Kevin kembali menatap layar komputernya. Sebuah chipset ia masukkan dalam komputer. Lantas dengan cepat tangan itu menyentuh setiap angka dan huruf di keyboard komputer. Tak berselang lama, Kevin menyandarkan punggungnya pada badan kursi empuk itu.
"Pasti pembunuh bayaran. Tapi, sepertinya penembakan ini dilakukan lewat atap gedung. Arah ini bertepatan dengan atap gedung pusat perbelanjaan terbesar di kota." Kevin memutar kursinya yang beroda, membiarkan tubuhnya ikut berputar bersama kursi itu.
Dia menutup laptop, lantas membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit atap yang menampakkan cat putih kebiruan indah. Hingga sepasang netra itu mulai terpejam, kian rapat, terlelap.
Semilir angin menerpa dedaunan yang masih menampakkan embun-embun kecil nan indah. Burung-burung berkicauan di atas dahan pohon, terdengar merdu.
Kevin berhenti melangkah tepat di tengah anak tangga. Matanya menatap kosong para pelayan yang nampak dengan cekatan menyiapkan sarapan di meja makan. Lantas matanya beralih pada kursi yang selalu menjadi tempat sang Ibu duduk.
Kevin menyeka sedikit air yang membasahi sudut netranya sambil berjalan menuruni anak tangga. "Ibu sudah sarapan?" tanya Kevin sembari duduk. Menyiapkan dua roti tawar, memberikan selai coklat, juga meminum susu yang masih mengepulkan asap putih tipis di udara.
"Nyonya belum keluar dari kamar dari kemarin Tuan Muda," jawab salah satu pelayan dengan nada sopan, juga punggungnya yang membungkuk sopan.
Tangannya yang nampak dengan anggun memberikan selai coklat pada roti tawar dia hentikan. Mengalihkan pandangannya pada dua pelayan yang nampak membungkuk sopan, lantas beralih pada pintu kamar sang Ibu yang masih tertutup rapat.
Kevin beranjak berdiri usai meletakkan roti tawar tanpa selai di atas piring meja makan.
Kakinya melangkah menuju kamar sang Ibu yang tertutup rapat. Lantas perlahan tangan itu mengetok pintu.
"Ibu, ayo kita sarapan. Apa Ibu tidak lapar?"
Hening, tak ada jawaban dari Kirana. Kevin kembali mengetok pintu, kali ini lebih tegas dia mengetuk pintu.
"Ibu! Apa Ibu baik-baik saja di dalam?"
Hening, lagi. Kevin semakin gusar, beberapa kalipun dia mengetuk pintu tetap tak ada jawaban. Tangannya memegang gagang pintu, menggerakkannya perlahan. Namun tak ada reaksi pintu itu akan terbuka.
"Sial! Tak bisa dibuka."
Kevin berdiri terdiam menatap pintu, lantas mengalihkan pandangan pada Carlos yang nampak berbincang dengan salah satu pelayan.
"Carlos!" Lelaki paruh baya itu langsung menoleh saat Kevin memangilnya, dengan cekatan dia langsung berjalan menghampiri Kevin.
"Ada apa, Tuan Muda?"
"Apa pintu kamar Ibu ada kunci cadangannya?"
"Ada, Tuan Muda. Apa Anda membutuhkannya?"
"Ya, ambilkan cepat," pinta Kevin, Carlos mengangguk lantas dengan cepat berlalu pergi.
Selang beberapa detik Carlos kembali, ditangan kanannya nampak memegang sebuah kunci dengan gantungan bentuk hati.
"Ini kuncinya." Carlos mengulurkan tangan kanannya, memberikan kunci itu pada Kevin.
Usai memberikan kunci, Carlos beringsut mundur, meninggalkan Kevin yang nampak membuka pintu kamar. Saat pintu terbuka lebar, Kevin berdiri mematung di ambang pintu.
Kirana nampak terkulai lemah di lantai. Wajahnya nampak pucat pasi. Kevin melangkah menghampiri sang Ibu, tangannya menggoyah pelan tubuh sang Ibu.
"Ibu, bangun! Apa yang terjadi pada Ibu?"
Kirana tak menjawab, matanya terpejam, tangannya terasa begitu dingin saat Kevin meraih punggung tangan sang Ibu. Lantas pemuda itu menggendong sang Ibu, merebahkan tubuhnya di atas ranjang, juga memberikan selimut.
