Aku Istrimu Bukan Patung

Aku Istrimu Bukan Patung

Awalan yang menyakitkan

Tepat satu tahun usia pernikahan ku, tapi tidak seperti pasangan pada umumnya. Pernikahan ku jauh dari kata romantis.

Em, yaa... aku dan suamiku menikah bukan karena cinta, melainkan karena perjodohan. Suamiku adalah pemimpin di salah satu perusahan di Jakarta, yang berusia 25 tahun. Ia di tuntut untuk segera menikah, sedangkan perusahaan keluarga ku sendiri di ambang kehancuran. Entah bagaimana semua bermula. Tiba-tiba ibuku mempertemukan aku dengan nya dan membahas mengenai perjodohan kami.

Jelas aku menolak perjodohan kulot ini, aku masih ingin menikmati masa bebas ku di usia 22 tahun. Menjadi penulis terkenal dan mencapai mimpiku. Tapi demi menyelamatkan perusahaan orang tua ku, aku terpaksa menerima keputusan mereka.

Walaupun tinggal 1 atap dengan status suami istri, tapi nyatanya kami bagaikan 2 asing yang tidak saling mengenal, lebih tepatnya aku yang di asing kan olehnya, suamiku sendiri.

Aku selalu bersikap layaknya seperti seorang istri pada umumnya, membuat sarapan, makan malam, menyiapkan semua yang dia butuhkan, tapi berbanding terbalik dengan nya, dia menganggap ku tidak ada dalam kehidupannya, tidak pernah sekalipun ia menghargai apa yang aku lakukan untuk nya, masakan yang selalu aku buat selalu berakhir di tempat sampah.

Sudah satu tahun kami menikah tapi sikap dinginnya padaku tidak berubah sedikit pun.

Jika di tanya kenapa aku masih bertahan dengan nya, jawaban nya simpel, karena aku mencintai nya.

Ya, cinta, perasaan itu muncul begitu saja, beberapa bulan setelah kami menikah, tapi miris, kenapa hanya aku yang merasakan nya.

"kamu sudah bangun, mari makan, aku sudah siapkan sarapan untukmu"

Tidak ada respon sedikit pun, dia berjalan melewati ku, sudah biasa aku di perlakukan seperti ini, di anggap batu kali olehnya. Hari ini akhir pekan, jadi aku dan suamiku tidak ada kegiatan, ku habiskan hari ku sendiri di rumah dengan mengerjakan novel yang sedang ku sunting. Hanya aku, karena suami ku telah pergi sejak pagi entah kemana. Walaupun sudah menikah aku tetap bekerja di salah satu perusahan penerbitan yang cukup besar.

Aku tidak pernah menuntut hak ku sebagai seorang istri, misalnya uang bulanan. Sudah satu tahun usia pernikahan kami, tidak pernah sekalipun ia memberikan uang padaku, tidak masalah, toh aku juga bekerja.

Jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul 1 siang, makan siang juga sudah tersaji di atas meja, aku menunggunya pulang, tapi tidak kunjung datang, tanpa tersadar aku justru ke tiduran karena menunggunya. Dengan tangan menumpu kepala di atas meja, seperti orang bodoh. Apa sebenarnya yang ku harapkan, dia datang dan duduk makan bersamaku, ahh, berhenti lah mengkhayal.

Makanan yang ku buat harus terbuang sia sia untuk kesekian kalinya, tenaga ,uang, waktu, semuanya terbuang sia-sia. Setelah membereskan makanan di atas meja, aku memilih masuk ke kamar membersihkan diri. Tidak lama pintu apartemen terbuka, itu pasti dia, siapa lagi yang tau sandi apartemen selain dia.

Aku mencoba menahan diri untuk tidak keluar kamar, tapi hati ini tidak bisa di ajak berkerja sama, kaki ku justru melangkah keluar kamar menemuinya.

"kamu sudah pulang, apa kamu lapar, aku akan siapkan makan malam untukmu"

Jangan kan mengucapkan kalimat penolakan jika memang dia tidak mau, menatapku saja dia enggan. Mungkin aku hanya di anggap patung bernyawa olehnya, senyum miris terpatri di wajahku, mungkin dia menyadari itu.

...

