Sepasang mata nampak begitu fokus memandangi layar komputer di depannya. Sesekali tangannya mengusap pelan pelipis yang terasa penat karena terlalu lama menatap layar komputer. Sosok lelaki dewasa yang berdiri di belakang Kevin diam tanpa bergeming.
Matanya pun tak kalah fokus menandang rekeman cctv pada layar komputer. Sebenarnya sedari tadi sosok lelaki dewasa itu tak memahami apa yang Kevin inginkan dengan melihat rekaman cctv yang berada di atap menara gedung. Tapi setelah matanya menangkap rekaman yang menunjukkan dua orang berpakaian hitam memakai masker, di tangannya terdapat sebuah senapan jarak jauh.
Sosok lelaki dewasa terbelalak. Dia lantas mengedarkan pandangannya pada Kevin yang terlihat santai, tak ada ekspresi sedikitpun. Matanya masih fokus meneliti orang-orang berpakaian hitam itu dengan dia menekan tombol pause tepat saat kedua sosok hendak menaiki anak tangga menuju atap gedung.
"Aku mendapatkan apa yang kumau," gumam Kevin.
Kevin menekan tombol keyboard pada komputer, lantas mengcopy rekaman cctv pada sebuah chipset kecil. Sekali lagi sosok lelaki dewasa mengerutkan kening, masih tak mengerti dengan apa tujuan Kevin sebenarnya.
"Maaf, tapi apakah kedua orang itu orang jahat?" tanya sosok lelaki dewasa. Kevin menoleh, lantas menjawab, "Mereka mungkin jahat. Tapi tak ada hubungannya dengan gedung menara ini."
Lelaki dewasa manggut-manggut mengerti. Kevin beranjak berdiri usai memasukkan chipset itu dalam saku jasnya, hendak melangkah pergi meninggalkan ruang rekaman cctv. Tak lupa ia membungkuk sopan pada lelaki dewasa, mengusap salam perpisahan dengan ekspresi datar.
Kevin tengah menunggu taxi di tepi jalan, masih dekat dengan menara gedung saat tiba-tiba saja ponselnya berdering, sedikit membuat tubuhnya merasakan getaran itu. Tangannya bergerak masuk saku celana, meraih benda pipih itu.
"Nomor siapa ini?" gumam Kevin. Nomor tak dikenal menelfon dirinya, dan sebenarnya Kevin enggan mengangkatnya. Namun ia sempat berpikir jika nomor ini adalah orang penting, jadi terpaksa ia mengangkatnya.
"Halo Kevin! Ini aku, Alicia!" Ucapan nama dan suara yang nampak tidak asing di kedua telinganya, membuat Kevin menghela nafas berat.
"Ada apa? Kamu butuh bantuan? Atau ...." Kevin berhenti bicara, matanya nampak memutar malas.
"Nanti malam kamu sibuk? Bisakah kita bertemu di kafe Breast? Kumohon ...." Nadanya terdengar memelas. Sekali lagi Kevin menghela nafas berat.
"Baiklah. Jam berapa?"
Di kamarnya, Alicia melompat-lompat ranjang, wajahnya nampak sumringah ketika Kevin mau pergi bersama dengannya. Sadar telfon masih terhubung, Alicia kembali duduk dengan anggun seraya meraih kembali ponselnya.
"Anu, nanti malam jam tujuh ya?" pinta Alicia, dan Kevin menyetujuinya. Dan telfon pun tertutup.
"Apa ini beneran? Beneran!" Alicia mencubit pipi kanannya yang lembut dan putih, dan terasa sakit. Itu artinya ia tak sedang bermimpi.
Waktu satu jam yang masih longgar dibuat Kevin untuk memandang layar komputernya. Ia meraih chipset kecil itu yang terletak atas meja. Lantas tangannya begitu cekatan memasukkan chipset dalam komputer, menunjukkan rekaman cctv itu kembali.
Dua orang berpakaian serba hitam memakai masker, di tangannya terdapat senapan jarak jauh. Tangannya mengelus dagu, bola matanya berputar-putar, nampak memikirkan sesuatu.
Dia beranjak berdiri, menyambar jaketnya, lantas memakainya sembari melangkah keluar kamar. Suasana ruang keluarga nampak lenggang, tak ada sang Ayah ataupun sang Ibu yang biasanya akan berbincang-bincang ramah di ruang keluarga. Kevin menghela nafas berat.
