Bab 18

Lelaki berjas putih berjalan keluar ruangan kala Kevin berdiri di depan jendela kaca, memandang bagaimana para perawat sudah akan melepas peralatan untuk membuat ayahnya bertahan hidup.

"Dokter, apa Ayah sudah ...." Kevin tak melanjutkan ucapannya. Tenggorokannya seakan telah membeku, tak bisa mengeluarkan suara lagi.

"Maaf. Kami tidak bisa mempertahankannya. Ayahmu sudah meninggal dunia. Aku turut berduka cita," kata sang Dokter sambil menepuk pelan pundak Kevin.

Kevin berjalan memasuki ruangan kamar sang Ayah dirawat. Sang Ayah kini sudah benar-benar tidak akan bangun lagi. Wajahnya sudah nampak pucat pasi. Tangannya dingin seperti es kala Kevin meraihnya, lantas mengelusnya perlahan.

"Ayah, maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan apa yang Ayah inginkan. Bahkan sekarang keadaan Ibu sedang tidak baik-baik saja.

Kevin bingung, Ayah. Juga ... takut. Bagaimana Kevin akan mengatakan hal ini pada Ibu? Bagaimana reaksi Ibu nanti, Ayah?

Aku harus apa?" Kevin menundukkan kepalanya, membiarkan puncak kepala itu menyentuh punggung tangan sang Ayah yang sedingin es.

Dia mengangkat kembali kepalanya. Bulir-bulir air bening yang masih berada di sudut netra, enggan untuk keluar langsung disekanya dengan punggung tangan.

"Jangan khawatir, Ayah. Kevin tidak akan tinggal diam. Kevin pasti akan membuatnya menderita, membuatnya menerima konsekuensinya," kata Kevin sambil berbalik, lantas berjalan pergi.

* * *

Guren berdiri di depan pintu dengan raut wajah gusar. Kedua matanya nampak sembap, juga masih memerah dan meninggalkan bekas air mata di kedua pipinya.

Dia menempelkan keningnya pada daun pintu. Kedua tangannya yang nampak mengepal beberapa kali memukul pintu.

"Apa kamu akan terus berada di dalam, sayang? Kamu harus mengikhlaskan kepergian putri kita, Hana," kata Guren setengah pelan.

Tangan yang terkepal itu kembali memukul pintu beberapa kali. Namun tak ada sahutan dari sang istri.

Sementara Hana nampak meringkuk di lantai bersender pada ranjang. Matanya nampak sembap. Depan dadanya nampak bingkai foto Alicia yang selalu berada di dekapan hangatnya.

Kala mata itu kembali memandang bingkai foto di tangannya. Bulir-bulir air bening kembali keluar dari sudut netra, menetesi bingkai foto itu.

Hana meletakkan bingkai foto di atas ranjang kala ponselnya yang tiba-tiba saja berdering. Sepersekian detik keningnya nampak berkerut kala nomor tidak dikenal baru saja mengirim sebuah pesan untuk mengajaknya bertemu.

"Pesan ini, tentang Alicia? Apakah aku harus ke sana?" gumam Hana disela tangannya yang menyeka air mata di sudut netra.

Hana beranjak berdiri. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya kala bingkai foto Alicia yang nampak tersenyum manis di atas ranjang.

"Ibu akan pergi sebentar, Alicia. Ibu tidak akan lama kok," kata Hana sambil meraih mantelnya, lantas berjalan keluar menuju pintu kamar.

Guren mengangkat kembali kepalanya kala pintu kamar terbuka. "Kamu mau ke mana, sayang?" tanya Guren kala Hana sudah nampak rapi.

"Aku akan pergi sebentar. Aku tidak akan lama." Hana berjalan pergi, meninggalkan Guren yang nampak mengerutkan kening.

Hana nampak celingak-celinguk kala dirinya tiba di taman yang si pengirim pesan janjikan. Dia berjalan menyusuri taman, namun tak ada satu pun orang kecuali dirinya di sana.

"Halo, Nyonya."

Hana menoleh kala suara yang memanggilnya. "Apa kamu yang meminta bertemu denganku?" tanya Hana.

"Benar," kata sosok pemuda yang tidak lain adalah Kevin.

"Apa yang sebenarnya ingin kamu bicarakan? Bagaimana bisa kamu mengenal alamarhum putriku?"

