Beberapa anggota kepolisian memasuki kamar hotel. Mereka membaya mayat Alicia untuk dievakuasi. Sebagian dari anggota kepolisian lainnya memasang garis larangan untuk masuk, lantas menyuruh semua yang berada di dalam untuk keluar.
Sepersekian detik mayat Alicia keluar dari kamar, Guren datang dengan paras sendu. Dia tak mempedulikan anggota kepolisian yang mencoba untuk menghentikan dirinya membuka bungkus mayat itu. Sementara Kevin hanya diam berdiri di sudut ruangan dengan raut wajah sendu, namun kedua tangannya nampak bergerak aneh.
Disela tangannya yang menyeka air mata, seulas senyum seringai tersungging di bibir Kevin kala Guren yang benar-benar terpukul dengan kematian putri tunggalnya.
"Siapa yang sudah melakukan ini padanya! Aku tidak akan memaafkannya!" seru Guren ditengah isakannya.
"Putri Anda melakukan bunuh diri, Tuan. Dia menembak kepalanya sendiri," kata salah satu petugas keamanan sambil menepuk pelan punggung Guren.
"Tidak mungkin dia melakukan semua ini! Kenapa putriku ingin bunuh diri? Bagaimana itu bisa!"
Kevin berjalan pelan menghampiri Guren, lantas menyentuh punggung belakang Guren dengan pelan. "Alicia merasa terpukul dengan apa yang diketahuinya tentang Anda, Tuan," kata Kevin santai.
Guren menoleh ke belakang. Keningnya nampak berkerut kala seseorang yang tentu tidak asing baginya berdiri di hadapan Guren saat ini.
"Kamu, orang kemarin? Bagaimana kamu bisa ...." Guren tak melanjutkan ucapannya. Tangan kanannya hanya menunjuk-nunjuk wajah Kevin sambil sesekali matanya melirik mayat Alicia.
"Saya tidak bisa menutupinya. Ini bukan salah saya, Tuan. Alicia yang memaksa saya untuk membongkar masa lalu Tuan," kata Kevin setengah berbisik.
Guren terdiam, mulutnya terkatup rapat dengan kedua tangannya yang setengah bergetar. Dia memalingkan wajahnya dari Kevin, kembali memandang bungkus mayat itu. Dia mengepal erat kedua tangannya, lantas memukul dinding dengan kasar, hingga mengeluarkan cairan merah kental dari punggung tangan yang mengepal.
"Om, jangan salahkan diri sendiri! Ini bukan salah Om!" seru Kevin sambil meraih kedua tangan Guren. Dibalik ucapannya yang menghangatkan, sorot matanya nampak tajam pada lelaki di hadapannya.
Petugas kepolisian lantas membawa kantong mayat itu menuju mobil ambulans untuk selanjutnya dievakuasi. Guren beranjak berdiri sambil menyeka air mata di sudut netra, lantas berjalan gontai mengikuti mayat Alicia.
Sepeninggal mereka, kini hanya ada salah satu petugas keamanan hotel dan Kevin berdiri di ambang pintu dengan garis larangan. Satu petugas keamanan lainnya dibawa untuk memberikan kesaksian pada Polisi.
"Tuan, sebenarnya kenapa pacar Tuan bisa melakukan bunuh diri?" tanya petugas keamanan usai menutup pintu hotel.
"Dia bunuh diri karena tidak bisa menerima kenyataan pahit," kata Kevin dengan wajah datar, lantas dia berjalan pergi meninggalkan gedung hotel.
Dia melajukan mobil sedan hitam itu menuju rumah sakit. Tiba di sana, Kevin setengah berlari menuju lantai atas, menemui sang Ayah yang masih terbaring tak sadarkan diri.
"Dokter, bagaimana keadaan Ayah saya?" tanya Kevin disela nafasnya yang nampak terengah-engah kala sang Dokter keluar dari ruangan Ayahnya.
"Kamu harus membuat keputusan," kata sang Dokter setelah menghela nafas berat.
"Keputusan? Keputusan apa?"
"Kami akan melepas alat bantu pernapasan Tuan Guren. Beliau hanya bisa bertahan hidup karena alat bantu pernapasan."
"Jadi, Ayah tidak bisa bertahan hidup?"
"Benar. Hanya karena alat bantu pernapasan itulah yang membuat Ayah kamu dapat bertahan hidup," kata Dokter lagi.