Dia berjalan menemui sang Ibu yang masih nampak tertidur pulas di atas ranjang. Para pelayan masih menunggu wanita itu, sesekali mereka memeriksa suhu tubuh Kirana dengan termometer.
Dengan raut wajahnya yang berbinar-binar, Alicia sudah duduk di kafe, sesekali dirinya meraih alat riasannya, memeriksa apakah ada yang kurang pada penampilan dan dandanannya malam ini. riasanyang cukup tebal, namun tak merusak aura kecantikan gadis itu, dengan bibir mungil yang nampak merah merona.
Banyak mata yang menatap genit pada gadis itu, dan lebih banyak yang menatapnya adalah laki-laki yang sudah berumur, mempunyai jenggot dan kumis. Beberapa kali Alicia membuang muka, meludah.
"Kamu menunggu lama?" Suara yang terdengar tidak asing di telinga sontak membuat Alicia menoleh pada sumber suara.
Kevin dengan penampilan biasanya, namun masih terlihat tampan berdiri di samping kanan Alicia. Senyuman manipulatif tersungging di bibirnya, Alicia nampak salah tingkah dibuatnya.
"Tidak. Duduklah," pinta Alicia. Kevin mengangguk, lantas duduk berhadapan dengan gadis itu. Alicia menelan ludah sambil merapikan rambutnya.
"Baiklah. Aku tak suka basa-basi. Apa yang kamu inginkan dengan menemuiku?" tanya Kevin. Kedua tangannya terlipat di dada bidangnya.
"Tidak. Aku hanya ingin bisa lebih dekat denganmu saja. Apa kamu lupa tentang ucapanmu siang tadi?" Alicia mengedipkan satu matanya, Kevin masih dengan wajah datarnya yang nyaris tanpa ekspresi.
"Entahlah aku lupa. Tapi setelah melihat wajahmu yang cantik." Kevin tersenyum, menyodongkan tubuhnya ke depan, tangannya meraih kedua tangan Alicia, menatap mata gadis itu lekat-lekat. "Aku jadi ingat semuanya."
Alicia tersentak, tubuhnya terasa gemetar hebat. Wajahnya nampak merah merona, berkali-kali dia menelan ludah menatap wajah tampan dan bibir indah pemuda tampan di depannya. Karena salah tingkah, Alicia bahkan hampir akan menjatuhkan minumannya ke lantai.
"I-ya. Jadi, apa sekarang kamu sudah bisa membuka hatimu untukku?" Alicia mengelus lembut punggung tangan Kevin.
"Sejujurnya aku belum bisa. Tapi, kesempatan untukmu masih terbuka lebar. Ngomong-ngomong, bisakah aku bertanya sesuatu padamu?" tanya Kevin, Alicia langsung cepat mengangguk.
"Siapa nama ayahmu? Kudengar kamu berasal dari keluarga terpandang," kata Kevin, seolah dirinya tak tahu apa-apa tentang kelusrga Alicia.
"Ya, tapi untuk apa kamu ingin tahu nama ayahku?" tanya Alicia, keningnya nampak berkerut. Disela ucapannya, Alicia meraih minumannya, lantas menyesapnya.
"Yah kupikir akan penting untuk tahu siapa nama ayahmu. Siapa tahu aku bisa membuka hatiku untukmu. Dan aku tentu harus bertemu dengan ayahmu kan?" Kevin memainkan kedua alisnya. Untuk yang kesekian kalinya Alicia menelan ludah.
"Ayahku bernama Guren. Dia seorang CEO terkenal di kota ini." Alicia nampak bangga memperkenalkan ayahnya pada Kevin. Kevin diam menyimak, sesekali tangannya meraih minuman di atas meja, lantas menyesapnya.
"Ah, jadi memang benar jika Tuan Guren ayahmu. Aku pernah mendengar tentangnya, dan beliau memang sangat hebat." Kevin manggut-manggut sembari mengelus dagu.
'Oke. Jawaban ini sudah membuatku sangat yakin. Sudah kubuktikan semuanya,' batin Kevin.
"Sekarang kita bisa makan," kata Kevin sembari membolak-balik buku menu, lantas memesan makanan diikuti Alicia.
"Kevin, aku sangat mencintaimu. Aku harap kamu bisa membuka hatimu segera untukku." Alicia tersenyum, Kevin diam saja.
Tangan Alicia bergerak, hendak meraih kedua tangan Kevin. Namun pemuda itu langsung menepisnya dengan berpura-pura memegangi telinga dengan manset telinga logam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments