Penjelajah Ghaib (Perkumpulan Pawang Ghaib)
Aku tidak sendiri! Bahkan ketika aku merasa sendirian di sini. Rupanya ada saja sesuatu yang mengawasiku. Malam ini hujannya cukup deras, dan aku mendekam di kamarku.
Ibunda bilang padaku bahwa ia akan pulang cukup larut. Ah, itu sudah terbiasa. Lagi pula, keluarga kami sejak dulu berprofesi sebagai perias mayat.
Aku bergumul di dalam selimutku sendiri, sambil membaca lembaran buku yang kubawa. Ini kisah jelek menurutku, kisah tentang setan tanpa kepala yang katanya bergentayangan tiap malam.
Kerupuk kulit yang kunikmati mulai berkurang, sebab kumakan. Suara tetesan air hujan masuk ke dalam kamarku. Aku sudah memberi baskom di area itu, supaya airnya tidak melebar kemana-mana.
Kamar ini remang, pencahayaan rumah kami memang selalu remang saat malam. Lampu kuning sejak dulu sering kami gunakan. Ibunda tidak memperbolehkan aku menggantinya dengan yang cerah.
Katanya penerangan temaram lebih baik. Sebab kerabat yang mati, akan senang datang kemari nantinya. Ya, itulah katanya! Mereka yang berada di kegelapan hampir tiap malam kemari.
Ibunda senang mengkoleksi setan. Aku cukup heran sebagai anaknya di sini. Lagi, sejak bayi aku sudah terbiasa untuk itu. Rasanya mentalku sudah sekuat baja.
Entah itu cuma sekedar lewat dengan bahak tawa khas, beserta rambut yang menjuntai. Atau sekedar mengagetkanku saat menimba di sumur. Sepotong kepala dengan mata hilangnya.
Atau mungkin, beberapa dari mereka berlarian menyusuri tiap area rumahku. Menabrak-nabrak tembok menembusnya, tanpa khawatir tubuhnya remuk dan sakit. Andai saja, aku juga bisa seperti itu mungkin keren juga!
Tiap malam selalu bising! Malam seharusnya tenang, bukan? Namun ini selalu bising. Walaupun aku mencoba menutup kedua telingaku, itu masih tetap terdengar.
Bayangkan, aku mendengar dua suara sekaligus dalam telingaku. Suara mereka, setan tak berakhlak. Lalu suara para manusia, entah itu ibundaku atau mungkin tetangga yang bertamu.
"Hei..."' lirih seorang bocah kecil berambut pirang datang padaku.
Bocah ini, datang lagi. Padahal aku sudah menyuruhnya pergi beberapa kali. Aku diam, fokus pada buku milikku.
"Hei!" ucapnya lagi menyapaku, kali ini kepalanya menyembul dari dalam bukuku.
Sontak aku melempar bukuku ke depan sampai terjatuh. Dan dia malah berada di hadapanku sambil tertawa. Ekspresi wajahku yang terkejut membuatnya senang rupanya. Raut wajahku murka tertuju padanya, hal itu membuatnya menunduk.
"Maaf! Aku hanya ingin berteman! Ini sudah berlangsung cukup lama loh! Dan kamu masih mengacuhkanku!" ucapnya sambil memainkan jari jemarinya.
Sejujurnya, mau dilihat dari sisi manapun. Bocah ini sangat lucu. Tidak ada genangan darah di wajahnya. Namun ciri khas orang mati masih ada di sana. Yaitu, wajahnya pucat pasih, bibirnya membiru, dan ya, kedua matanya menghitam.
Aku paham, ini adalah wujudnya sebelum mati. Setelah mati, biasanya akan sangat menyeramkan. Dia sudah mendekatiku cukup lama, mungkin sudah ada lima tahun dan aku tetap diam.