Aku terbangun di jam 3 dini hari, aku sudah terbiasa bangun di jam seperti itu untuk melaksanakan sholat malam, sebelum mulai beribadah, aku biasanya meminum segelas air putih dulu. Ku langkah kan kaki ku menuju dapur, alangkah terkejutnya aku melihat sosok pria yang duduk di atas kursi dengan ramen yang masih mengepul di atas meja. Ku beranikan diri untuk memulai obrolan.

"Kenapa tidak membangunkan ku, kalo kamu lapar aku bisa membuatkan makanan untuk mu"

"Berhenti bersikap layaknya seorang istri di hadapan ku, aku jijik melihat tingkah mu, memuakkan." jawab nya dengan ketus.

Deg

Jijik dia bilang , apa aku begitu menjijikan di matanya. Menangis, aku tidak menangisi ucapannya, kata-kata kasar sudah menjadi makanan sehari hari untukku, aku memang mencintainya, tapi untuk menangisi sikap kasar nya padaku, aku rasa tidak perlu, aku bukan wanita yang melankolis.

Ku ambil segera air dan berlalu meninggalkan nya.

...

Seperti hari hari sebelumnya, aku sudah di sibukkan dengan urusan dapur dan rumah, menyiapkan sarapan untuk ku dan suamiku, walaupun pada akhirnya, hanya aku yang akan makan. Setelah bergulat dengan alat masak, ku sempatkan menjemur pakaian yang sudah lebih dulu ku cuci kemudian bersiap berpakaian untuk bekerja.

Setelah selesai aku duduk di meja makan menunggunya untuk mengajak sarapan bersama, beberapa menit berselang, ku dengar langkah kaki yang terburu buru turun dari tangga, dengan cepat aku menemui nya untuk sekedar menawarkan makan.

"Fahri, aku sudah siapkan sara---"

"Minggir! jangan menghalangi jalanku" aku terdorong beberapa langkah ke belakang hingga membentur tembok, Karena ulahnya.

"Fahri! ada apa, aku hanya menawarkan kamu untuk makan, kamu tidak perlu mendorong ku seperti ini" nada bicaraku mulai meninggi, dia memang selalu dingin dan melontarkan kata kata kasar padaku, tapi baru kali ini tangannya ikut bermain kasar, aku tidak terima dengan sikap nya, orangtuaku saja tidak pernah meninggikan nada bicaranya padaku.

Dia berbalik, menatap ku dengan tatapan tajam mengintimidasi.

"Sudah berapa kali aku bilang, berhenti bersikap seolah kita sepasang suami istri yang normal! BERHENTI PEDULI DENGAN KU, APA KAMU TIDAK MENGERTI JUGA"

"Kita tidak akan bisa hidup normal, kamu tau kan sha. Jadi aku mohon, berhentilah berpura pura seakan kamu bahagia dengan pernikahan palsu ini" lanjutnya, dengan suara memohon, tapi setiap kalimat yang dia ucapkan penuh penekanan.

"Jadi selama ini kamu menganggap pernikahan kita palsu, setelah satu tahun kita hidup bersama, kamu anggap apa ijab Kabul yang kamu ucapkan di hadapan orang tua ku, apa itu juga palsu?"

"Ya! semuanya palsu, aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, aku membencinya! sudahlah, aku tidak mau merusak mood ku di pagi hari" Dia pergi meninggalkan ku begitu saja setelah semua yang dia ucapkan padaku. Sedangkan aku kembali duduk di meja makan memegang dada yang mulai terasa sesak, sambil sesekali tertawa , lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Tidak mau berlarut larut, aku memasukkan semua makanan yang ku masak ke dalam kotak bekal dan membawanya ke kantor.

...

"Iya, kenapa mah?"

.....

"Iya, nesha akan pulang akhir pekan nanti, mah!"

"Hem, Nesha juga sangat menyayangi mamah"

Ibu ku menelpon, aku di minta untuk mengunjunginya, sudah lama aku tidak pulang, dia juga memintaku mengajak Fahri, tapi itu tidak mungkin, dia selalu menolak jika ku ajak pergi ke rumah ibu, kali ini pun pasti jawabannya sama.

....

Walaupun sudah tau dia akan menolak, tapi tetap saja aku mengajak nya, aku duduk di sebelah nya yang asik dengan ponsel di tangan nya, entah apa yang dia lihat hingga begitu betah memandangi benda pipih itu.

"Fahri, apa kamu ada kegiatan besok?"

"nggak, besok akhir pekan jadi aku tidak kekantor" jawabnya dingin tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel.