"Tentang itu saya tidak bisa menjelaskannya, Nyonya. Tapi yang pasti saya di sini ingin memberitahu tentang penyebab putri Anda melakukan bunuh diri." Kevin berjalan mendekati kursi bercat putih, lantas menghempaskan pantatnya di sana.

"Apa yang kamu ketahui tentang itu semua? Beritahu aku!"

"Apakah suami Anda tidak memberitahu Nyonya?" tanya Kevin sambil tersenyum ramah. Namun dibalik senyum ramahnya, seulas senyum seringai tersungging di bibirnya.

"Memberitahu tentang apa?" Hana duduk di samping Kevin, sorot matanya nampak terlihat sendu.

"Apakah suami Anda tidak pernah memberitahu jika saat dia menikahi Anda, sebenarnya dia pun sudah mempunyai istri?" Kevin menyeringai.

Hana tersentak, kedua matanya nampak membulat. Dia memegang dada yang entah kenapa terasa begitu sesak dan menyakitkan.

"Apa yang kamu bicarakan! Bagaimana itu mungkin!"

"Sudah kuduga, dia pasti tidak memberitahumu. Dan bahkan di saat dia meninggalkan istrinya, dia juga sudah mempunyai anak laki-laki," jelas Kevin sambil menyilangkan kakinya.

"Dan bagaimana bisa Alicia bunuh diri? Itu karena dia tahu tentang masa lalu ayahnya." Kevin beranjak berdiri, lantas melipat kedua tangan di depan dada.

"Maaf, Nyonya. Tapi mungkin pertemuan kita hanya sebatas membicarakan tentang ini. Saya hanya tidak bisa membiarkan Tuan Guren menyembunyikan semua ini pada Anda," kata Kevin sambil berbalik, lantas berjalan pergi.

Disela jalannya yang nampak santai sambil memasukkan kedua tangan dalam saku jaket. Dia sempat menoleh ke belakang sekilas. Hana masih duduk di kursi bercat putih itu sambil terus memegangi dadanya yang terasa begitu sesak dan berat untuk bernafas. Seulas senyum seringai tersungging di bibirnya.

* * *

Dokter baru saja keluar dari kamar Kirana dirawat Seulas senyum ramah terukir di bibirnya kala Carlos yang nampak dengan raut wajah gusar berdiri di depannya.

"Dok, bagaimana keadaan majikan saya?" tanya Carlos.

"Dia sudah sadar. Tapi mohon jangan membuatnya sedih atau membicarakan hal yang nantinya akan dapat membebani pikirannya," kata sang Dokter, lantas berlalu pergi.

Tak berselang lama Kevin pun datang dengan begitu santai masih dengan kedua tangan masuk dalam saku jaket.

"Tuan muda, Nyonya Kirana sudah sadar! Tapi Dokter meminta untuk tidak membicarakan hal yang nantinya akan membebani pikirannya," kata Carlos. Kevin masih dengan wajah datar, namun kedua bola matanya sedikit bergetar, menahan air mata untuk tidak keluar.

"Carlos, bisakah kamu siapkan pemakaman Ayah? Jika aku ikut Ibu pasti akan curiga. Jadi biar kamu saja, aku yang akan urus Ibu," kata Kevin dengan suara yang bergetar.

Carlos tersentak. "Apa Tuan Guren ...." Dia tak melanjutkan ucapannya kala Kevin mengangukkan kepala dengan raut wajah sendu.

"Baiklah, Tuan muda. Saya turut berduka cita. Pasti semuanya akan saya siapkan," kata Carlos. Lantas lelaki paruh baya itu beringsut mundur, meninggalkan Kevin.

Kevin berdiri di depan pintu. Dia menghela nafas panjang sebelum membuka pintu perlahan. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya kala Kirana sudah duduk di atas ranjang dengan raut wajah berseri.

"Kevin, apa Ibu pingsan terlalu lama? Maafkan Ibu, seharusnya di saat ayahmu berada di rumah sakit Ibu menjaga kamu," kata Kirana sambil mengelus lembut puncak kepala Kevin.

"Kevin baik-baik saja, Ibu. Bagaimana keadaan Ibu? Apa Ibu baik-baik saja sekarang?" Kevin meraih punggung tangan kiri sang Ibu, mengelusnya dengan lembut.

"Ibu baik-baik saja, Kevin. Tentu Ibu harus sehat untuk menyambut kepulangan ayahmu nanti."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!