Dia juga sering bermain dengan Ibundaku. Ibundaku selalu memberinya permen kapas besar. Permen kapas itu akan di taruh tiap Jumat di sudut dapur. Lalu keesokan paginya, permen kapas itu akan dibuang begitu saja. Padahal masih utuh.
Penasaran, aku pernah mencobanya sekali ketika akan membuangnya. Rupanya, permen itu tidak lagi manis. Rasanya hilang, Ibunda mengatakan bahwa inti sari dari permen itu sudah diambil olehnya.
Ya, sudah! Sepertinya dia memang baik. Aku pun duduk bersila menghadapnya. Dia masih tersenyum kepadaku. Rumah milikku tingkat tiga, dan kamarku berada di lantai dua. Sedangkan lantai tiga rumah kami, adalah tempat menaruh pusaka-pusaka.
Di sana ada buyut, buyut yang usianya sudah cukup lama. Tubuh keriput itu sudah mati sangat lama, dan dia masih bersemayam di sana menjadi wong medi. Sebutan bagi para setan dari orang Jawa.
"Kenapa kamu tertawa? Apa yang sedang kamu tertawakan?" tanyaku kepadanya.
Dia hanya menutup kedua mulutnya sambil tetap menahan tawanya.
"Aku senang melihat kamu kaget seperti itu!" ucapnya lagi padaku.
"Sumber energimu, ya?" sindirku padanya.
Lalu dia hanya mengangguk mengulurkan tangannya kepadaku. Aku hanya terpaku menatap itu. Jabat tangan itu tidak berguna rasanya. Sebab kami tidak akan bisa bersentuhan.
"Jabat tanganku! Ayo kita berteman, Rachel!" ucapnya lagi kepadaku.
Aku menjabat tangannya. Benar, bukan? Tangannya tak tergapai, tembus tidak tersentuh.
"Tanganmu hilang! Beli lagi yang bisa kusentuh sana!" jawabku padanya sambil memainkan tanganku diantara tangannya yang tembus ketika kusentuh.
Dia menekuk mukanya, lihatlah bocah ini! Mungkin sebentar lagi dia akan menangis akibat ulahku. Biar saja, aku memang sengaja membuatnya begitu.
"Jahat sekali!" ucapnya sambil menangis.
Ini lucu, bahkan dia sama sekali tak mampu mengeluarkan air mata. Wajahnya jadi menggemaskan di sini. Andai bisa kusentuh, mungkin sudah kubuat habis wajahnya sekarang.
"Baiklah, siapa namamu?" tanyaku kepadanya.
Dia mengangkat kepalanya lalu kembali menemukan bahagianya.
"Aku Barend, Barend Van Deiderick!" jawabnya begitu riang.
Ah, tentu saja! Rupanya dia ini warga Belanda. Itulah mengapa Ibunda sangat menyayanginya. Entah darimana Ibunda mendapatkannya. Apa mungkin dia menjelajahi rumah bekas orang Belanda? Ah sudahlah, itu tidak penting juga!
"Ibunda memungutmu di mana?" tanyaku kepadanya sambil berpikir mencoba menebak-nebak jawabannya.
"Yang jelas bukan di tempat sampahkan?" jawabnya kepadaku sambil masih tersenyum.
"Kamu ini kenapa sangat suka dengan ruangan temaram? Kamu bukan anggota kita, tapi sangat menyukai gelap ya?" tanyanya lagi kepadaku sambil netranya memperhatikan atap rumahku.
Aku hanya membuang kasar nafasnya. Benar juga, aku bukan warga ghaib tapi pawangnya. Kenapa harus ku redupkan seluruh pencahayaan di sini. Mungkin ketika Ibunda pulang, aku akan memprotesnya.
"Orang tua di atas dia selalu diam! Dia tidak pernah mengusir setan negatif di sini ya? Padahal dia pemilik rumah ini!" Barend berkata kepadaku perihal setan negatif.
"Maksudmu buyut?" tanyaku kepadanya mengenai orang tua yang dia maksud.