"Aku juga tau Besok kamu tidak ke kantor itu kan hanya basa basi" batinku menggerutu.

"Apa kamu bisa ikut dengan ku kerumah ibu, ibu meminta kita menemui nya"

"nggak bisa, aku sibuk" jawabnya ketus.

"Cuman sebentar Fahri, kesian ibu, dia ingin kita datang bersama"

"Aku bilang nggak! ya nggak! apa kamu tuli" nada bicaranya mulai meninggi, ia kembali mengalihkan pandangannya pada layar ponsel, setelah memberikan bentakan untuk ku.

Aku juga tidak mau berdebat dengannya lebih jauh lagi, aku pergi meninggalkan nya dan masuk ke kamar, aku mulai merapikan baju yang akan ku bawa untuk ke rumah ibu besok. Aku akan menginap selama 2 hari di sana, Walaupun pergi sendiri aku tetap semangat, aku sudah merindukan keluarga ku, aku hanya perlu membuat alasan jika suamiku tidak bisa ikut karena kesibukan nya di kantor.

Setelah selesai ku rebahkan tubuh lelahku di atas kasur, memandangi setiap inci dari kamar yang sudah aku tepati satu tahun terakhir. Pikiran ku teringat dengan kata kata ibu "jika cinta pertama akan sulit untuk di lupakan".

Aku merasakan apa yang ibu katakan itu benar, sebelum menikah aku tidak pernah menjalin hubungan yang serius dengan pria. Sampai ibu meminta ku menikah dengan Fahri, bisa di bilang aku mulai merasakan perasaan itu dengan nya, yaa, Fahri adalah cinta pertama ku.

Sikap kasarnya, sikap dinginnya, acuh, tidak perduli nya. Sama sekali tidak merubah sedikit pun perasaan ku padanya. Terkadang aku berpikir ingin melupakan nya, ingin membuang rasa ini untuknya tapi itu tidak mudah, hal itu justru membuat ku semakin tersiksa. Aku tidak tau sampai kapan aku akan bertahan dengan cinta sepihak ini. Mungkin suatu hari nanti aku akan lelah dan memilih mengalah, mengorbankan cinta pertama ku, kita liat saja kedepannya hanya waktu yang akan menjawab.

author POV

Suara pintu mengagetkan Nesha yang sedang fokus memikirkan kata kata indah untuk di tuangkan di dalam naskah nya. Suara pintu yang di buka Secara brutal dari luar. Nesha berbalik dengan wajah kagetnya, dia melihat Fahri yang berdiri di ambang pintu menatap tajam ke arahnya.

"Fahri, ada apa?"

"Di mana dasi biru yang kamu cuci kemarin"

"Aku sudah meletakkan nya di dalam laci tempat penyimpanan dasimu" Nesha berjalan mendekati Fahri, dengan kaca mata baca yang masih bertengger di matanya.

"Aku sudah mencari semua nya tapi dasi itu tidak ada, aku tidak mau tau kamu harus temukan dasi itu"

Nesha berjalan melewati Fahri dan masuk kedalam kamar nya, Nesha membuka setiap laci yang ada di kamar Fahri, sampai dia berhasil menemukan dasi yang di carinya. Nesha membawa dasi itu pada Fahri.

"Lain kali mencari nya dengan teliti, dan juga kalo kamu membutuhkan bantuan ku, kamu bisa kan meminta nya dengan baik, kamu hampir merusak pintu kamarku, Fahri "

Fahri merampas dasi dari tangan Nesha dengan kasar.

"Ini rumah ku, dan kamar yang kau tempati itu adalah milikku, kau hanya menumpang  dan menjadi benalu di dalam hidupku"

"aku istrimu, Fakhri "

"Istri katamu? iya! istri di atas kertas"

Nesha sudah tidak sanggup lagi jika harus berdebat lebih jauh, Nesha memilih pergi meninggalkan Fahri yang sedang tersulit emosi.

"Terserah kamu saja, aku lelah"

Dan begitulah malam lelah yang harus di lalui Nesha dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.

Terpopuler

Comments

Maulida Hayati

Maulida Hayati

Penasaran, apakah akhirnya sama seperti cerita kawin paksa lainnya?

2024-10-25

0

Oh Dewi

Oh Dewi

Mampir ah...
Sekalian rekomen buat yang kesusahan nyari novel yang seru dan bagus, mending coba baca yang judulnya Caraku Menemukanmu

2023-06-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!