Bab 20

Mobil sedan hitam berhenti di tepi jalan depan pintu gerbang sekolah. Carlos keluar dari mobil, berjalan tergopoh-gopoh membukakan pintu belakang. Kevin keluar dengan sedikit gontai sambil menenteng tas di belakang punggung.

"Jam berapa nanti Tuan muda pulang? Saya akan menjemput Tuan muda nanti," kata Carlos sambil menutup pintu.

"Tidak perlu. Aku akan naik taxi. Tugasmu hanya menjaga Ibu di rumah sakit," kata Kevin sambil berjalan masuk pintu gerbang dengan kedua tangan masuk saku jasnya.

Jalannya yang tampank gontai sesekali membuat Kevin hampir terpeleset pada lantai yang baru saja dipel. Ketika kaki gontai itu berjalan tanpa memperhatikan siapapun yang ia lewati. Punggung Kevin tak sengaja menabrak salah satu murid yang tengah berbincang-bincang santai di koridor sekolah.

Pria itu mendengus kesal dengan sikap Kevin yang tampak mengacuhkan perbuatannya itu. Tangannya yang sedikit berotot menarik gendongan tas yang Kevin tenteng di belakang punggung. Membuat Kevin berhenti. Beberapa kali dia menarik tas itu dengan gontai, namun tangan pria di belakangnya cukup berotot untuk ukuran murid SMA.

Kevin menghela napas panjang. Dia menoleh dengan tatapan malas. "Ada apa?" tanya Kevin sambil mengangkat kedua alis.

"Kamu masih tanya? Kamu tadi menyenggolku? Mana etikamu! Cepat minta maaf!" Pria itu mengeraskan rahangnya. Matanya tampak melotot.

"Ogah. Ngapain minta maaf? Nyenggol sedikit juga," kata Kevin masih dengan tatapan malas.

Pria di depannya kembali mendengus kesal. Kedua tangannya yang berotot itu meraih kerah kemeja Kevin, menariknya ke depan. Kini mereka saling beradu pandang. Pria di depannya tampak melotot seram, sementara Kevin hanya menatap malas.

"Bisakah kita memyelesaikannya? Oke, aku minta maaf. Sekarang aku bisa pergi?" tanya Kevin masih dengan tatapan malas.

"Tidak bisa! Aku harus mengajarimu dulu bagaimana caranya meminta maaf dengan benar." Pria itu menyeringai lebar.

Tangan kiri setengah berotot itu tak lagi memegang kerah baju Kevin, namun tangan itu tampak mengepal. Hendak mendaratkan satu pukulan pada wajah Kevin. Namun Kevin dengan gontai memiringkan wajahnya, hingga membuat tangan terkepal itu hanya memukul angin.

"Sudahlah. Kita sudahi saja. Sungguh, aku lagi malas untuk berdebat saat ini," kata Kevin sambil mendorong tubuh pria itu.

Dia mengusap kerah bajunya, seolah sedang membersihkan debu yang menempel. "Jadi, aku bisa pergi kan?" Kevin berbalik, hendak pergi.

Namun lagi-lagi pria itu menarik tas Kevin, dan kini menariknya cukup kuat. Hingga membuat tubuh Kevin terjatuh ke lantai. Pria itu menyeringai lebar sambil duduk berjongkok di hadapan Kevin.

"Bagaimana rasanya jatuh? Sakit?"

Kevin terdiam. Wajahnya tampak tertunduk. Kedua tangannya mengepal erat, meremas celananya dengan sedikit kasar. Hingga meninggalkan bekas kerutan pada celana itu.

"Kenapa? Marah? Memangnya kamu bisa apa?" Pria itu tergelak, tawanya pecah bersama teman-temannya yang sedari tadi hanya memperhatikan.

"Kamu tanya aku bisa apa?" Kevin mengangkat wajah, bibirnya menyeringai lebar. Pria di hadapannya menelan ludah, entah kenapa tiba-tiba saja bulir-bulir keringat dingin mulai membasahi kening.

Dia beranjak berdiri, melangkah mundur menjauhi Kevin. "Jangan main-main. Kamu bisa apa? Kamu tidak akan mampu melawanku yang kuat ini."

Kevin bangkit berdiri. Dia berjalan maju satu langkah, kini dia hanya berjarak dekat dengan pria di depannya.