"Ya,ya,ya! Ada seorang lelaki besar dengan cakar panjang di dapurmu tiap malam. Matanya merah marah, dan taringnya panjang sekali! Padahal di sana Ibundamu memberiku hadiah, tapi aku tidak berani menjangkaunya. Maukah kau membantuku?" tanya Barend kepadaku.
Sudah kuduga akan jadi begini. Itulah mengapa aku menutup lingkup kemampuanku untuk makhluk sepertinya. Sebab mereka pasti akan meminta tolong padaku, dan aku benci itu.
"Tidak!" jawabku singkat lalu menarik selimutku mengacuhkannya.
"Ahhhh... Bantulah aku, aku akan membantumu nanti!" ucapnya sambil melayang terbang ke sampingku mencoba menatapku lagi.
Aku memejamkan kedua mataku. Walaupun begini aku tetap masih tidak bisa tidur. Sial bocah dungu ini memang! Suaranya tidak berhenti, masih saja merengek seperti bayi!
"Yowes! Kamu, ikut aku sekarang!" Murkaku sambil melepas selimutku lalu duduk.
"Terima kasih!" ucapnya girang sambil melayang-layang di udara.
Aku mengambil sesuatu dari dalam laci. Ah ini dia, jimatnya Mbah kung. Pokoknya kalau sudah pakai ini, setan manapun pasti akan takut. Mereka pasti ngacir ketakutan. Jimat itu berupa kalung dengan batu merah delima di tengahnya. Warisan keluargaku.
Jimat sudah dipakai, aku bersama Barend mulai menuruni anak tangga. Hanya ada bunyi suara langkah kakiku di sana. Sunyi memang, tak ada siapapun hanya diriku saja hidup dan bernafas di sini malam ini.
Setibanya kakiku menghadap pintu dapur, aku diam sejenak. Dancuk!. Batinku, gila auranya kelam sekali. Namun, jika tidak di selesaikan sekarang. Bayi setan di belakangku pasti terus nangis.
Pokoknya malam ini harus selesai! Aku ngantuk!. Batinku lagi, lalu memberanikan tanganku membuka pintu dapur itu.
Sepasang mata merah menatapku lekat. Tubuhnya hitam pekat, dipenuhi bulu. Lidahnya menjulur dengan taring-taring di mulutnya. Sosok itu menatap benci ke arahku, hanya ada geraman untuknya dariku. Namun sosok itu tidak berani maju mendekatiku.
Aku merasa seperti jagoan di sini. Keberanian kakiku maju mendekatinya, sekalipun sejujurnya jantungku rasanya mau minggat saja rasanya.
Itu Genderuwo! Wong medi iku sing senengane ganggu wong wedok nak alas, nak! Cah kae ilang-ilangan di singitno Genderuwo!. Ujar satu suara salah satu khodam milikku.
(Itu Genderuwo! Orang mati itu yang suka ganggu perempuan di hutan, nak! Anak itu hilang di sembunyikan Genderuwo!)
Sosok ratu, yang kata Ibunda bersemayam dalam tubuhku. Aku hanya mengangguk saja mengerti. Ketika aku semakin dekat, aumannya juga semakin keras. Namun aku masih tetap maju. Pada akhirnya Genderuwo besar itu menghilang.
"Wah terima kasih, Rachel!" teriak Barend muncul di hadapanku.
Sumpah serapah jelas aku suarakan untuknya. Setan Iki!. Pikirku lalu pergi meninggalkannya sendiri di dapur. Sepertinya dia tidak peduli lagi padaku, sebab permen kapas yang Ibunda berikan sudah aman. Aku yakin, dia pasti sedang menyantapnya sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Lucu🤣
2024-01-11
1
own
/Smile//Sleep/ hahahha
2023-10-27
0
Elisabeth Ratna Susanti
langsung like and favorit ❤️ karena emang keren banget bikin merinding pol 👍
2023-10-17
1