"Carlos!" teriak Kevin, Carlos langsung berjalan tergopoh-gopoh menghampiri.
"Ada apa, Tuan? Kenapa dengan Nyonya besar?"
"Jangan banyak tanya! Cepat kamu telfon Dokter, suruh ke sini!" Carlos mengangguk cepat lantas meraih ponsel dari saku celana hitamnya.
Sementara Carlos mengubungi Dokter, tangan Kevin meraih punggung tangan sang Ibu, mengusap-usapnya untuk memberikan kehangatan pada tangan sang Ibu yang terasa dingin.
"Ibu kumohon bertahanlah. Aku tak akan membiarkan terjadi hal buruk padamu." Kevin terus-menerus mengusap-usap punggung tangan sang Ibu.
Selang setengah jam, sang Dokter wanita pun datang. Dia lantas langsung memeriksa keadaan Kirana, sementara Kevin berdiri di belakang, raut wajahnya terlihat gusar.
"Ibumu mengalami serangan panik, darahnya cukup tinggi. Beliau harus cukup istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Aku akan memberikan resep obatnya, dan kamu bisa membelinya." pinta Dokter, Kevin mengangguk.
Usai membelikan obat, Kevin duduk di tepi ranjang, meraih punggung tangan sang Ibu, mengelus-elusnya dengan lembut.
"Aku memang belum menganggapmu sebagai ibuku. Aku tak mempercayai siapapun. Tapi aku merasa jika kamu ataupun Tuan Gravil adalah orang yang baik.
Dan aku berhutang nyawa pada kalian berdua. Aku berusaha untuk menjadi anak yang pintar, tapi aku rasa itu belumlah cukup untuk membuat kalian bahagia."
Kevin pergi ke rumah sakit lagi saat sang Ibu sudah nampak baikan, para pelayan pun dengan cekatan dan teratur mengurus Kirana dengan sangat baik. Dan Kevin bisa memercayakan keselamatan sang Ibu pada para pelayannya.
Saat tiba di rumah sakit. Kevin menatap sang Dokter yang nampak sibuk memeriksa keadaan Gravil, sesekali dia memeriksa alat pernapasan yang nampak terpasang pada hidung Gravil.
Kevin tak mampu berbuat apapun selain berdiri di depan pintu kaca, menatap sang Ayah dari balik kaca jendela.
"Kamu datang?" Sang dokter keluar, dia tersenyum pada Kevin.
"Ya, bagaimana dengan keadaan Ayah? Apa ada perkembangan?" tanya Kevin, sang Dokter menggeleng pelan.
"Kemungkinan sangat kecil untuk Tuan Gravil cekat tersadar dari komanya," ucap sang Dokter, Kevin diam saja.
Kevin mengalihkan pandangannya pada sang Ayah. Tanpa sadar bola mata itu nampak bergetar, bulir-bulir air masih berada di sudut netra, masih enggan untuk keluar.
* * *
Charlie nampak sibuk pada kertas-kertas dokumen yang menumpuk di atas meja saat ponselnya bergetar. Dia lantas mengalihkan pandangannya pada ponsel, meraih benda pipih itu.
"Ini dari siapa?" pikir Charlie, tak ada nama dari siapa yang menelfonnya, hanya nomor asing.
Tetapi Charlie tetap mengangkatnya, namun dia diam sebelum sang penelfon bicara lebih dulu. Matanya nampak menyipit, menunggu sang penelfon angkat bicara.
"Aku membutuhkan bantuanmu. Aku rasa memang benar jika aku akan membutuhkan bantuanmu." Suara yang terdengar tidak asing di telinga Charlie.
"Tuan Kevin, apa benar kamu membutuhkan bantuanku?" Charlie tersenyum.
"Ya, aku menunggumu di kafe dekat perusahaan Ayah. Jika kamu memang berniat untuk membantuku cepatlah datang."
Dan telfon pun terputus. Charlie meletakkan benda pipih itu di atas meja. Punggungnya bersandar pada badan kursi empuk. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit atap bercat putih sedikit mengelupas sambil menghela nafas pelan.
"Aku rasa ini adalah awal untukku akrab dengan Kevin. Rasanya aku memang harus dekat dengannya. Aku merasa ada aura aneh darinya," gumam Charlie sambil mengangkat satu jarinya, menunjuk pada langit-langit atap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
anggita
saya kasih hadiah🌹bunga..
2023-01-25
0