"Aku bisa apa tadi kamu tanya kan? Hmm ...." Kevin mengelus dagu.

Dia berbalik, berjalan pelan. Namun, baru satu langkah kaki itu berjalan. Tanpa pria itu sadari, Kevin berbalik. Tangan kanannya terkepal erat, dia mendaratkan satu pukulan tepat mengenai ulu hati pria di depannya. Membuat pria itu tersungkur ke lantai sambil memegangi dadanya.

"Ini yang bisa aku lakukan. Tapi semua ini masih awal. Aku akan memberikan kejutan untukmu nanti. Tapi bukan sekarang," kata Kevin sambil menyeringai lebar.

Dia berbalik, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika salah satu guru tiba-tiba berdiri di depan sambil berkacak pinggang.

"Kevin dan Arnold! Cepat ke ruang kepala sekolah!" seru guru itu, lantas berlalu pergi.

"Ini semua karena kamu, Arnold. Kamu harus bertanggung jawab untuk ini," kata Kevin, lantas berlalu pergi mengikuti guru di depannya. Arnold beranjak berdiri, menyusul mereka di belakang.

Kini Kevin dan Arnold sudah menghadap pada kepala sekolah yang tampak dengan raut wajah kesal. Jari-jari tangannya memukul meja, suaranya memecah keheningan.

"Bisa jelaskan kenapa kalian bisa bertengkar di sekolah? Jika tidak ada penjelasan, mungkin aku akan men-scors kalian."

"Arnold mulai duluan, Pak. Tiba-tiba saja dia membuat masalah padaku," kata Kevin santai.

"Apa!" Arnold memukul meja sedikit kasar. "Kamu yang tadi menyenggolku. Dan kamu tidak mau minta maaf," kata Arnold jengah.

"Aku hanya menyenggolmu, oke? Sekarang bahkan kamu masih hidup. Dan tadi aku sudah meminta maaf, tapi kamu tidak menerimanya," kata Kevin santai.

Kepala sekolah memukul meja keras, membuat Kevin dan Arnold langsung terdiam, diam bergeming. Namun walau Kevin yang diam, bibirnya tersenyum sinis.

"Bapak tidak mau dengar lagi penjelasan kalian! Kalian Bapak scors satu Minggu! Dan sekarang cepat keluar sebelum aku berubah pikiran."

Kevin dan Arnold beranjak berdiri. Mereka saling beradu pandang sinis, lantas berjalan keluar ruang kepala sekolah.

"Ini belum selesai kawan. Kamu akan mendapat balasannya," kata Arnold sebelum berlalu pergi.

* * *

"Apa kamu bisa melakukannya, Gery?" Guren menatap penuh harap pada lelaki paruh baya di hadapannya.

Gery menyesap rokoknya, bau nikotin langsung menyeruak hidung saat asap tipis mengepul di udara.

"Itu mudah saja, kawan. Tapi, siapa anak yang kamu bicarakan ini?" tanya Gery sambil menenggak minuman di atas meja bundar.

"Dia Kevin. Tapi ada lagi temannya. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kamu harus mencarinya, dan bunuh dia. Jangan biarkan dia hidup," jawab Guren.

"Aku pasti akan melakukannya. Tapi, bayarannya tentu harus lebih besar lagi. Kamu memang temanku, tapi aku bukanlah orang naif yang berbohong jika soal uang." Gery beranjak berdiri. Dia membuang putung rokok pada tempat sampah di sudut ruangan.

"Tentu saja. Soal bayaran kamu jangan khawatir. Aku akan memberikannya lebih besar lagi."

"Nah, itu baru bagus. Pekerjaan ini akan selesai dalam waktu dekat. Kamu hanya perlu menunggu kabar dariku," kata Gery. Dia berlalu pergi usai menenggak habis minuman di atas meja itu.

Guren menatap punggung Gery yang kian tak terlihat. Dia menghela napas lega, lantas kembali duduk.

"Aku pasti akan selamat jika Gery yang kutugaskan. Dia pembunuh bayaran terhebat yang selama ini kukenal.

Sial sekali tidak dari dulu saja aku menyuruh Gery membunuh anak itu. Kevin akan menjadi penghalang untuk ketenangan hidupku. Bahkan dia berani membunuh semua anak buahku," gumam Guren.

Terpopuler

Comments

Fanul

Fanul

mantap

2023-03-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!