"Jika kamu tak ingin Ayah kamu menderita lebih lama ...." Dokter tak melanjutkan ucapannya. Dia mendekati Kevin, lantas meraih kedua punggung Kevin. "Kamu harus merelakan Ayah kamu."
Kevin terkesiap sambil melangkah mundur perlahan, menjauhi sang Dokter di depannya. "Saya ... saya tidak bisa memberikan keputusan tanpa persetujuan dari Ibu."
"Kalau begitu secepatnya kamu bicarakan ini dengan Ibu kamu. Tuan Guren tak bisa bertahan lebih lama lagi." Lantas sang Dokter berjalan pergi meninggalkan Kevin yang masih berdiri tak bergeming.
Kedua tangan itu terkepal erat disela nafasnya yang tersengal. Kepala dengan rambut hitam pekat itu tertunduk lesu sambil menyenderkan punggungnya di dinding.
"Bagaimana bisa. Kenapa ini terjadi padaku. Jika seperti ini, lebih baik aku tidak bersama dengan mereka." Kevin mengacak-acak rambutnya sendiri dengan raut wajah gusar.
Carlos duduk di kursi besi panjang dengan kepalanya yang terus terkantuk-kantuk kala Kevin datang sambil membawa makanan dan minuman, lantas meletakkannya di samping Carlos duduk. Suara sedikit kasar Kevin yang meletakkan kantong plastik di kursi besi panjang membuat Carlos tersentak.
"Tuan muda sudah kembali? Anda darimana saja, Tuan?" tanya Carlos disela mulutnya yang nampak terus menguap.
"Aku ada urusan. Bagaimana dengan keadaan Ibu?" tanya Kevin sambil menghempaskan pantatnya di kursi panjang besi samping Carlos.
"Belum ada perkembangan."
Kevin menghela nafas berat. Dia mengangkat wajahnya ke atas. Langit-langit atap bercat putih itu sudah nampak usang dengan sebagian catnya yang sudah terkelupas.
"Carlos, Dokter mengatakan jika Ayah tidak akan bertahan lama. Bagaimana aku bisa membuat keputusan tanpa Ibu ketahui?
Dan sementara itu saat ini Ibu tidak sadarkan diri," kata Kevin disela hidungnya yang terus menghela nafas berat.
"Anda bisa memberikan keputusan atas kata hati Anda, Tuan muda," kata Carlos.
"Aku ... tidak bisa lagi mendengarkan kata hatiku. Kini hatiku seakan sudah menghilang dari tubuhku. Aku seakan hidup tanpa hati dan jantung," kata Kevin setengah pelan.
Carlos menyenderkan punggungnya di badan kursi besi. Kepalanya ikut mendongak, sesekali juga sedikit melirik arah Kevin yang nampak memejamkan matanya.
"Tuan muda bisa tidur. Ini sudah malam, biar saya yang menjaga Nyonya Kirana," kata Carlos sambil memberikan bantal kecil pada Kevin.
Kevin tersentak bangun kala ponselnya yang terus saja berdering. Masih dengan mata yang setengah terpejam, Kevin meraih ponsel di atas kursi besi panjang itu.
Dia dengan cepat langsung beranjak berdiri usai menatap benda pipih itu beberapa saat. Tangan yang memegang ponsel sedikit bergetar, hingga hampir membuat benda pipih itu jatuh ke lantai jika Carlos tak langsung menangkapnya.
"Ada apa, Tuan muda? Apa terjadi sesuatu?" tanya Carlos sambil menyodorkan ponsel pada Kevin.
Pemuda itu masih saja terdiam. Keringat dingin menetesi pelipisnya. "Tuan muda, Anda baik-baik saja? Ada apa?" Carlos menyeka keringat itu dengan sapu tangan yang dikantonginya.
Dia mengabaikan Carlos yang dengan baik hati mau menyeka keringatnya, lantas setengah berlari pergi meninggalkan Carlos yang nampak mengerutkan keningnya.
"Ada apa lagi ini?" gumam Carlos.
Di lantai atas dari lantai sang Ibu dirawat, sang Ayah pun dirawat di sana. Disela nafasnya yang terengah-engah, Kevin berlari mendekati jendela kaca yang membawanya pada sang Ayah.
Dokter dan beberapa perawat nampak dengan cekatan melepas selang infus dari punggung tangan Gravil, sementara perawat lain melepas alat bantu pernapasan yang bertengger di hidung Gravil.
"Ayah ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments