipis, dan aku mulai was-was.
Di tengah kepanikan kami atas speedometer bensin yang hampir sekarat.
Dari jauh terlihat, sebuah mobil di samping kanan jalan berhenti. Mobil itu berasap, kami semakin mendekati mobil itu.
Ah, ini kecohan!. Pikirku,sambil menatap seorang pria yang melambaikan tangan ke arah kami. Setan kelas kakap ini, di belakang mobil itu aku melihat sepasang kaki besar menjulang ke atas.
Tentu saja, aku tidak berani menatap ke atas. Sebab aku tau, energi sekelas ini adalah punya mereka para setan kelas tinggi. Mungkin dia semacam penguasa belantara ini.
Marsya sudah tau itu, jelas kami tidak berhenti. Sekalipun laki-laki itu meminta bantuan kami untuk berhenti. Dia pikir kami siapa tidak tau tipu muslihatnya.
Motor semakin menjauh dari area itu, lalu aku kembali menengok ke belakang. Benar, mobil itu menghilang tanpa jejak! Pikirkan, siapakah yang memindahkannya? Tentu saja itu bukan aktivitas manusia, bukan?
"Selagi bensin masih ada, tancap gas terus jangan berhenti!" ucapku berbisik pada Marsya.
Adikku itu cuma mengangguk-angguk saja menurutiku. Sampai akhirnya kami menemukan satu titik terang di depan. Sebuah lampu kuning, sepertinya ada kemajuan.
Sebelum kami sampai ke sana. Cahaya dari belakang menyorot kami. Cahaya itu dari lampu mobil yang terus mengklakson kami berulang kali. Aku menoleh ke belakang, seorang lelaki melambaikan tangannya, kepalanya menyembul dari jendela mobil mencoba menyapa kami.
"Mbak, mau kemana?" tanya lelaki itu padaku.
"Kami mau ke jalan raya pak!" jawabku padanya.
Lelaki itu menyalip kami, lalu mensejajarkan mobilnya dengan motor kami. Dari jendela mobil yang masih terbuka dia berkata,
"Mau ke jalan raya kenapa lewat sini mbak? Ini jalan ke tebing, lurus terus ini nanti air terjun. Sudah gak ke pakai, air terjun kering. Mau terjun bebaskah mbak ke sana?" ujar lelaki itu sambil terkekeh.
Mendengar itu baik aku dan Marsya sontak terkejut. Lalu mobil itu berhenti dan tentu saja kami juga ikut berhenti. Lelaki itu menyuruh kami mengikutinya.
Sepertinya tidak ada cara lain untuk keluar dari sini. Di tambah tidak ada orang yang bisa kami tanyai. Di situ aku memutuskan untuk mengikuti mobil lelaki itu.
Sekitar setengah jam berjalan, hembusan angin segar menerpa wajah kami. Kami keluar dari dalam gelapnya belantara itu. Kesunyian itu sekejap berubah ramai dengan suara-suara motor.
Ketika lelaki itu keluar dari dalam mobil, wajah tuanya yang kami temui di dalam hutan tadi berubah. Menjadi satu wajah yang kami kenali. Ah ini dia, sepuh, saudara jauh kami.
Dia tidak tua, hanya saja ilmu perihal ghaib. Dia lebih tau daripada kami. Itulah kenapa dia disebut sepuh oleh para saudaraku.
Sepertinya aku tau kenapa dia sampai kemari, Ibunda pasti menyuruhnya.
"Pawang Ghaib kok kejebak ke alam sebelah! Gak bisa keluar sendiri lagi!" sindirnya padaku.
"Di luar ilmu kami ini!" jawab Marsya meladeni apa yang sepuh katakan.
"Yok, cari makan yok! Aku cape'!" ucapku mengalihkan pembicaraan.
Dia terkekeh mendengar ucapanku. Tepat di sebelah kiri kami adalah warung makan, dia pun menyuruh kami untuk makan lebih dulu sebelum pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 235 Episodes
Comments
Ipank Surya
Kalau ingat kepada Allah SWT, insyaallah semuanya bakal aman🤲🤲
2025-04-02
0
Ipank Surya
mau pawang ular ,pwang ghaib,semua sama sama manusia biasa
2025-04-02
0
Ipank Surya
nyai kemungkinan takut dengan yg gelap gelap/Facepalm/
2025-04-02
0